Pria itu memilih pergi dari rumah. saat Salsa memanggilnya untuk sarapan, Pustin tidak ingin menyantap apapun sekarang. Dia harus pergi ke sebuah toko penjual koran pagi ini.
Dengan menggunakan sepedanya, Pustin tiba di tepi jalanan yang padat dengan aktivitas masyarakat.
“Hei, Pustin! Kau ke sini buat baca koran gratis lagi?” tanya pria tua penjual media cetak dari berbagai sumber.
“Paman, aku ingin melihatnya dulu – jika berita yang kuinginkan ada maka akan aku akan beli korannya.”
“Haha! Kau sudah dapat selebaran ini?” tanya pria itu.
Pustin mengambilnya dari tangan pria yang sengaja memberikan selebaran itu padanya. Pustin membaca isinya.
Perhatian!
Proses seleksi menjadi pekerja Sipir Penjara dan Eksekutor di Abodie In Hell akan segera dibuka. Persiapkan diri kalian!
Pustin akan mengingat tanggal pendaftaran yang ada di selebaran tersebut. Pria tua yang memberikan selebaran itu pun memintanya menyimpan kertas tersebut sebagai informasi tambahan untuknya.
Pustin lanjut mencari kabar mengenai pria yang telah membunuh ayahnya. Di halaman 4 kolom 11, ada berita terkini mengenai pria tersebut. Si penjual koran mengikuti arah matanya.
“Kau mengikuti kasus Mavra?” tanyanya.
“Ah, hanya iseng membacanya saja.”
Dia mengangguk dan menurunkan bibirnya. “Lalu, apa alasanmu membeli koranku sejak 15 tahun yang lalu?” tanyanya.
“Aku ingin melihat berita terkini dan beberapa opini tentang pemerintahan serta beberapa resep masakan.”
“Haha, harusnya kau jadi politikus saja, Pustin!”
Pustin tersenyum. “Aku tidak berpendidikan, mana mungkin bisa.”
“Haha, nasib malang kita yang hanya bisa makan dengan sisa-sisa bahan pangan orang kaya raya.”
Pustin tersenyum singkat. “Jalani saja hidup ini, semua akan berlalu sesuai keinginanmu,” sahutnya sambil membayar koran itu kemudian pergi.
Pria tersebut terpelongo. “Sesuai keinginanmu? Hah, anak muda, kau tau apa tentang hidup? Aku sudah makan lebih banyak asam garam kehidupan.”
Pustin melanjutkan perjalanan ke sebuah restoran ternama kota Beden, Linux Delicioso.
Pustin bekerja paruh waktu di sana - bukan sebagai pelayan atau pun koki, melainkan orang yang mengambil bahan masak dari pelabuhan maupun tempat lain sesuai permintaan bosnya.
“Morning, Sir!” sapanya pada pria berkumis dengan kerutan di wajah yang mulai bertambah beberapa tahun ini.
“Ya, Luv!” sapanya dengan nama belakang Pustin.
“Aku punya tugas hari ini?” tanya Pustin.
“Ada, kau hanya perlu mengambil dua box dari tempat berbeda.”
“Oke!”
Pria itu menuliskan alamatnya pada secarik kertas dan amplop tebal, lalu memberikannya pada Pustin. “Itu sangat berharga, jangan sampai rusak.”
“Jangan sebut aku Luv jika aku tidak bisa menjaganya.”
“Ha–ha–ha!” Tawanya terasa tanggung, seakan dia tidak suka pada pria yang terlalu membanggakan diri.
“Pustinen Luv (singa gurun) tak selamanya jadi raja hutan! Bisa saja dia disingkirkan oleh Hyena.”
Pustin tersenyum. “Jangan sampai ucapan Tuan terdengar oleh sutradara,” sahutnya.
“Kenapa?”
“Dia bisa membuat film dari kalimat tersebut,” jawabnya kemudian menarik kertas itu dari tangannya.
Pria itu tertawa miring, “Jika itu terjadi, aku akan sangat senang. Setidaknya mereka mengenalku sebagai penulis.”
Pustin tersenyum sarkas. “Aku pergi dengan sepedaku?” tanyanya.
“Hah, biasa singa tak pernah mau diberi kendaraan karena dia bisa berlari sendiri,” sindir bosnya.
“Sayangnya aku tidak tinggal di hutan. Kakiku hanya terlatih untuk mendayuh sepeda roda dua.”
“Hah, memalukan!”
“Namaku Pustinen Luv (singa gurun) bukan Dzhungla Luv (singa hutan),” bisiknya lagi membenarkan kesalahan dari bosnya.
Pria paruh baya itu memberikannya kunci mobil roda tiga berbahan bakar bensin dengan mesin jenis terbaru. Tampilannya lebih ke becak mesin jaman sekarang, tetapi modelnya sangat antik.
Pustin mengambilnya, lalu pergi dari hadapannya. Terkadang candaan mereka terlihat garing, tetapi tetap mereka lakukan setiap kali bertemu.
Sesampainya Pustin di pelabuhan, dia melihat seseorang menggunakan topi merah. Berdiri dekat tiang penyangga, tempat melilitnya tali tambang kapal. Menurut ciri yang tertulis, dia orangnya.
“Sangat mencolok, merah di tengah terik matahari. Seperti tetesan selai di tengah roti coklat,” katanya saat masih dalam mobil dengan nada pelan kemudian turun dan berjalan ke arahnya.
Pustin memberi kode, jika ternyata dia membalas maka benar itu adalah orangnya. “Kombo Dua,” ucapnya saat berdiri di samping pria tersebut.
“Tanpa kaki,” jawabnya ringan. Menandakan bahwa dia memang sasaran Pustin. “Sekotak lobster untuk Tuan Frank,” sambungnya.
“Dengan saus?”
“Ya, sangat lezat.”
“Oke.” Pustin memberikan uang itu padanya dan dengan cepat membawa box berisi lobster itu ke mobil, kemudian membawanya kembali ke restoran.
Sesampainya di restoran, Pustin meletakkan tempat itu di ruang rahasia milik tuan Frank. Dia menunggu sampai pemiliknya datang. lima belas menit kemudian Frank tiba.
“Masuk, aku ingin mengeceknya bersamamu,” pintanya.
“Oke.”
Pustin diminta untuk membuka box yang ditutup dengan tali kuat. Begitu dibukanya, lobster segar itu hampir saja menjepitnya dengan capit tajam.
“Woah! Mereka masih garang,” ujarnya tertawa.
“Haha, itu bagus untuk bahan masakan. Rasanya manis walau tanpa harus menggunakan banyak bumbu.”
Pustin tersenyum tegas, menaikkan alisnya sekejap. ‘Oke, aku tak tahu masalah makanan lezat.”
“Kau harus mengumpulkan uang untuk makan di restoran milikku dan merasakan menu istimewanya.”
Pustin tertawa miring. “Satu porsi setara makan kami dua bulan. Tidak akan aku masukkan ke daftar impian,” sindirnya sekaligus membuka kondisi keuangan sebenarnya.
“Haha!” Frank malah terhibur mendengarnya. “Singkirkan mereka semua, aku butuh benda di bawahnya,” perintah Franks.
Pustin mengambil satu persatu lobster itu dengan hati-hati kemudian dia melihat sebuah plastik putih di bawahnya. Pustin membenamkan tangannya di antara air dan es untuk mengambilnya kemudian memberikannya pada Frank.
Pria itu menggunting kemasannya yang ekstra tebal. Pustin penasaran pada benda itu. Frank mengeluarkannya dan mata Pustin membulat sempurna. Koin emas dalam jumlah banyak ada di tangannya saat ini.
“Wah!” sahutnya tertegun.
“Kau tak pernah menyentuh emas?” tanya Franks.
Pustin menggeleng singkat. Frank mengambil tangan kanan Pustin dan membiarkannya menyentuh koin emas itu. Sangat luar biasa, pengalaman pertamanya hanya bisa dirasakan ketika dirinya bekerja untuk Frank.
“Kau mau satu?” tanya bosnya.