Bab 5

1372 Words
Sayup-sayup indra pendengar menangkap suara memanggil-manggil namaku, bayangan wajah ibu, bapak, dan kakak-kakakku silih berganti membayangi alam bawah sadarku. "Kinan ... Bangun nak, kamu baik-baik saja 'kan." Suara itu, belaian hangat di pucuk kepalaku. "Ibu?" samar kupandang wajah di hadapanku. "Bukan sayang, ini Tante Sofia." lembut suara itu. Namun, menorehkan kekecewaan di relung kalbu, kenapa bukan ibuku? Ah seketika aku harus pasrah menerima, menelan pahitnya kenyataan hidup karena kesalahan yang kubuat. "Tante, aku ...," kuraba perutku, memastikan dia baik-baik saja di dalam. "Kamu baik-baik aja, bayi kamu juga selamat, walaupun tadi kamu pendarahan. Makanya dokter bilang kamu harus istirahat total." "Jadi Tante udah tau Kinan hamil?" aku menangis seketika, takut kejadian itu terulang lagi. Kembali ditinggalkan orang-orang yang baik padaku. "Iya, Aira udah cerita semuanya sama Tante." Tante Sofia merengkuhku dalam pelukannya, membelai lembut punggungku yang terguncang-guncang karena isak tangisku yang kian menjadi. "Udah sayang jangan nangis terus, kamu harus kuat. Kamu nggak boleh stress itu bisa berdampak buruk buat bayi kamu." "Makasih ya Tante, tante udah baik sama Kinan ...." Entah kenapa aku tidak bisa menghentikan tangisku, rasanya melegakan menumpahkan semua beban berat yang selama ini kupikul sendiri, aku terus menangis dalam pelukan Tante Sofia sampai kelelahan, lalu lelap dalam isakan. Entah berapa lama, hingga saat kembali kudengar suara seseorang berbincang. Ku lirik sabahatku Aira duduk di dekat kakiku di tepi ranjang, Tante Sofia dan Om Rudi duduk di sofa, Bang Ricko duduk di kursi samping ranjang dengan membelakangiku sambil memainkan gawainya hingga ia tidak menyadari aku sudah terbangun dari tidur. "Sebenarnya wajar saja kalau mereka sangat kecewa dengan apa yang sudah terjadi pada Kinan, hamil di luar nikah, dan dicampakkan kekasihnya," Om Rudi bicara dengan suara beratnya. "Iya sih Pah, tapi nggak seharusnya mereka membuang Kinan begitu saja, bagaimanapun cuma keluarga yang Kinan punya, seharusnya mereka saling menguatkan," sanggah Tante Sofia. "Ai, coba ceritain bagaimana reaksi orangtua Kinan waktu kamu ke rumah mereka tadi," tanya Tante Sofia pada Aira yang ternyata tadi menemui ibu dan bapakku. "Ya gitu deh ma, awalnya ibunya nangis terus tanya keadaan Kinan gimana, setelah aku jawab Kinan baik-baik aja, bapaknya Kinan nanya apa Kinan keguguran ...." "Terus?" sela Tante Sofia lagi. "Ya aku ceritain, Kinan nggak Keguguran. Terus udah mereka malah ngusir kita, kata mereka, mereka nggak mau tau lagi semua tentang Kinan apalagi tentang anaknya ...," Aira menghela nafas nampak ia menghapus airmatanya, "sepertinya keluarga Kinan pengen banget Kinan keguguran deh ma." "Terus gimana ini pa?" Tante Sofia bertanya pada suaminya. "Ya mau gimana lagi? Kita kan nggak mungkin bisa maksa orangtua Kinan buat nerima anaknya lagi, kita bukan siapa-siapa, nggak bisa ikut campur urusan mereka lebih jauh ma," jawab Om Rudi. "Biarin Kinan tinggal sama kita ya pa, ma ...," pinta Aira. "Kalo mama sih nggak ada masalah, kalau Kinan mau tinggal sama kita. Tapi ... Bagaimana nanti reaksi tetangga ya?" Tante Sofia menerawang. "Ya udah nanti aja kita pikirin lagi, sekarang papa sama mama mau pulang dulu ya. Kalian jaga Kinan baik-baik." Om Rudi dan Tante Sofia pamit pulang pada kedua anaknya, aku memejamkan mata pura-pura tertidur lagi. Namun, tetap saja linangan airmataku mampu menerobos keluar hingga membasahi bantalku, sanubariku bersenandika, "Terima kasih Tuhan, Engkau memberikan orang-orang baik ini untukku." Malam hari, usai Aira menyuapkan makan malam untukku. Bang Ricko menatap kami berdua. "Abang kenapa? Mau aku suapin juga?" Aira mulai meledek Abangnya. "Ih ogah, makanan rumah sakit 'kan nggak enak!" "Lah terus kenapa ngeliatinnya gitu," Aira terus bertanya. "Kalian tuh co cuuiittt banget!" Bang Ricko menjawab dengan gaya sok imut. Aku dan Aira saling melempar pandang lalu tertawa bersama, tawa yang berujung tetesan airmataku, sekali lagi aku memeluknya, "terima kasih ya Ai ...," "Udah ah cengeng-cengengannya! Oh iya, tadi siang katanya kamu mau ngomong sesuatu. Apaan?" wajah Aira berubah serius. Aku jadi ingat, aku mau menanyakan kenapa dia memberitahu Bang Ricko tentang kehamilanku, tapi sekarang sudah tidak penting. Toh mereka semua sudah tau. "Eemmm ... Nggak tau udah lupa," aku menjawab sambil memandang wajah Bang Ricko yang sedang meringis, mungkin dia tau apa yang mau aku tanyakan pada Aira. Kami bertiga menoleh pada gawai Aira yang bergetar di atas nakas, segera di raih benda pipih itu oleh empunya. "Gilang nelpon, aku angkat di luar ya," pamitnya sambil nyelonong keluar ruangan. "Eemmm pacaran terus!" sindir Bang Ricko pada adiknya. "Ih sirik, makanya cari pacar!" kilah Aira sambil melongokkan kepalanya dari balik pintu. "Iya ini lagi cari!" pekik Bang Ricko tertahan. Seperti biasa, candaan mereka selalu jadi hiburan tersendiri untukku. "Nan, gimana ajakan pacaran Abang?" "Hhaahh?. Apaan sih Bang!" "Kok apaan?" "Bang, nggak lucu!" ku tekankan nada bicaraku. Bang Ricko menghela nafas pelan, nampak rasa bersalah terpancar dari wajahnya. Lalu hening menyelimuti kami. Terlarut dalam fikiran masing-masing, saat Bang Ricko memilih merebahkan tubuhnya di sofa. Kucoba memejamkan mata berusaha terlelap berharap semuanya akan lebih baik seiring terbitnya sang fajar esok. *** Berhari-hari di rumah sakit malah membuatku semakin stress, hari ini aku memaksa pulang, lagipula kesehatanku juga sudah jauh lebih baik. Tante Sofia dan Bang Ricko yang menemani di rumah kontrakanku, awalnya Tante Sofia memaksaku kembali tinggal di rumah mereka tetapi aku menolak, aku tidak mau lebih merepotkan mereka. "Ai, pulang ngantor langsung ke rumah Kinan ya, mama sama abangmu masih di sini, papa kan lagi tugas keluar kota. Ya udah bye sayang ...," Tante Sofia berbincang dengan Aira lewat sambungan telepon. Aku jadi kangen ibu, "Kinan kenapa kamu kok nangis?" tante Sofia menggenggam tanganku. "Aku kangen ibu, Tante." Tante Sofia memelukku, "Tante ngerti sayang, kamu doa'in aja ya, mudah-mudahan mereka cepet bisa maafin kamu. Tante yakin, suatu saat mereka akan luluh juga dan bisa nerima kamu lagi." "Aamiin. Makasih ya Tante." Bang Ricko hanya tersenyum tapi aku tau dari senyumnya ia juga ingin memberiku kekuatan, sejak pembicaraan malam itu di rumah sakit, Bang ricko seperti lebih menjaga sikapnya padaku, selalu berhati-hati setiap bicara padaku, mungkin takut aku marah. Aku jadi merasa tidak enak hati padanya. *** Merasa sudah cukup kuat secara jiwa dan raga pagi ini kulangkahkan kaki menuju kantor, kembali berkerja. Entah bagaimana nanti sikap teman-teman kerjaku setelah tau keadaanku yang sebenarnya. Tapi aku yakin aku akan kuat. "Selamat pagi mbak," sapa satpam kantorku dengan ramah seperti biasa. "Pagi pak," jawabku dengan senyum. Ia membalas senyumku lalu membukakan pintu kaca untukku masuk. "Eh mbak Kinanti," sapa seorang rekan kerjaku di meja teller, "udah sehat mbak?" rekan yang duduk di sebelahnya menimpali. "Iya, alhamdulillah," jawabku lalu melangkah menuju ruanganku, sepeninggalanku mereka berdua berbisik-bisik. Aku tau apa yang mereka kasak-kusukkan, pasti tentang kehamilanku. Pandangan-pandangan aneh mulai ku terima dari rekan kerja lainnya, beberapa dari mereka melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan dua teller di depan tadi. Berbisik-bisik membicarakanku. Ada juga yang sengaja memberiku sindiran halus tetapi merajam hati. Tapi aku harus terima, ini adalah konsekuensi yang harus aku terima dari kebodohanku. Inilah sanksi terberat dalam hukumanku, sanksi sosial. "Nan, kamu baik-baik aja?" Aira menghampiriku yang tengah bersandar di kursi, memejamkan mata, menghimpun kekuatan hati, "kamu dipanggil Bu Rika --menegerku suruh ke ruangannya sekarang." "Iya, aku ke sana sekarang." Aku berjalan melewati Aira yang sedang mematung menatapku. Dia mengelus pundakku menguatkanku. Di ruangan atasanku itu, Seorang wanita paruh baya tetapi masih tetap terlihat cantik itu menatapku. Sorot matanya tajam seolah memberikan penghakiman padaku. "Bu Rika manggil saya?" aku membuka suara setelah Bu Rika mempersilahkan aku duduk dengan tangannya. "Iya," tegasnya. "Ini surat pemberhentian kerja kamu," imbuhnya sembari menyodorkan amplop besar berwarna putih padaku. "Saya dipecat, Bu?" "Iya, maaf saya tidak bisa mempertahankan kamu di kantor ini lagi. Dan kamu pasti tau alasannya!" ucapnya penuh wibawa. "Iya, Bu. Maafkan saya semua memang salah saya. Terima kasih sudah memberi saya kesempatan berkerja di sini. Saya permisi." Pamitku setelah menyalaminya. "Silahkan," Bu Rika mempersilahkan aku keluar. Aku memang sudah mempersiapkan mental untuk hal ini, tapi tetap saja rasanya kecewa. "Kinan, kamu ...." Aira tidak meneruskan kata-katanya setelah melihat amplop yang aku bawa, di ambilnya dari tanganku lalu dia baca sendiri. "Aku nggak apa-apa. Aku pulang dulu ya." aku hanya kembali ke meja kerjaku untuk mengambil tas dan beberapa barang saja. "Ntar pulang kerja, aku ke rumah kamu ya." Aira menggenggam tanganku erat, aku hanya mengangguk. Beberapa teman yang masih berempati padaku bergantian memelukku sebagai salam perpisahan. Namun, ada juga yang hanya melempar senyum dan pandangan sinis padaku. Selamat tinggal karier yang telah kubangun dan kuhancurkan sendiri.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD