Tilik

1159 Words
“Ra, pikiranmu itu makanan melulu. Kalau dari Jasmin, pembelajaran yang didapat itu, sudah sepantasnya sebagai manusia, terlebih seorang wanita, kita jangan bersikap centil kepada orang lain, terutama seorang pria. Memang, wanita membutuhkan perhatian, tapi bukan dengan cara yang seperti itu, kan, Bi?” jawab Jasmin bersamaan dengan es jeruk manis telah diletakkan di meja. “Benar, Jas. Selain itu, jangan pernah memandang rendah pasar tradisional. Sebab, kualitas produk yang dijual di pasar belum tentu rendah. Malahan, kalau kita pandai memilih, kita akan mendapatkan kualitas yang jauh lebih baik. Jadi, jangan pernah memandang rendah pasar tradisional. Sekalipun, kita punya harta yang banyak. Pasar tradisional ini patut dilestarikan. Mereka berdagang dengan persaingan yang sehat. Lihat saja, mereka berjualan sesuai jenis produknya. Tapi, tetap mereka punya pembelinya masing-masing. Oleh karena itu, rezeki seseorang itu sudah diatur dan tidak akan tertukar.” Jasmin dan Aurora menyeruput es jeruk menggunakan sedotan plastik. Mereka melepas dahaga akibat panasnya suasana yang terjadi di dalam pasar. Tidak lama kemudian, mi ayam yang mereka pesan telah siap untuk dinikmati. Aurora menambahkan saus dan sambal dengan porsi yang lumayan banyak. Lahapnya mereka menikmati mi ayam yang telah tercampur dengan bumbu yang lengkap. Soal rasa jangan diragukan. Walaupun, hanya masakan pedagang pinggir jalan, ia memperhatikan cita rasa dan kebersihan serta kesehatan makanan. Memang, makanan dari Yogyakarta patut diberi apresiasi. Apalagi, jajanan pasar yang masih laris di pasaran. Setelah selesai menikmati makan siang, mereka bergegas untuk kembali ke rumah. Takut jika tidak ada angkutan yang berlalu lalang. Biasanya, angkutan umum sudah tidak ada yang lewat di saat waktu sudah siang. Bibi Ningrum membayar uang makan mereka bertiga. Beruntung mereka masih mendapatkan angkutan umum untuk kembali ke rumah. Sepanjang perjalanan, mereka menikmati hamparan hijau yang ditanami padi. Kita sebagai manusia, wajib meniru seperti padi. Di mana semakin tua, padi akan semakin menunduk. Sepatutnya kita seperti itu. Semakin bertambah usia, semakin baik pula akhlak yang kita punya. “Bi, padinya sudah siap panen, ya?” tanya Jasmin sembari menunjuk tanaman padi di pinggir jalan. “Iya, itu sudah siap untuk dipanen.” Bibi Ningrum menghentikan angkutan tepat di gang yang menuju rumah. Mereka turun dengan berhati-hati. Dengan berjalan berjarak seratus meter, mereka membawa barang belanjaan. Sesampainya di rumah, Aurora mencicipi tiwul yang sudah dibeli saat di pasar. Sebuah makan khas yang terbuat dari singkong. Cara membuatnya pun terbilang mudah. Singkong diparut kemudian dijemur. Setelah kering, campurkan parutan kelapa dengan gula aren dan sedikit garam. Setelah adonan pas, masukkan ke dalam panci yang berisi air. Kemudian di kukus selama beberapa menit. Setelah matang, tiwul bisa dinikmati dengan parutan kelapa. “Ra, ke rumah sakitnya sekarang saja, kita pinjam motor punya Paman.” Jasmin mengambil kunci motor milik Pamannya. Ia telah meminta izin kepada sang pemilik motor. Mereka berangkat ke rumah sakit untuk menjenguk Mario. Hanya mengandalkan aplikasi untuk mencari rute terdekat, mereka malah tersesat di sebuah perdesaan. “Ra, gimana sih? Kok malah tembus jalan perdesaan?” tanya Jasmin sembari mengerem motornya. “Sudah benar, Jas.” Aurora menyodorkan ponselnya ke arah Jasmin yang tengah membuka helmnya. Jasmin menengok ke arah Aurora. “Astaga, harusnya tadi belok kanan, Ra!” teriak Jasmin sembari tertawa. Ia menertawakan Aurora yang tidak bisa membaca peta. Alhasil mereka harus putar balik untuk mencari jalan tembusan ke jalan raya. Pada saat mereka putar balik, lagi-lagi Aurora salah membaca peta. Motor yang dikendarai oleh Jasmin malah menemui jalan buntu yang sudah dibangun kandang ternak. Mereka tertawa dengan kelemahan Aurora yang tidak bisa membaca peta. Akhirnya, mereka bergantian posisi. Aurora yang mengendarai motor dan Jasmin mengarahkan jalan sesuai dengan peta. Selama kurang lebih satu jam, mereka berhasil sampai di rumah sakit di mana Mario dirawat. Padahal, sebenarnya bisa dijangkau dalam waktu yang lumayan singkat. Akan tetapi, akibat kesalahan membaca peta membuat mereka harus menghabiskan waktu di perjalanan. Mereka masuk ke rumah sakit dengan menggunakan masker dan mencuci tangan terlebih dahulu. Protokol kesehatan selalu mereka utamakan. Sebab, kesehatan merupakan harta yang tiada tara. Benar kata pepatah bahwa kesehatan itu mahal. Itu sebabnya, kita harus selalu menjaga stamina tubuh agar tetap sehat. “Sus, ruangan atas nama Mario berada di mana?” tanya Jasmin dengan sopan. Seseorang yang bertugas di bagian resepsionis sore hari itu memberikan arahan kepada kedua perempuan itu menuju ruangan Mario. Setelah mereka menemukan ruangan itu, dengan mengucapkan salam, mereka melenggang masuk sesuai titah orang tua Mario. Mereka duduk di kursi yang ada di dalam ruangan. “Mario, lekas sembuh, ya.” Aurora menyentuh lengan Mario yang masih tampak lemas di atas ranjang rumah sakit. Mario tersenyum manis ke arah Aurora. “Kalian kok bisa sampai Yogya?” tanyanya. “Iya, demi konten!” timpal Jasmin sembari tertawa agar suasana menjadi ceria. Ia yakin bahwa lingkungan sekitar berbahagia dan ceria akan memberikan dampak yang positif untuk Mario. Mereka hadir ke rumah sakit bukan untuk bersedih. Mereka hadir untuk menghibur lara yang dirasakan oleh Mario. “Dasar, otaknya cuman berisi ketenaran doang,” lirihnya. Mereka tertawa sekali lagi. Tawa mereka membuat Mario berangsur-angsur turut tersenyum. Walaupun, senyuman yang tersimpul dari ujung bibirnya hanya tipis. Dari sorot matanya terlihat bahwa Mario sedang merasakan kebahagiaan. “Ra, nanti kalau gue sudah sembuh. Gue tetap jadi tim rusuh, kan?” tanyanya. “Jelas. Sumpah, enggak ada lu, konten gue lumayan hancur di tangan Jasmin!” kata Aurora penih penekanan dengan mata yang melirik ke arah Jasmin. Lirikan yang bermaksud memberikan kode bahwa dirinya hanya bercanda. “Ra, Jasmin, ikut Ibu pergi ke kantin, yuk.” Ibu Mario menggandeng tangan Aurora agar ikut bersamanya. Di belakang diikuti oleh Jasmin. Mereka telah sampai di kantin rumah sakit. Mereka memesan nasi goreng spesial dengan minuman air putih hangat. Sebuah menu yang memberikan kehangatan pada perut mereka yang telah lapar karena terlalu lama menempuh perjalanan. “Bu, sebenarnya Mario sakit apa?” tanya Jasmin yang memberanikan diri. Sebenarnya, mereka telah lama penasaran dengan riwayat yang sedang diderita oleh sahabatnya. Akan tetapi, mereka belum tega untuk menanyakan hal itu pada saat itu. “Kalian tenang saja. Mario hanya sedang perlu beristirahat dengan waktu yang lumayan lama. Kalian berdoa saja yang terbaik untuk Mario.” Ibunya Mario melanjutkan menyuapkan nasi ke mulutnya. Setelah pertanyaan yang terlontarkan dari mulut Jasmin membuatnya seakan dilanda beban yang tadinya telah berkurang beratnya. Tersirat dari matanya yang mengeluarkan air mata walau hanya setetes. Mereka kembali ke ruangan Mario setelah selesai makan. Alasan lain, agar ayahnya Mario juga bisa menikmati makan sore yang dibeli di kantin rumah sakit. Mereka bercanda dengan Mario. Sesekali Mario meringis tersenyum menyembunyikan rasa sakitnya. “Ibu, minggu depan kita kembali ke Jakarta, ya.” Ibu Mario hanya mengangguk sebagai jawabannya. Padahal, beliau belum tahu dengan reaksi dokter kala dirinya meminta kepulangan. Waktu berangsur berganti, malam telah tiba. Jasmin dan Aurora memutuskan untuk pamit pulang ke rumah Paman. Hanya mengandalkan arahan dari papan yang terpasang di jalan raya dan peta yang ada di internet, mereka mengendarai motor dengan kecepatan di bawah rata-rata. “Berhenti!” teriak seseorang yang berdiri di depan sana dengan meniup benda kecil berwarna merah yang ia bawa.        
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD