SEBELUM REUNI

1800 Words
DEIRA  Akhirnya aku bisa bertemu dengan Banyu lagi. Dan sepertinya dia masih belum bisa move on dari aku. Jika, ya, kenapa dia bisa begitu mudah b******u denganku? Apa seperti katanya, karena alkohol? Hhhh, alkohol apaan?   Sejak dulu aku tahu, ada yang salah dari keputusan Banyu untuk mengakhiri hubungan kami. Banyu seperti bukan Banyu pada saat dia mengambil keputusan itu. Namun berulang kali aku mencoba mendesaknya, malah membuat Banyu semakin jauh dariku. Dan akhirnya menghilang. Banyu tak bisa dihubungi dan memilih memutus hubungan dengannya. Meninggalkanku dengan hati yang patah dan tubuh yang menggigil karena kedinginan.   Semua ini kesalahan Banyu! Aku begini karena dia! Jika dia tidak meninggalkan aku begitu saja, aku tidak akan mencari laki-laki lain untuk menggantikannya. Apa dia pikir mudah bagiku untuk mencari penggantinya? Laki-laki yang lebih tampan dan lebih hebat diranjang dari Banyu itu banyak. Namun tubuhku hanya menginginkan tubuhnya. Tubuhku bereaksi tepat jika bertemu tubuhnya. Dan pikiranku tidak bisa lepas darinya. Hanya Banyu. Banyu. Banyu. Dan Banyu.   Dia harus tanggung jawab! Banyu Arya Pratama harus bertanggung jawab karena telah membuatku rusak. Sekian tahun dia bersembunyi akhirnya dia muncul juga. Dan setelah kejadian malam itu, aku yakin dia akan muncul lagi di reuni hari ini. Kesempatan bagiku untuk mendapatkannya lagi. Kali ini aku harus memiliki dia.   “Mmm, jam berapa sekarang?” tanya seseorang di sebelahku. Dia menggeliatkan tubuhnya dan terkejut mendapati aku yang duduk disampingnya hanya dengan selimut yang menutupi d**a. Dia melirik ke arah punggungku yang terbuka lebar.   “Masih pagi sekali. Belum Subuh malah. Tidurlah lagi. Kamu pasti lelah setelah semalam bercinta denganku beberapa ronde.” Aku tersenyum dan mengusap wajahnya. Dia tampan. Dan sangat muda sekali. Mungkin masih dua puluhan.   “Ka-kamu siapa? Dan di mana kita?”   “Kamu nggak ingat?” Aku memandangnya iba. Dia menggeleng lalu mengintip ke dalam selimut yang menutupi tubuhnya.   “s**t!” Kemudian dia memandangku takut-takut.   “Dengar, Mbak. Aku nggak tahu apa yang sudah terjadi semalam. Aku nggak sadar. Dan, di mana dompetku?” Laki-laki muda itu buru-buru bangkit dan membiarkan selimut lepas dari tubuhnya. Aku tersenyum melihat kejantanannya yang teracung sempurna. Dia menyadari aku memperhatikannya dan dia pun membungkukkan tubuh untuk mengumpulkan baju miliknya yang berserakan.   “Aku harus pulang. Orang tuaku pasti mencariku. Gila! Aku bisa kena marah lagi ini! Dan, apa yang kujanjikan semalam? Uang? Berapa aku harus membayarmu?” tanyanya sambil menutupi tubuhnya dengan tumpukan baju, “dengar, aku nggak punya uang banyak saat ini. Jadi ,,,,” Dia pun merogoh-rogoh saku celana jinsnya. Setelah ketemu dompetnya dia mulai menghitung uang yang ada di dalamnya.   “Ini, aku cuma punya segini.” Dia menyodorkan uang di dompetnya. Aku hanya melihatnya sekilas. Lalu beringsut ke tepi ranjang untuk menghampirinya. Aku berjalan ke arahnya dan sengaja membiarkan tubuhku telanjang agar dia melihatnya. Bisa kulihat dia terkesiap ketika melihatku.   “Ngg, a-aku ....” Dia mundur selangkah dan menundukkan pandangan.   “Apa ini yang pertama untukmu?” tanyaku. Dia mengangkat wajahnya, memandangiku tak mengerti.   “Apa kamu baru pertama kali melakukan ini?” Kulihat dia mengangguk takut-takut dengan tangan masih mengulurkan uang. Aku berjalan semakin mendekat.   “Tapi kamu terlihat hebat semalam. Apa menurutmu aku cantik?” Kini jarakku dengannya tak lebih dari dua jengkal. Dia masih menunduk.   “Aku tidak melakukan semua ini demi uang,” kataku sambil menurunkan tangannya yang menggenggam uang. Kusingkirkan baju-baju dalam pelukannya sehingga bisa kurasakan kejantanannya menyentuh tubuhku.   “Kalau kamu suka, ayo kita lakukan sekali lagi. Lalu lupakan. Setelah keluar dari kamar ini, kita berdua tidak saling mengenal. Bagaimana?” Dia mengangkat wajahnya dan memandangiku. Perlahan kuarahkan tanganku untuk menyentuh kejantanannya dan mengelusnya. Dia terlihat menikmatinya.   “Kali ini kita berdua akan melakukannya dengan kesadaran penuh.” Lalu bibirku meraih bibirnya dan dia sepenuhnya menyerahkan dirinya untuk memuaskanku.   *** HASTUTI     Hastuti tersenyum memandangi sosoknya dalam cermin. Hari ini dia harus tampil memikat untuk bertemu dengan musuh-musuhnya. Laki-laki di mana saja sama. Mereka tidka bisa menghindar dari godaan fisik perempuan.   Setelah penampilannya sempurna, Hastuti keluar dari kamar menuju ruang makan. Di meja ada jajanan pasar yang disiapkan ibunya untuk sarapan. Juga secangkir teh yang sudah kehilangan uapnya. Perempuan yang telah melahirkannya itu tidak kelihatan. Rumah kelihatan sepi sekali. Hastuti duduk di meja makan dan mulai mengunyah jajanan pasar.   Sudah bertahun-tahun dia tidak pulang ke rumah ini. Terakhir Hastuti pulang ketika Simbah meninggal. Sejak nenek kesayangannya itu tiada, otomatis rumah menjadi milik ibu kandungnya yang merupakan anak tunggal Simbah. Beberapa tahun sejak kematian Simbah, Ibu memutuskan untuk pindah dan tinggal di Cilacap. Suaminya pun ikut, meninggalkan anak tiri dan anak-anak hasil pernikahan mereka di Jakarta. Ibu bilang ingin hidup tenang di kota yang tidak terlalu bising seperti Jakarta. “Sudah bangun, Nduk?” Suara Bapak mengejutkan Hastuti.   “Eh, iya, Pak. Tutik bangun kesiangan.”   “Cape, ya semalam Bapak kerjain?” tanya Bapaknya sambil menarik kursi dan duduk di samping Hastuti. Dia menyeruput kopinya yang juga telah dingin dan tinggal separuh.   “Bapak selalu hebat,” sahut Hastuti sambil pura-pura tersipu.   “Karena itu ibumu mau sama Bapak,” balasnya sombong.   Dalam hati Hastuti tertawa. Permainan bapaknya tidak seberapa. Dalam beberapa kali kesempatan, Hastuti harus pura-pura o*****e untuk membuatnya terlihat puas. Sejak kejadian malam itu, ketika Bapak menegur Hastuti yang sedang menonton tv, Bapak sering mendatangi Hastuti diam-diam ke kamarnya jika tidak ada Ibu. Hastuti sengaja melayani bapaknya dan pura-pura menikmatinya. Namun lama-lama dia menjadi bosan dan memutuskan untuk cepat-cepat mengakhiri permainan ini.   “Pagi-pagi sudah cantik, mau ke mana?” tanya Bapak sambil mengelus paha Hastuti.   “Mau ke reuni SMA, Pak,” jawab Hastuti sambil menyingkirkan tangan bapaknya.   “Jam berapa acaranya?”   “Masih dua jam lagi.”   “Masih sempat main-main sama Bapak, mumpung Ibu sedang ke kota.” Bapaknya kembali meraba paha Hastuti.   “Nanti make up Tutik luntur, Pak. Nanti malam saja, ya,” jawab Hastuti sambil menyingkirkan tangan bapaknya sekali lagi dan bergegas berdiri.   “Janji, ya, nanti malam,” kata Bapak sambil meraih tangan Hastuti, mencegahnya pergi.   “Iya, Bapak, Sayang.” Hastuti mengecup kepala Bapak untuk menenangkannya. Persis seperti anak kecil yang mau ditinggal ibunya kerja.   Di dalam mobilnya, Hastuti mulai menyusun rencana untuk mengakhiri permainannya dengan bapak tirinya. Dia terlatih untuk menahan diri menghadapi laki-laki yang menyebalkan sekalipun. Namun dengan bapaknya ini dia mulai muak. Dulu Ibu mengkhianati bapak kandungnya untuk kawin dengan dia. Dan sekarang, bapak tirinya malah mengkhianati ibunya dengan meniduri anak tirinya. Hastuti kesal. Semarah apa pun dia pada ibunya, tetap dia merasa ibunya tidak berhak menghabiskan hidupnya dengan lelaki b******k seperti dia. Hastuti ingin menghukum laki-laki itu. Hastuti harus menghukum mereka berdua, bapak tirinya dan ibunya. Nanti malam, rencana itu harus terwujud. ***   FEBI   Semua persiapan sudah selesai. Febi memandangi ruangan aula dengan perasaan puas. Pendingin udara berkapasitas besar sudah dinyalakan. Musik sudah mengalun, memutar lagu-lagu slow yang menenangkan. Masih satu jam lagi sebelum acara mulai. Panitia reuni sudah hadir semua, tinggal menunggu peserta reuni bermunculan.   “Feb, kamu udah sarapan?” tanya Adhit, Ketua Reuni.   “Belum, Dhit.” Saking sibuknya dia lupa sarapan.   “Kamu harus isi perutmu dulu, Feb. Acara bakal padat nanti, kita nggak akan punya kesempatan makan seperti tamu-tamu.”   “Iya, Dhit. Abis  ini aku ke depan cari sarapan.”   “Nih!” Adhit menyodorkan bungkusan stereofoam. “Makan dulu. Aku tahu kamu pasti nggak sarapan dari rumah jadi tadi kubelikan gado-gado kesukaanmu.”   Perempuan lain mungkin bakal ge-er diperlakukan seperti ini oleh Adhit. Namun Febi tahu, untuk siapa hati Adhit sesungguhnya. Dia memang baik pada semua orang. Dan Adhit menganggap Febi tahu sesuatu tentang Shila. Karena itulah Adhit selalu menjaga hubungan dengannya.   Mamanya pernah bertanya, kenapa Febi tidak menikah dengan Adhit saja. Toh, mereka sama-sama single. Ketika Febi menjelaskan kalau Adhit itu tidak mencintai dia dan mencintai sahabatnya, Mamah malah bilang kalau Febi pasti bisa mengubah perasaan Adhit karena Febi yang lebih dekat dan sering bertemu dengan Adhit.   “Wiwiting tresna jalaran saka kulina.” Begitu kata mamanya.   Itu tidak mungkin terjadi. Febi tahu untuk siapa cintanya sesungguhnya. Dan dia tetap menjaga perasaan itu karena percaya cintanya pasti akan segera berlabuh.   Setelah menghabiskan sarapannya, Febi mendekati Adhit dan mengajaknya berfoto.   “Mumpung belum ramai kita foto dulu untuk kenang-kenangan,” ajaknya. Adhit mengiyakan. Diam-diam Febi mengirimkan foto itu kepada sahabatnya, Shila.   Bersiaplah menemui masa lalumu.   Shila membalas dengan emo tangisan. Febi tersenyum. Setelah puluhan tahun berlalu, sahabatnya itu memutuskan untuk menemui Adhit. Mungkin kini dia sudah berdamai dengan hatinya. Lagi pula untuk apa terus mengingat masa lalu jika sudah memiliki masa depan yang lebih baik? Namun Febi tidak sepenuhnya tahu perasaan Shila. Seperti dia tidak sepenuhnya paham perasaan Adhit. Dua orang sahabatnya itu, bagaimana bisa saling mencintai begitu besar dan tidak dimakan oleh waktu dan jarak?   Namun, bukankah dia sendiri juga begitu? Malah lebih bodoh. Menunggu satu orang yang kadang muncul kadang hilang. Selalu percaya pada setiap perkataannya bahwa sebenarnya mereka berdua berjodoh dan menunggu waktu yang tepat untuk bersatu. Itulah cinta. Kita tidak bisa menolaknya ketika dia datang. Dan baginya, cintanya pada Ervan tak tergantikan.   Untuk perempuan yang lebih sering berhubungan dengan buku-buku dan menjadi pendengar setia tentang percintaan sahabatnya yang kacau, hubungannya dengan Ervan menjadi masuk akal. Baginya hubungan diam-diam lebih terjaga kesuciannya dari pada hubungan yang diketahui semua orang. Ketika hubungan itu berakhir, banyak pihak yang mengamininya. Dan jika itu terjadi pada Febi mungkin dia akan depresi karena malu. Bukan depresi karena patah hati.   Namun setelah hari ini, Febi yakin hubungannya dengan Ervan akan membaik. Selama beberapa hari ini, dia selalu menemani Ervan selama di Cilacap. Mengabaikan Shila dan membiarkan sahabatnya itu berkeliling Cilacap sendirian.   “Aku sedang dalam proses cerai,” kata Ervan pada satu kesempatan.   “Kenapa?”   “Istriku selingkuh dengan kliennya. Entah sejak kapan. Aku bahkan ragu jika anak terakhir kami adalah anakku. Dia tidak mirip aku sama sekali.”   “Aku turut prihatin.”   “Hanya itu?” tanya Ervan membuat Febi mengernyit. Memangnya dia harus bereaksi seperti apa? Hubungan pernikahan yang berakhir setelah kehadiran tiga orang anak pasti akan menyakitkan bagi kedua pihak. Apa lagi kata Ervan, istrinya selingkuh. Baginya pasti dua kali lebih menyakitkan.   “Seandainya dulu orang tuamu merestui hubungan kita, pasti kita bahagia. Aku nggak harus nerima istri dari perjodohan.”   Ah, alasan itu lagi. Febi mendesah. Ini adalah alasan lain yang membuatnya selalu setia menunggu Ervan, mamanya tidak menyetujui hubungannya dulu dengan Ervan. Mama menginginkan menantu dari suku yang sama.   “Maafkan aku,” jawab Febi merasa bersalah. “Tapi Mama kini sudah pasrah. Mungkin dia sudah putus asa karena aku belum menikah juga.”   “Kenapa? Kenapa kamu belum menikah sampai sekarang?” tanya Ervan memandangnya.   “Kamu tahu alasannya, Van.”   “Ah, aku merasa tidak berhak kamu cintai sebesar itu.”Ervan menggenggam tangan Febi di atas meja. Mereka berdua saling berpandangan.   Dua puluh tahun menunggu, semuanya akan berakhir tak lama lagi. Kini dia dan Ervan bebas mencintai tanpa halangan apa-apa. ©
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD