Martabak Manis, Pahitnya Kopi Hitam, dan Hujan

1221 Words
“Daripada pusing di rumah, Aurora mau pergi cari makanan. Papa juga pulang-pulang tidak jelas.” Aurora beranjak dari ruang tengah. Ia berlari mencari jaket untuk melindungi diri dari dinginnya malam nanti. Walaupun, ia pergi masih dalam keadaan matahari belum terbenam. Aurora pergi bersama Jasmin. Sebenarnya, Jasmin masih lelah akibat kejadian siang tadi. Tetapi, Nilam meminta kepadanya untuk menemani Aurora. “Ra, mau sejauh apa kaki lu jalan?” tanya Jasmin dengan suara yang menggelegar. Suara yang keras dan membuat Aurora terkejut. Selama ini, Jasmin tidak pernah melontarkan suara dengan sekencang itu. “Lu pulang saja. Gue malas di rumah. Apalagi kalau sudah ada tanda-tanda akan terjadi perang dunia ke tiga.” Aurora menepi ke sebuah warung. Lebih tepatnya angkringan yang buka selama dua puluh empat jam. Aurora duduk di bangku paling ujung, dekat pagar penyekat. Jasmin mengikuti Aurora yang sedang duduk sembari memainkan ponselnya. “Ra, seharusnya bukan seperti ini cara yang tepat untuk menghindari polemik keluarga. Sebagai anak, lu harus bisa jadi penengah.” “Jasmin ... tolong diam. Gue lagi enggak butuh nasihat,” lirihnya tanpa menatap Jasmin yang duduk di sebelahnya. Aurora telah paham dengan sifat orang tuanya. Apalagi, dengan adanya masalah ekonomi seperti saat ini akan membuat kedua orang tuanya adu mulut. Sebuah kondisi yang sudah ia tempelkan dalam kepalanya. Tidak akan lepas ke mana-mana. Aurora enggan untuk terlibat di dalamnya. Tapi, bukan berarti ia merelakan kerusuhan yang terjadi. Tiba-tiba ada suara yang khas di telinga Aurora. Bukan suara Langit, melainkan suara Aksara. “Aurora?” panggilnya sembari menatap mata Aurora. Padahal, Aksara ingin sekali untuk menatap wajah Aurora yang kini tertutup rapat dengan masker berwarna biru. “Hai,” sapanya. “Ra, terima kasih atas bantuanmu waktu itu. Oh iya, kamu mau pesan apa?” Aurora mendongakkan kepala untuk bisa membaca menu makanan yang tertempel di gerobak. Tetapi, keadaan matanya yang minus, mengharuskannya untuk menyipitkan mata agar bisa membacanya dengan jelas. “Martabak manis, saja, tidak masalah.” Aurora menaruh ponselnya di meja. Kemudian, ia membenarkan posisi duduknya di kursi panjang itu untuk menghadap ke depan. Matanya tidak berhenti memandangi indahnya langit yang berwarna kemerahan dan gelap bergradasi di sore hari itu. Tiba-tiba terdengar suara petir, tapi tidak terlalu keras. Tidak lama kemudian, air hujan berhasil mengguyur muka bumi. “Aksa, di sini bukan hanya ada kalian. Apakah gue tidak ditraktir sekalian?” canda Jasmin yang duduk di sebelah Aurora masih memainkan ponselnya. “Maaf, tidak terlihat.” Aksara kembali ke tempat penjual berdiri melayani pelanggan. Aksara menambahkan porsi martabak yang ia beli. Sekaligus, Aksara memesan tiga kopi hitam untuk menjaga kehangatan tubuh kala hujan menyelimuti diri. Aksara kembali ke tempatnya. Ia duduk dengan manis, matanya tidak berhenti memandangi wajah Aurora. Perempuan yang baru dua kali bertemu dengannya. Akan tetapi, rasa yang tidak bisa diungkapkan membuat hatinya semakin menggebu tidak tahu arah. “Ra, apa kamu suka kopi?” tanyanya. “Suka, tapi ... tidak pakai gula.” “Oke, aku sudah pesan kopi untuk menemani obrolan kita. Oh iya, bagaimana keadaan di sekitar kamu? Ehm, maksudku keluargamu.” Aurora membuka lebar matanya. Ia kaget dengan pertanyaan dari Aksara. Apa yang dimaksud dengan laki-laki yang memiliki tinggi badan kurang dari seratus tujuh puluh senti meter itu? Apa dia bisa membaca pikiran orang? “Maksudku, saat ini, kan virus sedang merebak. Jadi, masih aman kan kesehatan keluargamu?” tanya Aksara sembari membuka maskernya karena merasa pengap. “Alhamdulillah, sih, semuanya masih aman.” Aurora tersenyum. Terdengar suara ponsel milik Aksara. Sebuah telepon dari Langit yang mengharuskannya pergi sebelum pesanan tiba. Dari pembicaraan mereka, terdapat informasi bahwa kendaraan yang dikendarai Langit mengalami masalah. Motornya mogok di tengah jalan ketika pulang dari kantor ayahnya. Aksara pergi dari angkringan untuk membantu temannya. Tentu saja, ia berpamitan terlebih dahulu kepada dua gadis yang berada di depannya. Aksara berjalan ke arah pemilik angkringan untuk membayarkan pesanannya. “Satu porsi martabak dan satu gelas kopi khusus untuk Bapak. Sedangkan, dua porsi lainnya taruh di meja sana,” kata Aksara sembari menunjuk salah satu meja. Setelah itu, Aksara meninggalkan sejumlah uang di bar yang tidak sebagus di restoran. Aksara memakai jaket dan helmnya. Dengan kecepatan sedang, ia mengendarai motornya kala hujan sudah tidak terlalu deras. Mungkin ia memang tidak membawa jas hujan. Di saat musim yang tidak pasti seperti ini, seharusnya selalu sedia jas hujan di dashboard sepeda motor. “Dah cocok kali, Jas. Lihatlah ada martabak manis karena bertemu dengan orang baik bin ganteng. Kemudian ada kopi hitam dan hujan yang menggambarkan pahitnya hatiku. Jujur, gue tidak menggilai uang. Gue juga tidak pernah membanggakan harta orang tua. Gue ini masih bukan siapa-siapa. Tapi, gue hanya butuh waktu dari Papa. Sekarang, ada masalah di kantornya, ia malah melampiaskan ke anak istrinya dengan maki-makian yang tidak jelas.” “Ra, gue tahu. Rindu terberat memang bukan karena terpisah oleh jarak. Tapi, terpisah karena waktu, padahal setiap hari lu dan Papa Bram satu atap, tapi waktu yang membuat kalian tidak bisa bertemu. Sekarang, kesempatan buat lu bisa perbaiki semuanya. Berbicaralah dengan baik, Ra.” Jasmin menghirup aroma kopi yang menentramkan jiwanya. Jiwa yang jauh lebih kesepian daripada Aurora. Sesekali, Jasmin menyeruput kopi yang masih panas di dalam gelas berwarna bening itu. “Setelah ini, pulang dan temui Papa Bram, Ra,” sambungnya. Aurora merenung dengan pembicaraannya. Ia tersadar, bahwa dengan pergi dari rumah tidak akan menyelesaikan masalah. Semua itu hanya akan membuat suasana semakin keruh. Aurora berjalan keluar dari angkringan. Jasmin berlari menghampiri Aurora yang telah mencapai pintu angkringan. Mereka berjalan menyusuri trotoar untuk kembali ke rumah. Ditemani air hujan yang mengguyur tubuh, mereka tetap melangkahkan kaki. Setapak dua tapak sangat berarti untuk mereka. Sebuah perjuangan untuk bisa meraih kehangatannya. Hangatnya sebuah hubungan antar keluarga yang telah merenggang akibat waktu dunia yang menipu. “Ra, Jasmin, kalian kenapa hujan-hujanan?” tanya Nilam yang membukakan pintu depan setelah Aurora mengucapkan salam. Aurora hanya tersenyum lalu melenggang pergi ke kamarnya. Jasmin yang masih berdiri di ambang pintu pun menjelaskan tentang perasaan Aurora yang sedikit rapuh karena rindu dengan sosok ayahnya. Nilam pun lari menaiki tangga untuk menyusul putrinya yang sedang dilanda rasa galau. “Ra, Papa ada di kamar. Kamu coba temui dan berbicaralah dengan baik-baik,” katanya sembari merengkuh tubuh putrinya yang menggigil akibat air hujan yang menusuk sukma Aurora. Aurora bergegas pergi meninggalkan Nilam. Ia berlari untuk menemui Bram yang sedang berada di kamarnya. Mereka sedang berada di mana hatinya yang terluka. Bram yang merasakan kebingungan jika harus terkena PHK. Padahal, kehidupan keluarganya masih harus berlanjut. “Pa, Aurora kangen dengan Papa.” Bram menoleh ke arah Aurora. Melihat wajah sendu putrinya yang membuatnya merasa pilu. Air matanya tak sengaja menetes membasahi pipinya. Bram menyambut putrinya yang berjalan ke arahnya. “Pa, Aurora tidak butuh uang yang banyak. Aurora hanya butuh waktu yang cukup dari Papa untuk kita bisa bersenda gurau seperti dulu. Papa jangan sedih dan mengambil pusing masalah kantor. Jika Papa harus dipecat, artinya memang itu bukan yang terbaik untuk Papa. Waktu bekerja di sana, tidak efisien, Pa. Aurora lebih memilih pekerjaan Papa yang terkesan rendah, tapi halal dan bisa membuat Papa istirahat dengan cukup.” Aurora menyeka air matanya yang terlarut dalam rasa sedihnya. “Aurora bukan benci dengan Papa.” “Ra, maaf, selama ini Papa tidak menghargai waktu yang kamu luangkan untuk Papa. Papa terlalu sibuk mencari harta, padahal di rumah ini ada harta berharga yang patut untuk dijaga.”      
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD