Temaram. Itu kesan pertama ketika Adhit membawanya memasuki gerbang. Namun Shila bisa merasakan bagaimana indahnya suasana rumah ini di siang hari. Dari gerbang hingga depan rumah, di kanan kiri penuh dengan bunga-bunga yang bermekaran. Lampu-lampu taman membuat Shila bisa mengenali aneka bunga tersebut.
“Angelonia, krisan, marigold, dianthus, gazania, hollyhock, cosmos? Hhh, bagaimana kamu bisa membungakan mereka semua? Dan apa mataku tidak salah lihat? Ada hydrangea di antara bunga-bunga tadi.”
“Memang ada. Dan taman yang di sana ...,” tunjuk Adhit pada taman bundar di tengah halaman, “ditumbuhi bunga-bunga yang harum. Aneka melati, kenanga, sedap malam, kemuning, dan kalau kamu amati tadi di pintu masuk ada melati belanda.”
“Mawar? Mawarnya, Dhit?” tanya Shila sedikit tercekat.
“Ada tempat khusus di bawah jendela. Kamu bisa lihat dari teras rumah.” Adhit menghentikan mobilnya tepat di depan rumah dan berjalan keluar untuk membukakan pintu Shila. Sementara Shila masih belum percaya dengan penglihatannya.
“Kamu menanam semua bunga yang ingin aku tanam,” bisiknya ketika Adhit membuka pintu.
“Ya. Dan kamu masih ingat rumahnya?”
Shila memandang ke arah rumah. Dinding kayu, dengan ornamen-ornamen angin di gantung di tera. Dan aneka bunga gantung di sekeliling rumah.
“Petunia, vinca ..., kamu ..., kamu benar-benar menanam semuanya?”
“Semuanya.”
Shila turun dari mobil dengan langkah gemetar. Ini semua adalah cita-citanya sewaktu masih pacaran dengan Adhit. Dulu mereka sering berkhayal jika punya rumah di masa depan, rumah seperti apa yang ingin dimiliki? Adhit ingin rumah modern bertingkat, karena dia ingin punya anak banyak agar mereka tidak kesepian nantinya. Banyak anak, banyak cucu.
Sebaliknya, Shila ingin rumah sederhana. Berdinding dan berlantai kayu. Seperti rumah-rumah di pedesaan. Banyak jendela sehingga banyak angin dan sinar matahari yang masuk.
“Rumah besar juga bakalan sepi kalau anak-anak udah gede dan punya rumah masing-masing. Kalau rumah kecil, kita nggak akan merasa gitu. Karena ke manapun aku pergi, ketemu kamu lagi, kamu lagi.”
“Kamu benar-benar membangunnya,” desis Shila sambil menutup mulut. Matanya mulai mengembun. Namun dia sedang tidak ingin menangis hari ini. Dia tidak ingin membuat bunga-bunga menjadi basah.
“Ayok kita masuk,” ajak Adhit sambil mengulurkan tangan. Shila menyambutnya. Dia butuh pegangan karena tubuhnya terasa limbung. Dia tak menyangka begitu besar perasaan Adhit padanya.
Di depan pintu, Mama Adhit membuka pintu untuk mereka berdua. Melihat Shila, Mama langsung memeluk dan menciuminya. Pipi Shila basah terkena air mata bahagia Mama. Di pelukan Shila, Mama menangis tersedu-sedu, mewakili air mata putranya yang tak bisa keluar.
Adhit membimbing Mama dan Shila duduk di sofa ruang tamu. Beberapa saat lamanya, Shila membiarkan Mama menumpahkan air matanya sampai habis. Setelah puas menangis, Mama mulai membuka suara.
“Shila, akhirnya kita bisa bertemu. Kamu pasti hidup dengan perasaan benci pada kami selama ini, kan?” Mama mengusap sisa air matanya dengan tisu yang diberikan Adhit.
Masih teringat di benak perempuan itu, seolah kejadiannya belum lama. Tubuh kecil yang tergolek dengan tangan tertancap jarum infus. Mama ingat sekali bagaimana tatapan Shila waktu itu. Kosong. Dan matanya, mata kosongnya tak pernah berhenti mengeluarkan air mata. Sepanjang dua puluh tahun ini, bayangan itu selalu menghantui Mama. Dia selalu merasa bersalah karena tidak bisa berbuat apa-apa untuk mereka berdua.
Shila memeluk Mama Adhit yang duduk di sampingnya. “Mana mungkin Shila begitu, Tante. Tidak ada perasaan apa-apa di hati Shila. Sepanjang dua puluh tahun in, Shila kehilangan perasaan sedih dan bahagia. Bahkan Shila tidak bisa menangis sesedih apa pun momen yang Shila hadapi,” katanya lalu memalingkan wajah pada Adhit yang sedari tadi menatapnya.
“Itu benar, Dhit. Hujan nggak pernah turun untukku. Baru kemarin di reuni, semua perasaanku rasanya kembali. Aku menangis lagi, hujan turun lagi. Rasanya ruang-ruang kosong di dadaku terisi lagi.”
Beberapa saat Shila dan Adhit saling berpandangan, saling memahami. Betapa mereka berdua sama-sama menderita selama ini.
“Sudah, sudah. Sedihnya disimpan dulu, kalian belum makan malam, kan? Yuk, Tante udah masakin sesuatu yang spesial untuk hari ini.” Mama Adhit berdiri dan mengulurkan tangan pada Shila. Mereka bergandengan tangan menuju ruang makan.
Tidak banyak perbincangan selama di meja makan. Semua tenggelam dalam pikirannya masing-masing. Meski masakan Mama Adhit sangat lezat, rasanya Shila susah menelan. Perasaannya tak karuan. Pikirannya awut-awutan. Dia butuh seseorang untuk berdiskusi tentang hal ini. Tentang perasaannya. Tapi bukan Adhit. Sayangnya, hanya Adhit yang saat ini ada untuknya, hanya Adhit yang paling memahami keadaannya.
“Masakan Tante nggak enak, ya, Shil?” tanya Mama Adhit ketika dilihatnya Shila menyuap sedikit-sedikit.
“Eh, enggak, kok, Tante. Masakan Tante enak. Maaf Shila lupa rasanya.”
Mama Adhit tersenyum. “Kamu menghilang sangat lama, Sayang. Tentu saja kamu lupa.”
“Maafkan Shila, Tante. Waktu itu Shila butuh waktu untuk menenangkan diri.”
“Tante paham. Tidak ada yang menyalahkanmu, nggak perlu kamu minta maaf.” Mama Adhit mengusap punggung tangan Shila. “Baiklah, rasanya makannya cukup saja. Tante juga tidak terlalu lapar. Tante lebih butuh makanan manis saat ini. Kamu mau puding, Shila? Adhit?” tanya Mama sambil berdiri.
“Boleh, Ma,” jawab Adhit. Shila mengangguk mengiyakan. Mama Adhit benar, saat ini dia butuh makanan manis untuk membuat suasana hatinya menjadi lebih baik.
Seseorang perempuan setengah baya masuk ke ruang makan dan mengambil piring-piring bekas makan mereka. Mama muncul dengan membawa nampan berisi tiga piring puding coklat.
“Mejanya dibereskan sekalian, ya, Mbak,” perintahnya pada ART-nya. “Kita makan di depan TV saja, yuk. Biar lebih santai,” ajak Mama Adhit. Mereka bertiga berjalan menuju ruang hangat di depan ruang makan. Mama meletakkan nampan di meja kecil di samping sofa. Setelah Adhit dan Shila duduk, Mama membagikan piring kecil berisi puding coklat.
“Setelah Adhit menikah, semuanya berubah. Donna tinggal bersama kita di komplek dan dia yang masih sangat muda untuk berumah tangga, sangat manja dan egois. Sepanjang waktu Adhit harus bersabar menghadapi keegoisan Donna.” Mama Adhit mulai bercerita.
“Mama bukan mau menjelekkan istrimu di depan Shila, Dhit. Mama cuma pengen Shila tau, bahwa kita terpaksa memilih jalan ini meski mungkin bagi beberapa orang ini pilihan yang bodoh dan salah.”
“Ma, nggak ada pilihan yang bodoh. Semua sudah takdir. Mama sekarang punya sepasang cucu yang cantik dan tampan,” kata Adhit menenangkan mamanya.
“Kamu benar. Mama menyayangi mereka meski Mama masih belum bisa menerima ibunya. Dan, Shila sepanjang waktu Tante berdoa agar kita sempat dipertemukan, sayangnya keberadaanmu benar-benar tak terlacak.” Mama menunduk sedih.
“Maaf, Ma. Sebenarnya Adhit sempat ketemu Shila. Maksudnya bukan ketemu face to face, gitu, Ma,” ralat Adhit ketika dilihatnya Shila memandangnya dengan rasa ingin tahu. “Adhit sempat melihat Shila di Bandung. Waktu Adhit sedang mencari bibit bunga untuk kebun kita,” terang Adhit.
“Di Bandung?” tanya Shila ingin menegaskan. Adhit mengangguk.
“Di Jalaprang. Di kosan Bu Wahab. Aku sempat menginap beberapa hari di sana dan sempat melihatmu,” katanya perlahan. Shila menatapa Adhit tak percaya.
“Dan kenapa kamu nggak negur aku?”
“Waktu itu kulihat kamu sedang dengan seseorang. Dan kamu terlihat bahagia. Aku nggak mau merusak perasaanmu, Cila. Kalau kita saling tegur sapa juga, kita bisa apa? Saat itu aku sudah menikah dengan Donna.”
“Entahlah, Dhit. Rasanya ..., rasanya pasti kita bisa melakukan sesuatu. Entahlah, Dhit.” Shila meletakkan piring puding ke pangkuannya. Kejutan apa lagi yang akan diberikan oleh Adhit? Ada banyak kesempatan atau hanya kebetulan? Tiba-tiba Shila teringat sesuatu.
“Dhit, apa, apa kamu juga yang memberiku ponsel itu?”
Adhit tak menjawab pertanyaan Shila, dia beranjak pergi meninggalkan Shila dan Mama yang keheranan dengan tingkah laku dia.
Setelah pergi beberapa saat Adhit kembali dengan sebuah benda di tangannya. “Ini.” Adhit memberikan ponsel Ericsson lama berwarna biru muda. Shila membelalakkan mata, dugaannya selama ini benar. Aditlah yang memberinya ponsel itu. Air matanya mengalir, tak kuasa ditahan lagi.
Mama mengusap punggung Shila dan mengambil piring puding dari pangkuannya. Terlalu banyak kejutan yang dialami Shila dan Mama tidak yakin apa Shila sanggup menerima satu kejutan lagi? ©