Langit Di Atas Langit

1246 Words
Dua hari kemudian, Aurora sedang pergi bersama Langit. Entah, ramuan apa yang dipakai Langit hingga membuat seorang Aurora luluh terhadapnya. Mereka berjalan kaki menyelusuri sepanjang jalan raya. Tetap dengan masker yang terpasang dengan sempurna. Sesekali mereka menyempatkan untuk mencuci tangan menggunakan air yang disediakan di depan-depan kios yang berdiri di pinggir jalan. “Ra, kok konten lu beda?” tanya Langit sembari mengusap tangannya yang basah menggunakan tisu dua lembar. “Bukan beda, hanya ingin ada yang berbeda saja.” Aurora memakai maskernya kembali. Kemudian, mereka melanjutkan berjalan sampai akhirnya bertemu dengan seorang penarik becak. Langit menghentikan penarik becak yang berada di sampingnya. Sang penarik becak pun menghentikan ayunan kakinya di pedal. “Ada perlu apa, Mas?” tanyanya dengan logat khas orang Jawa. “Ini loh, mau naik becak, Pak,” kata Langit dengan memberi senyuman yang manis. Menurutnya, tidak sering kali mereka bisa menemukan penarik becak di kota besar seperti ini. Jadi, Langit memutuskan untuk mengukir kisah bersama Aurora dengan menjadikan becak sebagai saksinya. Mereka duduk berdua di depan dengan sang penarik becak yang mengendarainya dengan menarik pedal becak. Selama kurang lebih lima belas menit, mereka menikmati indahnya jalanan kota. Ditemani cuaca yang sejuk membuat mereka nyaman dan terasa tenteram berada di bangku becak yang kini sedang mengukir tawa di bibir mereka. Mungkin, bagi orang-orang yang sedang mengamati mereka, hal ini merupakan kegiatan yang biasa saja. Namun, bagi Aurora dan Langit, hal ini begitu istimewa. “Pak, maaf, kenapa Bapak memilih menjadi penarik becak?” tanya Langit sembari memasukkan ponsel ke tas kecilnya. “Ya, karena saya ini hanya orang biasa. Kalau saya punya pekerjaan yang luar biasa, ya, aneh, ta.” “Memang pekerjaan luar biasa yang Bapak maksud itu apa?” tanya Aurora yang mulai tertarik dengan obrolan yang terjadi di antara mereka bertiga. “Ya, saya yang hanya lulusan sarjana tingkat dasar ini kalau berprofesi selain penarik becak, ya, rasanya aneh.” Aurora menganga. Pikirannya tidak sampai dengan maksud dengan perkataan tukang becak itu. Tapi, entah, Aurora masih ingin menikmati setiap kata-kata yang keluar dari mulut penarik becak. Setiap kata yang keluar dari mulutnya terasa tenang dan tenteram. “Sarjana tingkat dasar?” lirih Aurora. “Walah, Mbak, kok ya ora reti, ta. Sarjana tingkat dasar itu, ya, SD.” “Oh, saya kira apa, Pak. Maaf,” kata Aurora sembari menikmati sejuknya udara yang berasal dari sekitar. Adanya virus yang merebak, setidaknya masih ada hal positif. Jalanan masih terdapat udara yang baik untuk sistem pernapasan. Selain itu, langit makin terlihat cerah tidak dipenuhi asap dari gerbong-gerbong asap kendaraan bermotor. “Lha iya, Mbak, santai wae. Oh iya, ini mau turun di mana?” tanyanya. “Turunnya, nanti dulu. Naik saja baru, Pak. Oh iya, Pak, kenapa tidak memilih pekerjaan lain?” jawab Langit yang sedang menyandarkan tubuhnya di badan becak. Walaupun posisinya tidak nyaman, tetapi obrolan mereka membuat semuanya terasa nyaman. Saking nyamannya, Langit serasa tidak ingin turun dari becak yang sedang dinaiki. “Ya, saya ingat kalau di atas langit, masih ada langit. Jadi, mau mencari apa lagi? Padahal, saya sudah nyaman dengan pekerjaan ini. Pekerjaan yang dianggap orang lain, sebagai pekerjaan yang berat dan bebani. Tapi, ya, saya nyaman. Selain itu, kalau pun mau mencari yang jauh lebih baik—di mata orang—tapi bagi saya, bisa jadi, malah buruk. Sebab, bukan bakat dan saya tidak nyaman berada di sana. Makanya, kalau sudah bertemu dengan yang nyaman, ya, wis aja diganti apa maneh diowahi. Mengko nangis,” jawabnya. “Nangis?” tanya Aurora yang masih menikmati jalanan. “Iya, biasanya, anak perempuan kalau kehilangan sesuatu yang sekiranya sudah nyaman, kan gitu, suka menyesal lalu sering menangis. Tapi, ya, laki-laki juga ada yang seperti itu. Makanya, ingat saja di atas langit masih ada langit. Artinya, masih ada yang jauh lebih baik dari kita, tapi kita tidak boleh semena-mena, apalagi tidak mensyukuri yang sudah ada.” Mereka telah sekitar tiga puluh menit berjalan-jalan dengan menaiki becak. Setelah mereka merasa puas, mereka turun dan membayarkan beberapa uang sebagai ongkos becak dan bonus bagi penarik becak yang dengan sabar melayani mereka. Benar, kata sang penarik becak. Apa pun itu dan dalam konsep apa pun, kita harus bisa bersyukur dan selalu menikmati nikmat dengan baik. Jangan menjadi orang serakah yang maunya menggapai yang jauh lebih tinggi. Bisa saja, yang berada di atas sana hanya sebagai pelipur saja dan akhirnya malah membuat kita kehilangan yang sudah dimiliki. “Langit, mau ke mana lagi?” tanya Aurora. Tiba-tiba, tangan Langit menggenggam dengan erat. Aurora merasa tidak nyaman, dengan memberanikan diri, Aurora melepas genggaman tangan dari Langit. Selain harus menjaga jarak demi kesehatan, jaga jarak dalam hal ini juga diwajibkan oleh agama yang dianut oleh Aurora. “Maaf, oke kita pulang saja. Kasihan, nanti lu enggak dikasih kasur sama Jasmin,” katanya sembari tersenyum tipis. Matanya tak lepas dari wajah Aurora. “Oke, sorry, matanya jangan ke mana-mana. Gue tahu, kalau gue itu menarik.” “Menarik, sih ... enggak sama sekali. Justru, lu itu aneh. Kalau boleh tahu, kenapa setiap kali makan sama gue, lu harus ganti pakaian?” tanyanya. “Apaan, sih. Sudah ya, gue pulang,” kata Aurora sembari meninggalkan Langit yang masih berdiri di sana. Sesekali mata Aurora melirik ke belakang. Mencari informasi mengenai Langit, apakah sudah pergi atau belum. Kakinya telah menginjak di halaman rumahnya. Aurora mengetuk pintu sebanyak tiga kali. Nilam telah membukakan pintu untuknya. Aurora masuk ke dalam rumah dan berhenti tepat di ambang pintu penghubung ruang tengah. Ponselnya berbunyi sebagai tanda ada pesan masuk. Ternyata, ada informasi dari pihak sekolah agar turut serta dalam penyuluhan. Sebuah penyuluhan tentang kesehatan bersama salah satu psikiater yang sudah sering membuka praktik untuk kalangan usia pelajar. “Ada apa, Ra?” tanya Nilam. “Besok berangkat ke sekolah. Tapi, ya, per kelas saja. Ma, masak apa?” “Itu ada sayur terong. Mama masak balado, tapi kurang ajib rasanya.” Nilam menutup pintu depan kembali. “Kok bisa kurang ajib?” tanya Aurora yang sudah berjalan lebih dulu ke arah meja makan. “Ra, ajak Jasmin sekalian. Dia belum makan. Iya, tadi Mama melamun, tapi tenang, rasanya enggak buruk-buruk amat, kok. Oh iya, Ra, tadi Papa bilang kalau lagi pergi ke Bandung karena ada tugas selama dua hari.” “Oke, Ma. Tapi, nanti kalau Papa sudah pulang jangan langsung masuk ke rumah. Papa harus ke rumah sakit buat cek keadaannya. Mama lihat kan sudah seberapa banyak kasus. Kita tidak bisa main-main .... “ “Iya, Ra. Lu yang banyakan main sampai lupa sama teman sendiri. Oh iya, Ra, konten kemarin sudah selesai gue edit. Ra, sebaiknya kita jangan terlalu panik. Justru, takut dan panik yang berlebihan itu tidak baik. Sebab, bisa menurunkan imun tubuh.” Jasmin mengambil piring untuk mengambil satu porsi makan siangnya. Dia duduk di dekat Aurora. Makan dengan sedikit rakus, salah satu cara Jasmin untuk tetap merasa bahagia. Pikiran yang baik dan selali berasumsi yang baik akan membantu dalam menjaga imun tubuh. Dengan begitu, rasa tenang dan nyaman akan tetap terjaga dengan baik. Dalam keadaan yang sedang tidak baik, kita harus bisa menjaga kesehatan mental. Bukan hanya kesehatan fisik yang perlu dijaga. Justru, kesehatan mental adalah salah satu kesehatan yang harus dikerjakan terlebih dahulu. “Nah, benar itu Jasmin. Sudah, makan dulu. Nanti setelah makan, kalian bantu Mama buat merawat tanaman, ya. Hitung-hitung olahraga.” “Olahraga kok siang bolong, Ma. Ingat, Ma, sinar matahari sudah tidak baik untuk kulit. Mendingan juga tidur siang,” jawab Aurora sembari menikmati sayur terong balado. “Dasar anak .... “  

Read on the App

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD