POV Bang Ricko
Aku sudah jatuh cinta, jatuh cinta pada bayi kecil yang baru terlahir ke dunia ini.
Bayi mungil yang tertidur lelap di pelukanku, setelah ku adzani beberapa saat yang lalu. Dalam hati mengalir janji bahwa aku akan menjaganya, bukan aku tidak percaya pada sang ibu, aku yakin Kinan wanita yang kuat.
Tapi bayi ini, dia berhak mendapatkan yang terbaik, mendapatkan limpahan kasih sayang yang tidak bisa dia dapatkan dari orang-orang yang seharusnya.
Aku selalu berusaha ada untuknya, menjadi penopang di saat dia mulai lelah berjalan, memang tidak pernah dia minta tetapi aku tidak keberatan memberi.
Kinanti Prameswari, kian hari kian sempurna adanya dia di mataku. Sebuah cinta yang pernah ia janjikan dulu mulai tampak terlihat entah dia sadari atau tidak masih selalu kunantikan.
Walaupun berkali-kali dia memintaku menikahi Azkya, tapi aku tau, ada sebuah ketidakrelaan dalam relung hati terdalamnya.
Azkya, gadis kecil yang terobsesi cintaku, pertemuan kami bermula saat aku menjenguk teman kerjaku yang sedang sakit. Di rumahnya ada gadis manis yang ternyata adalah adiknya, dialah Azkya saat itu dia masih duduk di kelas 11.
Masih belia, maka kuanggap cintanya cuma cinta monyet, aku sama sekali tidak menyangka dia akan menungguku sampai sekarang, bagaimanapun aku tidak ingin menyakitinya, Namun mencintainya adalah hal yang tidak bisa aku lakukan.
Sebenarnya aku dan Kinan memiliki rasa yang sama padanya, rasa bersalah karena Azkya hanya mengetahui aku dan Kinan adalah saudara sepupu, kami merasa bagaikan seorang penghianat, pecundang yang membodohinya.
"Bang, udah lama?" suara Azkya, membuyarkan lamunanku.
Aku memintanya datang ke sebuah kafe di jam makan siang, waktu istirahat kerjaku dan kuliahnya.
"Eh, nggak. Duduk," aku menunjuk kursi kosong di hadapanku.
"Ada apa Bang? Ah Abang mau nembak Kya ya?" todongnya membuatku bingung harus menanggapi bagaimana.
"Yah Abang mau ngomongin itu, tapi bukan begitu," bingungkan gimana, ngejelasinnya.
"Kya, Abang minta ... Kya cari cowok lain, yang sebaya 'lah sama Kya. Kalo sama Abang jarak usia kita terlalu jauh, emang Kya enggak malu. Ntar dibilang jalan sama Om-Om lagi!" ekspresinya mulai berubah, seperti ada mendung yang menggelayuti hatinya. Tapi detik kemudian dia tertawa.
"Ya nggak apa-apa lah Bang 'kan kalo cinta mah," dia menggeleng-gelengkan kepalanya.
Aku menghela nafas berat lalu menghembuskannya dengan cepat, "Azkya, Abang minta maaf, Abang tetap nggak bisa cinta sama kamu. Maafin Abang."
Dia mulai menangis, airmatanya menitik seperti rintik hujan di awal musim.
"Abang, tapi Kya sayang sama Abang. Kya udah banyak nolak cowok yang suka sama Kya demi Abang," isaknya mulai terdengar, sepertinya aku memilih tempat yang salah kerena tangisan Kya mulai mengundang perhatian pengunjung kafe yang lain.
"Kenapa Kya tolak cowok-cowok itu?" dia tidak menjawab hanya matanya yang dipenuhi kaca-kaca menatap ke arahku, "karena Kya nggak bisa cinta sama meraka 'kan. Sama Abang juga gitu, selama ini Abang udah coba cinta sama Kya. Tapi nggak bisa, Abang sayang sama Kya tapi sebagai adik bukan yang lain."
"Kya nggak bisa cinta sama orang lain karena Abang, apa Abang juga cinta sama orang lain?"
"Sejujurnya iya," aku harus mengatakan yang sebenarnya, bagaimanapun cepat atau lambat Azkya pasti akan mengetahuinya, "Kya sebuah hubungan harus didasari dengan cinta dari kedua belah pihak, nggak bisa hanya didasari rasa kasihan atau lain sebagainya, kalau Abang bersama Kya hanya karena Abang nggak tega nolak Kya, hubungan kita tidak akan berjalan baik. Nantinya kita malah hanya akan saling menyakiti saja."
Aku mengutip kata-kata Kinan saat menolakku dulu, menolak tanpa menyakiti, aku harap Azkya juga tidak akan merasa tersakiti.
"Abang akan menikah?" tanya Azkya sambil mengusap airmata dengan punggung tangannya.
"In shaa Allah, Abang sama sekali tidak ingin menyakiti Kya, tapi Abang tidak mau kalau kamu terus tenggelam dalam penantian yang tidak bermuara. Abang harap Kya bisa ngerti." aku menutup kalimat seraya mengusap lembut punggung tangannya.
Azkya, dia menggelengkan kepalanya sambil berdiri, lalu berlari meninggalkanku sambil menutup mulut dengan tangan tujuannya tentu menghentikan isakannya yang tertahan.
Kini tinggal aku duduk sendiri bertemankan pandangan sinis dari pengunjung kafe yang lainnya, bahkan ada beberapa dari meraka saling berbisik-bisik nyinyir.
Perasaanku? Antara lega dan rasa bersalah.
Dan yang pasti besok harus menerima omelan dari Agung sahabatku, karena telah membuat adik kesayangannya menangis seharian bahkan mungkin semalaman juga, aku harap nggak berlanjut sampai berabad-abad.
Tapi aku yakin, Agung pasti mengerti keputusanku, dia sudah tau aku mencintai orang lain walaupun dia belum tau kalau aku mencintai Kinan, sepupu palsuku.
☘️☘️☘️
"Ayo dong sayang, kamu makan dulu nanti sakit kalau nggak makan!" begini nih, susahnya membujuk Queen makan kalau lagi ngambek.
"Aku nggak mau makan nasi mah, aku maunya makan pizza!" ketusnya.
"Ya udah, mama delivery pizza dulu deh," jawabku seraya membuka kunci layar gawai.
"Nggak mau! Aku maunya pizza yang dibawain Om Ricko."
"Sayang, Om Ricko-nya lagi sibuk."
"Nggak, Mah. sini Queen pinjem HP Mama."
Dia mengambil gawai dalam gengganku, lalu mencari chat WA dengan gambar Bang Ricko yang sedang memeluknya, sebagai photo profilnya.
"Hallo, Om. Aku nggak mau makan nasi, aku maunya pizza yang dibawain sama Om Ricko ... Asiiikkk ... Iya ... Aku tunggu ya Om."
Suara Queen terdengar bersemangat sekali, Bang Ricko memang selalu bisa membuat Queen bahagia, kadangkala dia memang lebih jago membujuk Queen bila sedang merajuk.
Ini adalah salah satunya yang memantapkan hatiku memilih Bang Ricko di samping karena kehadirannya telah menjadi candu bagiku, tetapi kenapa sampai sekarang Bang Ricko tidak lagi melamarku? Mungkin karena Azkya.
Sebenarnya aku tidak rela jika suatu saat Bang Ricko membuka hatinya untuk Azkya, tetapi aku juga tidak tega kalau harus menyakiti gadis lugu itu.
Satu jam telah berlalu
Suara mobil Bang Ricko terdengar lalu hening di halaman rumah, Queen yang sedang asik bermain dengan bonekanya langsung berlari keluar menyambutnya dengan suka cita.
Lalu kami semua, berempat termasuk Mbak Ijah duduk lesehan di karpet depan televisi. Menikmat pizza yang Bang Ricko bawa.
Queen berceloteh menceritakan kesehariannya pada Bang Ricko, sedang aku dan Mbak Ijah melihat-lihat barang-barang yang di jual di online shope-nya melalui gawaiku.
Sampai pendengaranku menangkap pembicaraan dua orang sahabat dewasa dan anak kecil itu, "Om denger dari Mama, dari siang Queen ngambek ya?"
Queen tidak menjawab hanya melirik sambil cemberut ke arahku, dia memang tidak menuntut sesuatu padaku hanya sikapnya saja yang mendadak aneh sejak aku pulang kerja. Hanya dari Mbak Ijah kudengar tadi Queen bertengkar dengan salah satu temannya di sekolah entah karena apa, saat ditanya Queen hanya terisak tanpa bercerita.
"Emang Queen kenapa? Atau pengen sesuatu? bilang aja sama Om," rayu Bang Ricko setengah berbisik di telinga Queen aku dan Mbak Ijah pura-pura tidak mendengar.
"Aku mau punya Papa!" ucap Queen polos.
sontak membuat aku dan Mbak Ijah berpandangan, permintaan Queen membuatku kesulitan menelan pizza yang sedang kukunyah.
"'Kan Queen udah punya Om Ricko!"
"Nggak, aku maunya Papa! Om tuh nggak ngerti, aku tuh di ledekin temen-temen di sekolah karena aku nggak punya Papa!" ucapnya lalu lari menuju kamar, Mbak Ijah mengejar untuk membujuknya.
Bang Ricko menghela nafas, memandang mataku yang telah basah.
"Nggak usah nangis, bentar lagi 'kan Queen punya Papa."
"Hah maksudnya?"
"Yah, kamu udah mau Nikah sama aku 'kan!"
Bang Ricko tertawa kecil melihat tingkahku yang mendadak gugup, "kenapa? Nggak romantis banget ya caraku ngelamar kamu? Aku udah nunggu selama lima tahun Nan, apa itu kurang romantis?"
"Nggak bukan gitu, Bang. Aku mau bawa Queen pulang kampung dulu."
"Buat apa?"