"Assalammualaikum ..."
Lemas, dengan langkah gontai ku masuki rumah tempat kami berlima di besarkan, sementara bapak memilih masuk lewat pintu belakang setelah memarkir sepeda motor di samping rumah.
"Waalaikum salam ...," jawab yang di dalam serempak.
Semua berkumpul di ruang tamu, siap mengintrogasiku.
Aku duduk di kursi kosong tepat di sebelah mbak Sri kakak iparku istri dari mas Budi kakak pertamaku, beliau yang paling lembut disini aku mencari perlindungan.
Mbak Sri segera memelukku yang langsung menangis tersedu rasanya tidak bisa ku tahan lagi isakanku ini.
"Diem ... Nanti tangisanmu di denger sama tetangga, bisa malu kalo sampe mereka tau anakku hamil di luar nikah!"
Ibu membentakku dengan suara yang di tahan.
Sedari kecil ibu dan bapak memang mendidik kami dengan kedisiplinan bisa di bilang keras, bahkan para tetangga tau kalau orang tuaku, orang tua yang galak.
Semua itu terpatri dan melekat dalam kepribadian kami, terutama anak lelaki mereka tumbuh jadi pribadi yang keras pula.
"Gimana tadi? Apa mereka mau tanggung jawab?" tanya mas Budi.
Aku hanya bisa terus menangis, tiba-tiba bapak keluar dari kamar dan menjelaskan.
"Mereka nggak mau, malah ngasih uang buat gugurin kandungan."
"Sudah ku duga." mas Bayu kakak ke dua ku menimpali.
"Terus gimana ini?" mbak Tri kakak ketigaku bertanya, tapi tidak ada jawaban yang di dengarnya.
"Ya udah gugurin aja kandunganmu Kinan."
Suara bapak terdengar, sama sekali tidak kusangka pernyataan itu ku dengar juga dari bapak.
"Jangan pak, apa tidak ada pilihan lain?" mbak Sri memberanikan diri menyanggah bapak.
"Pilihan apa Sri? Kita nggak mungkin bisa menuntut mereka, kita bukan tandingan mereka, sedangkan membiarkan Kinan melahirkan anaknya tanpa suami terlalu menjijikan untyk keluarga besar kita." kini mas Budi, suaminya yang menjawab.
"Enggak pak, Kinan nggak akan gugurin kandungan ... Kinan nggak mau bikin dosa lagi! Dengan berzinah saja bapak sudah ikut menanggung dosa dari Kinan. Apalagi kalau nanti Kinan bunuh anak Kinan, bapak juga akan ikut berdosa, Kinan nggak mau."
Di sela isak pilu ku coba mempertahankan kandunganku.
"Sekarang kamu baru ingat dosa?" mbak Miranti menatapku nyalang, "kamu sadar nggak sih Kinan, kamu bisa hancurin hidup kami samua dengan kelakuan kamu ini!"
"Terserah kamu kalau nggak mau gugurin kandunganmu, tapi kamu harus pergi dari sini." ucap bapak dengan emosi, amarah juga sedih yang tertahan.
"Pak, kenapa harus begitu... Itu bukan solusi!" mbak Sri tetap gigih membelaku.
"Sudah, nggak perlu mbak bela lagi anak tidak tau diri seperti dia, bisanya bikin malu saja!"
Mas Bayu tidak emosi dari bapak, "sudah aku mau pulang aja, terserah bapak mau diapain ini anak."
Mas Bayu bangkit, menyalami ibu, bapak dan mas Budi lalu pulang.
"mas tunggu ... aku mbonceng," mbak Tri memanggil mas Bayu yang sudah menyalakan sepeda motornya lalu keluar rumah setelah sebelumnya menyalami bapak dan ibu.
Sekejap mata keluarga yang semula hangat kini berubah. Semua membenciku aku sadar semua memang salahku, tapi apakah mereka semua tidak sadar sebenarnya aku juga sangat butuh dukungan saat ini.
"Bu tolong jangan usir Kinan dari rumah bu, Kinan tidak tau harus kemana, Kinan nggak punya siapa-siapa selain keluarga ini."
Aku bersimpuh di kaki wanita yang telah melahirkanku, mengiba memohon maaf dan belas kasihannya.
"Ibu nggak mau menanggung malu lebih besar lagi Kinan, kalau kamu tetap disini semua orang tau kamu hamil tanpa suami, mau di taruh dimana muka kita, belum lagi kalo nanti keluarga calon suami Miranti tau bisa-bisa batal pernikahan mereka ... Duh Gusti ... Kinan, kenapa kamu tega ... Bikin aib yang bisa merusak keluarga kamu sendiri!"
Ibu meratap, mas Budi dan bapak hanya menghela nafas yang terdengar berat, mbak Sri menangis sambil terus memelukku, mbak Miranti masuk ke kamarnya sambil tersungut-sungut.
"Sekarang pilihannya cuma dua Kinan, gugurkan kandunganmu atau pergi dari sini!"
Lagi, bapak memberiku pilihan yang sulit.
"Iya pak Kinan memilih pergi, Kinan akan pertahankan anak Kinan." aku berdiri berjalan gontai ke kamar untuk mengemasi pakaianku.
Di dalam kamar sempit ini telah ku habiskan semua waktuku sejak kecil, masih sangat teringat saat pertama kali tidur di kamar ini karena mbak Miranti sudah tidak mau berbagi kamarnya denganku padahal kamarnya lebih luas dari kamar ini, lalu ibu menyuruhku tidur di kamar belakang dekat dapur ini entah kenapa sejak kecil ibu selalu lebih memihak mbak Miranti dibanding aku, padahal aku yang anak bungsu yang biasanya jadi tempat curahan kasih sayang dan manja.
"Dek boleh mbak masuk?"
Suara mbak Sri mengagetkanku, mbak Sri memang lebih menyayangiku di bandingkan kakak-kakakku sendiri.
"Iya mbak, silahkan." lalu dia duduk di samping tas besar yang sedang ku isi dengan barang-barangku.
"Kamu sabar ya ... Kamu harus kuat, mbak akan selalu dukung kamu, walaupun mbak nggak bisa terus ada di samping kamu...," mbak Sri menghapus airmata yang meleleh di kedua sudut matanya.
"Iya mbak, terima kasih mbak mau maafin Kinan, sekarang cuma mbak Sri yang Kinan punya."
Ku genggam tangannya erat.
"Rencananya kamu mau tinggal di mana?"
"Kinan nggak tau mbak, dari sini Kinan mau ke rumah Aira, mungkin dia bisa bantu Kinan cari tempak kost deket kantor."
"Kamu harus pergi sejauh mungkin Kinan, pergi dari kota ini! Jangan sampe ada yang ngeliat kamu dengan perut hamilmu itu!"
Mbak Miranti bicara dari ambang pintu dan berlalu.
Tak ku hiraukan perkataannya toh dari dulu mbak Miranti memang selalu judes padaku.
"Aku udah selesai berkemas mbak."
mbak Sri menatap penuh kasih padaku lalu memeluk seolah ingin menahan kepergianku, tetapi aku tau tidak ada yang bisa dia lakukan. Dia tidak bisa mempertahankanku disini sedangkan seluruh keluarga telah mengusirku.
"Mbak anterin sampe rumah Aira ya."
Aku hanya mengangguk.
Mbak Sri membantu membawa tas ku sedang aku berjalan di belakangnya.
Aku bersimpuh di kaki bapak yang masih duduk di kursi ruang tamu.
"pak, Kinan nggak minta apa-apa kecuali maaf, Kinan akan pergi jauh ... mungkin kita nggak akan ketemu lagi seperti apa yang bapak mau, Kinan hanya mohon ... tolong maafin Kinan pak."
Bapak menghela nafas, "pergilah," hanya itu yang terucap. Bapak tetap tidak bisa memaafkanku.
Aku bergeser pada ibu yang berada di sebelah bapak.
"Bu, Kinan mohon maafin Kinan, Kinan mau bertaubat bu tapi semua itu percuma kalau ibu nggak bisa maafin Kinan."
"Iya ibu maafin kamu," rasanya lega sekali mendengarnya, ku lihat mata mbak Miranti melotot mendengar kata maaf dari ibu, "tapi ibu tetep nggak bisa nerima kamu disini, kamu tetep harus pergi."
"Iya bu, Kinan pergi ini adalah hukuman dari kesalahan Kinan sendiri." ku ciumi tangan kedua orang tuaku, lama. Karena mungkin ini adalah terakhir kalinya.
Ku ulurkan tangan pada mbak Miranti, tetapi di kibaskan tanganku olehnya, dia benar-benar membenciku.
Ku cium tangan mas Budi, bapak kedua dalam hidupku tangan kirinya mengelus pucuk kepalaku, bahagia rasanya setidaknya dia tidak membenciku.
"Assalamualaikum ..." salam terakhirku sebelum keluar rumah untuk selama-lamanya ku hampiri mbak Sri yang sudah menungguku di atas sepeda motor matic miliknya dengan sebuah tas besar di bagian depan.
Sepeda motor yang di kendarai mbak Sri melaju perlahan, membawaku kian menjauh dari rumah orang tuaku, rumah dimana aku di besarkan penuh kasih sayang, rumah dimana kini aku tidak di inginkan untuk kembali selamanya.
Kupandangi rumah bercat putih gading, yang catnya ku beli setahun lalu dengan gaji pertamaku dimana orang tuaku tertinggal disana, "selamat tinggal ibu, bapak ..." lirihku hingga melewati sebuah tikungan dan rumah itu tak lagi terlihat.