Di suatu Minggu pagi
Tante minta kamu pikirin baik-baik permintaan Ricko nak."
Kesekian kalinya Tante Sofia membujukku menerima ajakan Bang Ricko untuk menikah. Kadang Aira, bahkan Om Rudi. Aku sangat bersyukur dan berterima kasih atas tawaran ini tapi menikah bukanlah hal yang sesederhana itu bagiku. Terlebih aku belum ingin memikirkannya, rasanya masih enggan terikat sebuah komitmen yang kamu berdua sebenarnya ... Bukan itu keinginan kami.
Suasana meja makan pagi ini terasa berbeda, terutama bagiku, untuk menolak kebaikan bukanlah hal yang mudah, ada banyak perasaan yang harus aku jaga.
"Om, Tante, Bang Ricko, dan kamu Ai ... Sebelumnya Kinan ucapin banyak banget terima kasih atas semua kebaikan kalian sekeluarga, mungkin kalau seumur hidup Kinan harus berterima kasih juga nggak akan cukup untuk membalas kebaikan kalian semua."
"Udah dong Nan, nggak usah berlebihan gitu. Kebaikan kami 'kan karena kami sayang kamu," Aira menyela sambil mengelus pundakku, karena kami duduk bersebelahan.
"Tapi, buat nerima lamaran Bang Ricko, Kinan nggak bisa, Kinan merasa belum pantas."
"Kan Abang udah bilang, kamu harus berhenti menghukum diri kamu sendiri Nan, nggak pernah ada kata nggak pantas buat kamu." Bang Ricko menjawab.
"Sekarang Kinan tanya sama Abang, kenapa Abang mau menikahi Kinan? Karena kasihan 'kan!" ku tatap lekat manik matanya yang tampak bergoyang, mencerminkan sebuah keraguan. Tangannya tampak meremas sendok yang ia genggam.
"Bukan begitu Nan ...." Om Rudi berusaha menimpali.
"Nggak Om, Om dan Tante sudah berumah tangga puluhan tahun, pasti Om dan Tante tau, bukan hanya rasa kasihan yang dibutuhkan untuk membangun sebuah rumah tangga kan?" Om Rudi, tidak menjawab. Helaan nafasnya sudah cukup bagiku sebagai ganti sebuah pengiyaan.
"Biarlah buat saat ini kehadiran kalian cukup sebagai keluarga Kinan, Kinan udah bahagia banget. Mungkin suatu saat kalau Kinan sudah pantas jadi pendamping Abang, dan Abang masih menghendakinya Kinan baru akan terima lamaran Abang."
"Pantesnya tuh gimana sih Nan?" Aira tampak kesal dengan jawabanku, atau lebih tepatnya kecewa.
"Ai, pantes nggak kalo seorang gadis miskin seperti cinderella menikah dengan pangeran?" aku memberikan pertanyaan pada Aira yang tampak menekuk wajahnya.
"Pantes aja, 'kan meraka saling cinta."
"Ya itu , kamu udah tau jawabannya. Aku yang udah ternoda ini baru akan pantas hidup bersama lelaki baik seperti Bang Ricko bila ada cinta yang memantaskannya, kalau sekarangkan belum. Ya kan Bang?"
Bang Ricko terlihat tergagap tidak siap menerima pertanyaanku, dia tidak menjawab hanya memandangku tanpa ekspresi berarti tapi aku tau dia membenarkan perkataanku.
"Tapi kata pepatahkan 'witheng tresno jalaran sokho kulino' Nan." Aira masih saja ngeyel! Ngebet banget dia.
"Kamu kenapa mau nikah sama Gilang?"
"Ya karena ... Kami udah pacaran lama dan saling cinta."
"Kalo Gilang nggak cinta sama kamu, kamu mau nikah sama dia?"
Aira menggeleng ragu, sepertinya dia mulai mengerti dan menerima keputusanku.
"Aku nggak mau nikah sama Bang Ricko sekarang, karena aku tau di antara kami belum ada cinta. Iya kalo setelah menikah cinta itu tumbuh, kalo enggak! Kan malah jadi masalah baru, jadi Kinan mohon maaf dan pengertiannya ya."
Mereka semua tampak kompak menganggukkan kepala.
"Ya kalau itu sudah jadi keputusan kamu, Om hargai." ujar Om Rudi penuh pengertian.
"Tapi kamu tetep tinggal di sini kan?" tanya Tante Sofia.
"Nggak Tante, aku nggak mau terlalu banyak ngerepotin Tante. Lagian kalo tetep di kota ini cepat atau lambat orang-orang di kampungku juga akan tau tentang kehamilanku. Itulah kenapa Mbak Miranti menyuruhku pergi jauh dari kota ini."
"Terus kamu mau ke mana?"
Aku menggeleng pelan. Pertanyaan Tante Sofia mengingatkanku, aku tidak punya tujuan.
"Kamu ikut Abang ke Jakarta aja. Abang punya rumah di sana, tapi selama ini Abang lebih nyaman tinggal di mes kantor, rame banyak temen. Jadi kalo kamu mau, kamu bisa tinggal di rumah Abang."
"Ide bagus tuh Nan, kamu mau ya ... Daripada kamu pergi nggak tau kemana! Aku nggak tega," Aira membujuk sambil bergelayut di pundakku.
"Iya, makasih ya Bang."
"Oke, nanti sore kita berangkat. Soalnya Senin Abang udah mulai kerja."
***
"Nan, Kinan ... Bangun kita udah sampe."
Terasa bahuku terguncang, perlahanku buka mata. Mobil sudah terparkir di halaman sebuah rumah mungil dengan halaman lumayan luas ada sebuah ayunan kayu di sudut taman.
"Ayo turun," Bang Ricko membukakan pintu mobil untukku, aku mengikuti langkahnya memasuki rumah, semua tertata rapi dan bersih, sama sekali tidak tampak kalau rumah ini tidak berpenghuni.
"Ini kamar kamu, kamar Abang di sebelah. Tapi kayaknya Abang cuma malem ini tidur di sini, besok Abang balik ke mes. Kalo kamu takut sendirian nanti di temenin mbak Ijah, orang yang biasa bersih-bersih rumah ini."
"Iya Bang."
***
Pagi
Jakarta panas ya, nggak ada udara dingin pagi hari seperti di kampung, aku sudah selesai mandi. Berniat keluar kamar untuk berkeliling melihat-lihat rumah dan sekitar.
Pakaian yang ku kenakan sudah sempit di bagian perut, aku memang belum punya baju hamil. Nanti saja aku beli, minta ditemani Bang Ricko kalau dia sempat.
"Kinan, sarapan dulu yuk," Suara Bang Ricko di iringi ketukan di pintu.
Aku tidak menjawab tapi langsung keluar kamar, sudah ada dua mangkuk bubur ayam di meja makan.
"Nan, ntar agak siangan Mbak Ijah ke sini. Abang udah bilang biar dia tidur di sini kalau Abang kerja. Nanti kamu suruh dia tidur di kamar belakang ya."
"Iya Bang, emang biasanya Mbak Ijah nggak tidur di sini?"
"Nggak biasanya dia cuma dateng sesekali aja buat bersih-bersih atau masak kalau Abang tidur di sini."
"Bang ntar kalo Mbak Ijah atau tetangga tanya-tanya tentang aku gimana?"
"Abang udah bilang sama Mbak Ijah, kamu sepupu Abang, dan sekarang suami kamu kerja di luar negri, kamu tenang aja tetangga di sini beda ama di kampung"
Bang Ricko memberiku penjelasan sambil menyantap habis buburnya.
"Iya Bang Kinan ngerti."
"Ya udah, Abang berangkat kerja dulu ya. Kalo kamu perlu apa-apa kamu telpon Abang aja."
"oke." aku memberi isyarat dengan ibu jari dan telunjuk membulat.
Bang Ricko mengacak pucuk kepalaku sambil terkekeh.
Mobil Bang Ricko sudah melesat jauh, tak terlihat lagi olehku yang hampir rapat menutup pintu gerbang. Saat seorang wanita bertubuh gempal tergopoh setengah berlari ke arahku.
"Mbak ... Mbak, jangan ditutup dulu!" pekik wanita itu padaku.
"Mbak Ijah ya?" tanyaku menerka.
Dan benar. Dia mengulurkan tangannya, "Kenalin Mbak, saya Khotijah. Biasa di panggil Ijah."
"Iya Mbak, saya Kinanti Prameswari. Panggil aja Kinan," kusambut uluran tangannya.
"Wah mbak Kinan iki ayu tenan, cantik banget mirip artis India, siapa ya itu namanya ... hhmm ... Siapa ya?" Mbak Ijah tampak berfikir keras sambil menepuk-nepuk keningnya.
Aku dibuat tertawa oleh tingkahnya, kami melangkah masuk bersama. Lalu aku terkejut karena seruannya.
"Oh iya! Pretti zinta! Itu Mbak nama artisnya yang mirip njenengan. Yah ... Sebelas dua belas lah sama saya."
Ujarnya setengah terkekeh, aku pun turut larut dalam candanya, ternyata Mbak Ijah humoris juga, aku pasti tidak akan kesepian di sini.
Tidak terasa hari sudah menjelang siang, sejak tadi Mbak Ijah membantuku merapikan pakaian ke dalam lemari sambil berceloteh ria menceritakan berbagai hal, membuatku semakin terhibur.
"Kalau seandainya Mbak Kinan sama Bang Ricko bukan sepupu, pasti Non Azkya cemburu banget tau ada perempuan tinggal di rumah Bang Ricko," celetuk Mbak Ijah yang sedang memasak untuk makan siang kami usai dia berbelanja di tukang sayur keliling tadi.
Aku yang sedang membantunya mengiris bawang, mengerutkan dahi.
Azkya? Cemburu? Bukannya Bang Ricko bilang belum punya pacar ya?