Akhirnya aku tiba di Cilacap. Di rumah kakak sulungku, Mas Rio. Sebagai sulung dari lima bersaudara, Mas Rio yang diserahi untuk mengurus rumah keluarga di Jalan Bakung ini. Rumah peninggalan almarhum Bapak. Semua orang di Jalan Bakung mengenal siapa keluarga kami. Bapak adalah juragan ikan asin dan dia memiliki sebuah brand oleh-oleh yang cukup terkenal di Cilacap. Setelah usaha Bapak dipegang Mas Rio, brand itu semakin berkembang. Bahkan kini Mas Rio punya beberapa outlet yang khusus menjual produk-produk yang dihasilkan oleh usahanya. Tidak hanya ikan asin tapi segala jenis snack khas Cilacap.
Jika ada wisatawan yang datang ke Cilacap, mereka pasti mengunjungi outlet oleh-oleh Mas Rio. Selain harganya yang terjangkau, soal rasa memang belum ada tandingannya. Rahasianya terletak pada resep bumbu racikan almarhumah Ibu. Dan kini hanya Mas Rio dan istrinya saja yang tahu tentang resep itu.
“Iraaa! Mbak rindu sama kamu. Sendirian? Mana anak-anak?” Mbak Raras, istri Mas Rio menyambutku. Dia memeluk dan menciumku.
“Anak-anak nggak ikut, Mbak. Ayahnya nggak ngizinin,” sahutku sambil melempar tas dan duduk di kursi ruang tamu. Kulepas heelsku dan kuletakkan asal di bawah kursi.
Seorang perempuan tua datang dan membereskan barang bawaanku.
“Bik Sar masih kerja di sini? Wah, awet, ya?” tanyaku sinis. Aku memang kurang suka dengan bibik satu ini. Dia adalah salah satu warisan dari Bapak dan Ibu. Jangan ditanya berapa usianya. Seharusnya dia sudah pikun di umur segini, tapi Bi Sar, ingatannya tajam luar biasa!
Bi Sar yang dulu sering memergoki aku jika keluar malam diam-diam. Atau pulang malam diam-diam juga. Dia sering membuat aku dipukuli Bapak pakai sapu lidi. Aku benci bukan kepalang pada babu satu ini. Dan sekarang, dengan keberadaannya di rumah ini, aku tidak bisa bebas menyelinap keluar rumah diam-diam.
“Hush! Kamu nggak boleh kasar sama Bik Sar. Hari gini susah dapet orang kepercayaan kayak dia.”
“Tapi dia itu sudah tua, Mbak. Sudah jadi fosil. Emang dia nggak punya keluarga apa?”
“Keluarganya ya kita ini. Bi Sar kalau nggak kerja di sini mau tinggal di mana? Dia Cuma sebatang kara. Dia itu termasuk salah satu amanat Bapak yang harus dipatuhi.” Keluarga kami penganut nilai-nilai Jawa tulen. Titah Bapak harus dituruti tidak boleh dilanggar, nanti kualat katanya.
“Mas Rio mana, Mbak?” tanyaku sambil menyeruput es teh yang dibuatkan Bi Sar.
“Ada di pabrik. Ada pesanan dari Disperindag buat pameran. Mas-mu sibuk ngecek pesanan.”
Baguslah. Berarti pengawasan terhadapku bakal lengah.
“Kamu sudah makan, Ra?” tanya Mbak Raras sambil beranjak ke dalam.
“Sudah di jalan, Mbak. O, ya, mobil Ira bisa dipakai, kan, Mbak?” tanyaku sambil mengikuti Mbak Raras ke dalam.
“Kamu baru datang sudah nanya mobil. Mau ke mana?”
“Ada urusan, Mbak.”
“Urusan apa? Tumben kamu punya urusan di Cilacap?”
“Seperti kata Ira di telepon, Ira ke Cilacap itu mau reuni akbar. Dan Ira bakal sibuk karena termasuk panitianya. Malam ini aja ada rapat di rumah Uli di Jalan Perkutut. Jadi jangan nungguin Ira pulang, ya, Mbak.”
“Asal kamu WA nanti, ya mau pulang jam berapa. Jangan kemaleman. Mas mu itu nggak suka kalau kamu pulang terlalu malam!”
“Mbak, Ira bukan anak SMA lagi, lho. Masa ada jam malam, sih?”
“Aturan di rumah ini begitu.”
“Mbak, please. Malu nanti Ira sama temen-temen kalau harus pulang kayak Cinderela.”
“Jam 12 itu udah cukup, Ra. Jaga nama baik mas-mu.”
Shit! Jam 12. Inilah salah satu hal yang kubenci jika pulang ke rumah ini. Jam malam. Seolah aku ini anak SMA yang akan pergi ke pesta perpisahan saja.
***
(23 tahun yang lalu)
Namanya Banyu Arya Pratama. Anak kelas satu yang sudah terpilih menjadi paskibra mewakili sekolah. Nggak heran, tubuhnya atletis banget. Tinggi di atas rata-rata. Kulit putih meski sering terbakar matahari. Entah apa yang membuatnya kalah pamor dari Aditya Dharmawan.
Aditya, meski dia ganteng, tajir, dan pintar, tapi bagiku dia bodoh. Ya, bodoh karena punya selera perempuan yang aneh. Ketika semua laki-laki di sekolah mencoba menarik perhatianku, Aditya justru sibuk mengejar-ngejar teman sekelasnya. Shila. Entah apa istimewanya gadis itu. Sudah pendek, item, ceking lagi.
“Kamu cemburu sama Shila?” tanya Kania, teman sekelasku. Dia cantik, tapi tidak secantik aku.
“Buat apa? Laki-laki di sekolah ini bukan hanya Aditya,” jawabku sinis. Pandanganku kembali terarah ke lapangan. Ke tempat anak-anak paskibra sedang berlatih.
“Kamu ngeliatin siapa, sih?” tanya Kania lagi. Pandangannya mengikuti arah pandangku yang mengunci pada satu sosok. “Banyu?”
“Iya. Banyu. Boleh juga, kan?”
“Iya, sih …, tapi ….”
“Tapi apa?”
“Dia itu kan non muslim,” ujar Kania sambil menyeringai.
“Trus kenapa? Apa ada undang-undang yang melarang suka sama beda agama?” Akhirnya aku tahu kenapa Banyu kalah pamor sama Aditya. Dasar masyarakat kuno. Apa yang salah dengan hubungan beda agama? Toh, kita mau pacaran. Senang-senang. Bukan mau kawin.
“Terserah, sih kalau kamu nekat. Lagian kalau kamu mau dapetin Banyu, semudah menjentikkan jari. Tuh, lihat! Dari tadi dia diam-diam mencuri pandang ke sini.”
Itu benar. Aku juga menyadari. Banyu berulangkali melihat ke arah kami berada.
Seperti dugaan Kania, mendapatkan Banyu sungguh mudah. Cukup beberapa kali bertemu di kantin sekolah, kami resmi berpacaran. Banyu …, menjadi cowok kelas satu yang sangat beruntung mendapatkan aku. Cowok dari kelas 1 hingga kelas tiga yang punya pandangan normal, pasti mengidolakan diriku. Bahkan guru laki-laki yang masih lajang saja terlihat salah tingkah jika berada di dekatku.
Bagaimana tidak? Di usiaku, tubuhku sudah tumbuh layaknya perempuan dewasa. d**a yang membusung, pinggang berlekuk indah, dan bagian bawah yang membuat anak cowok melotot tiap kali aku melenggang. Parasku? Jangan ditanya. Ibu Jawa tulen berparas ayu, Bapak keturunan Arab dengan hidung yang mancung. Kulitku putih, rambutku keriting dan sedikit pirang. Orang bilang, parasku mirip Preity Zinta.
“Bee, berjanjilah tidak akan pernah meninggalkan aku. Berjanjilah,” bisikku di telinganya. Saat itu, aku baru saja melepas keperawananku padanya. Otakku pasti sudah gila. Tapi perasaanku padanya sungguh tak terbendung.
“Aku berjanji Dee, aku berjanji. Selamanya aku hanya akan mencintaimu.”
Siang itu, sepulang sekolah, di rumah Banyu yang selalu sepi, kami berulang kali melakukan perbuatan terlarang. Dan pengalaman bersamanya melahirkan aku yang baru. Aku yang selalu haus untuk disentuh olehnya, aku yang selalu mengharap kepuasan darinya. Aku yang selalu meminta dan terus meminta. Dan Banyu, seperti tahu apa yang diinginkan tubuhku. Dia memenuhinya. Dengan segala cara. Dengan segala gaya. Pengalaman yang berlebihan untuk cowok seumuran dia. Tapi aku tak peduli dari mana dia mendapatkan pengalaman itu. Bagiku, dia bisa memenuhi hasratku saja itu sudah cukup.
“Cintai aku Bee. Peluk aku. Selalu bersamaku,” bisikku dalam desahan yang panjang menuju puncak.
“I love you, Deira. Aku tidak akan pernah meninggalkanmu.”
Tapi Banyu Arya Pratama pergi. Meninggalkan Deira Wongso dalam kehausan yang dalam.
Banyu Arya Pratama pergi karena perbedaan yang tidak bisa disatukan. Sial! ©