“Karena apa?” tanya Aurora sembari mengelap bibirnya yang digenangi air muntahan dari dalam mulutnya akibat tersedak.
“Karena ada kendala. Jadi, harga cabai sedang melonjak tinggi lagi. Kalau kamu tetap mau syuting, percuma kalau kita tidak ada cabai yang standar untuk bikin konten.”
“Kalau itu, sih, gampang. Jas hujan, lu lupa ya? Gue kan orang kaya!” teriak Aurora sembari tertawa tipis. Bukan sombong, akan tetapi memang Aurora selalu mengatakan hal itu agar bisa terwujud. Sebab, Aurora meyakini bahwa sebuah perkataan merupakan doa yang akan didengar oleh Allah.
Percaya atau tidak, sebuah optimisme sangat membantu dalam sebuah kesuksesan dan keberhasilan. Oleh sebab itu, kita sebagai manusia, seharusnya bisa menanamkan sifat optimis di dalam jiwa. Akan tetapi, jangan pernah melupakan rasa insecure. Sebab, sebagai manusia, kita harus bisa menjadikan sebuah rasa insecure untuk bangkit dan menerjangi tanjakan atau turunan terjal dalam aspek kehidupan agar bisa meraih kesuksesan.
“Iya, gue percaya. Tapi, kita harus bagaimana?” tanya Jasmin meminta pendapat dari Aurora. Sebab, semua hal yang bisa memutuskan hanya Aurora. Bukan karena Jasmin tidak ingin berpikir mengenai solusi dari permasalahan, akan tetapi Jasmin memiliki etika yang baik. Segala sesuatunya dibiayai oleh Aurora. Jadi, Jasmin hanya bisa pasrah terhadap keputusan dari Aurora.
“Tenang, bisa diakali. Kita bikin saja sambal.” Aurora berjalan ke arah kamarnya untuk mengganti pakaian. Jasmin menatap punggung Aurora sembari mengernyitkan dahinya. Sambal?
Jasmin yang sudah dilanda rasa penasaran pun bergegas menaiki tangga untuk menemui Aurora. Akan tetapi, baru saja hendak membuka pintu, Aurora telah keluar dari kamar. “Turun,” lirihnya sembari menuruni tangga.
“Ra ... Tunggu!” Jasmin berlari mengejar Aurora.
Mereka telah sampai di halaman belakang rumah. Di sana, Aurora menemui Nilam untuk membicarakan sesuatu. Peran Nilam sebagai ibu Aurora sangat besar. Tidak ada seorang ibu yang akan menelantarkan anaknya sendiri, oleh karena itu, peran seorang ibu untuk tumbuh kembang seorang anak begitu berjasa. Bahkan, ratusan milyar uang tidak akan bisa membayar pengorbanan seorang ibu. Kali ini, Aurora meminta bantuan ibunya untuk membuat bahan olahan agar tidak membengkak pengeluarannya.
Sebuah terobosan baru untuk mengisi kontennya. Aurora akan menghidangkan sebuah menu tradisional dalam kontennya. Sebuah konten yang akan diisi bersama salah satu konten kreator yang lumayan terkenal. Sebuah ide yang terlintas dalam pikirannya adalah konten bertemakan makanan tradisional bercita rasa modern. Sebuah perpaduan yang akan memberikan nuansa baru dalam kontennya. Bukan Aurora, jika tidak memiliki ide konten yang kreatif dan inovatif yang memberikan motivasi.
“Mam, tolong ambilkan bulan purnama yang tersangkut di pohon kelapa.” Aurora duduk di sebelah kanan ibunya yang sedang menyiram tanaman obatnya.
“Hah? Mana ada, Ra.”
“Ada, coba Mama lihat!” perintahnya.
Nilam melihat ke atas ke arah pohon kelapa yang berdiri kokoh di halaman belakang rumahnya. “Astaga, kenapa, sih, harus ada kata-kata pengandaian. Bilang saja, buah kelapa. Kalau itu, minta tolong sama Papa.”
“Oke deh, nanti Papa pulang langsung bilang, Papa, disuruh Mama buat ambil buah kelapa.” Aurora mengambil plastik hitam yang tergeletak di depannya lalu dimasukkan ke dalam tong sampah.
“Enak saja. Memang buat apa?” tanya Nilam sembari melanjutkan aktivitasnya yang sedang mengurus tanaman obat dan tanaman hias miliknya.
“Biasa. Buat bahan konten,” jawab Aurora sembari mencium pipi kanan dan pipi kiri ibunya. “Sekalian, minta cabai merahnya sebanyak empat biji.”
Jasmin hanya bisa tersenyum getir melihat keharmonisan keluarga sahabatnya. Sedangkan, keluarganya tidak seutuh itu. Ibunya yang telah tiada dan ayahnya yang sibuk dengan bisnisnya. Sehingga, membuat Jasmin merasa kehilangan arti dan makna keluarga yang sesungguhnya. Melihat wajah Jasmin yang muram, Aurora memeluknya erat. “Jasmin, jangan bersedih. Peluklah Mama jika kamu rindu dengan malaikat tak bersayapmu.”
Jasmin mengelap air yang berlinang di pipinya lalu mengikuti Aurora yang mengajaknya ke kamar. Mereka membahas tentang konten yang akan mereka gunakan sebagai terobosan kala harga cabai yang kembali melambung tinggi. Benar-benar, harga cabai saat ini sudah persis dengan hati Aurora yang melambung akibat rayuan Langit.
Keesokannya, Aurora bersama Jasmin menyiapkan peralatan dan perlengkapan yang akan digunakan sembari menunggu kedatangan Mario. Jasmin rela memarut kelapa yang telah dikupas oleh Nilam sejak subuh tadi. Sedangkan, Aurora membuat bumbu sambal dengan bantuan cobek dan muntu.
“Jas, kira-kira bumbunya apa?” tanya Aurora.
“Ra, lebih baik, jangan sekarang, deh.”
“Tapi, Jas. Menurut gue sekarang. Daripada ketahuan kalau kali ini kita hanya menggunakan empat biji cabai.” Aurora mengambil cabai yang telah dicucinya.
Jasmin hanya bisa tersenyum sembari mengangguk sebagai tanda persetujuannya terhadap saran dari Aurora. “Pastinya sih ada bawang putih,” kata Jasmin menjawab pertanyaan Aurora yang paling awal.
“Oke, tiga butir, ya?” tanyanya.
“Astaga, gue kira lu dah tahu bumbunya. Eh, ternyata ... Aduh, Ra, lu kalau tanyanya ke gue, ya, jelas bakalan sesat.” Jasmin tertawa.
Tidak lama kemudian, Mario telah hadir di dapur milik Nilam. Tentu saja, dengan izin dari Nilam dan suaminya untuk bisa masuk ke dalam dapurnya. “Cuci tangan, Bro!” teriak Jasmin.
“Tenang, gue selalu cuci tangan. Masker juga enggak lepas,” jawabnya sembari mencuci tangannya lagi. Walaupun, sudah mencuci tangannya di halaman rumah Aurora ketika selesai memarkirkan mobilnya. “Kalian lagi buat apa?” tanya Mario yang heran dengan kedua perempuan yang sedang berhadapan dengan parutan kelapa dan beberapa bumbu dapur.
Tiba-tiba ada suara Nilam yang terdengar sangat dekat. Entah, beliau telah berdiri di belakang Aurora sejak kapan. “Ra, mau buat sambal kelapa?” tanyanya.
“Iya, tolong, Mam.” Aurora menaruh muntu yang tadinya ia pakai untuk menumbuk bawang putih. “Aurora tidak tahu bumbu yang harus dipakai.”
“Kamu itu, sini, Mama kasih resepnya, tapi kamu yang menghaluskan.” Nilam mengambil pisau. Lalu, mengupas seruas kencur dan bawang putih sebanyak satu butir. Setelah itu, Nilam memberikan ke Aurora agar ditumbuk menggunakan alat tradisional juga. “Mam, kenapa pakai cobek, sih, kan ada blender.”
“Cita rasa menggunakan cobek jauh lebih nikmat daripada menghaluskan dengan alat modern. Apalagi, kamu memasaknya menggunakan kayu bakar. Pasti lebih lezat dan nikmat.”
“Jadi rindu dengan masakan Nenek.” Aurora menumbuk bumbu-bumbu itu menggunakan cobek. Tentu, ditambah dengan garam dan bumbu masak secukupnya. Dua bumbu yang akan menambah cita rasa dari sambal kelapa yang akan digunakan sebagai bahan konten hari ini.
“Mam, sekarang dicampur?” tanya Aurora.
“Belum, itu masih ditambah gula jawa, Sayang. Gulanya secukupnya saja, ya. Setelah selesai, kamu campurkan dengan parutan kelapanya. Kemudian, kamu kukus. Mama mau pergi, ada acara sama teman-teman.”
Nilam keluar dari dapur. Begitu juga dengan Mario yang meninggalkan dapur untuk menonton televisi di ruang tengah. Beberapa menit kemudian, terlihat Aurora dan Jasmin yang menyusul duduk di ruang tengah.
“Mario, berkaitan kita anak Indonesia, jadi gue punya ide baru. Jadi, kita sesekali mengangkat tema tradisional. Kali ini, benar-benar tradisional banget.”
“Masalahnya, waktu kalian membuat si makanan, pasti tidak direkam?” selidiknya.
“Tentu saja, Jasmin yang merekam. Nih, lihat ada di ponsel!”
Jasmin memberikan ponselnya ke Mario agar dipindah ke laptopnya. Setelah itu, mereka melanjutkan menonton televisi sembari menunggu sambal kelapa yang sedang dimasak matang. Saking keasyikan menonton, membuat Aurora tertidur pulas di karpet depan televisi.
“Ealah, molor maneh!” teriak Jasmin sembari menepuk jidatnya yang luasnya seluas samudera. Namun, aman tertutup hijab bermotif bunga itu.
“Jas, bau .... “ Mario mengedarkan hidungnya untuk mencari asal sumber bau menyengat itu hadir. Akan tetapi, keadaannya yang sedang engap karena masker sedikit kesulitan menebak asal dari bau.