“Aku mau pulang. Bisa antar aku ke hotel, Dhit? Aku perlu waktu untuk sendirian,” kata Shila setelah bisa menguasai diri. Adhit dan Mama saling berpandangan. Adhit mengangguk ketika Mama seolah meminta persetujuan dari anak semata wayangnya itu.
“Shila ..., sebenarnya ada satu lagi yang ingin Tante berikan padamu.” Mama Shila berkata perlahan dan hati-hati. Dia berhenti sejenak untuk melihat reaksi Shila.
Apa lagi ini? pikir Shila. Dia menunggu.
“Sebelum Donna meninggal, dia menitipkan surat untuk diberikan padamu. Tante tidak tahu isinya apa, tapi Tante tetap menyanggupi untuk memberikannya padamu.”
“Asal kamu tahu, seumur hidupnya Donna selalu bilang jika dia membenci kamu. Sebenarnya alasan aku tidak menemuimu selama Donna masih hidup adalah karena aku takut dia akan nekat menyakitimu.”
“Apa alasan Donna begitu dendam padaku? Dia sudah mendapatkan yang dia mau, yaitu kamu.”
“Donna tahu kalau dia tidak pernah memiliki Adhit. Tante ibunya, walau Adhit adalah ayah dan suami yang baik, namun hatinya tidak pernah untuk Donna. Mana bisa cinta tumbuh jika dipaksa? Yang ada, hati Adhit melawan dan terus menolak keberadaan Donna. Yang ada dipikirannya adalah, hidup selamanya bersama Donna maka kamu akan aman. Tapi Tuhan Maha Adil, Dia menghentikan Donna dengan memanggilnya. Meski mungkin Adhit tidak bisa bersamamu, tapi dia bisa hidup untuk dirinya. Bahagia untuk dirinya sendiri.” Mama Adhit menjelaskan panjang lebar, membuat kepala Shila terasa berat dan pikirannya berkabut. Selama ini dia menyangka bahwa dialah yang paling menderita, ternyata sebaliknya. Adhit mencampakkannya untuk melindunginya dari Donna.
Sejahat apa Donna sebenarnya? Shila tidak pernah mengenal dia lebih dekat. Dia tidak tahu. Mungkin surat-surat Donna bisa memberikan jawabannya.
“Boleh Shila minta surat-surat Donna itu, Tante? Shila pengen tahu apa yang ingin Donna sampaikan.”
“Mama sebenarnya khawatir, Shila. Kalau-kalau isi surat Donna itu sesuatu yang nggak baik. Dia itu banyak akalnya. Sebentar dia baik, sebentar kemudian bertingkah.”
“Nggak papa, Dhit. Apa yang bisa terjadi lagi sekarang?” tanya Shila mencoba tersenyum. Ya, apa lagi yang akan terjadi? Donna sudah dikubur.
Mama Adhit beranjak meninggalkan mereka berdua. Adhit menggunakan kesempatan ini untuk berbicara dengan Shila.
“Kamu nggak harus membacanya, Cila. Kalau surat itu menyakitimu, buang saja. Jangan malah jadi toxic buat kamu.”
“Dhit, apa yang bisa diperbuat oleh orang yang sudah mati? Kamu jangan khawatir berlebihan, deh.” Shila mencoba menenangkan Adhit.
“Ini, surat-surat Donna. Ada tiga surat.” Mama memberikan surat beramplop putih itu kepada Shila. Masing-masing surat diberi nomor. Sepertinya Shila harus membacanya berurutan.
“Terima kasih, Tante. Sekarang boleh Shila pulang? Dhit? Bisa antar aku ke hotel?” pinta Shila. Adhit mengangguk.
Setelah berpamitan dan berharap bahwa mereka bisa ketemu lagi sebelum Shila pulang ke Batam, mereka berdua pergi meninggalkan rumah Adhit. Di perjalanan, Adhit bertanya apa Shila punya rencana akan ke mana besok? Shila bilang dia akan ke TPU Karangsuci.
“Ngapain ke sana? Aku nggak pernah tahu kalau ada kerabatmu yang dikubur di sana?”
“Kakakku, Dhit. Cinta pertamaku.”
Adhit terpana mendengar pernyataan Shila. Selama ini dia tidak tahu jika Shila punya kakak. Dan cinta pertama? Rahasia apa yang disembunyikan Shila darinya selama ini?
“Maaf, Dhit kalau selama ini kamu berpikir bahwa kamulah cinta pertamaku. Bukan kamu. Dia kakak kandungku. Aku begitu menyukainya sehingga sering memintanya menjadi istrinya ketika dewasa nanti. Kakakku hanya tertawa jika aku bilang begitu. Dia selalu berpikir bahwa aku menderita brother complex.” Shila tersenyum sendiri sambil memandang jauh ke depan. Mengingat kembali kenangan-kenangan bersama kakaknya.
“Kamu tahu jika aku benci laut? Aku selalu menolak jika kamu membawaku ke sana. itu karena laut telah mengambil nyawa kakakku. Dia terseret ombak ketika sedang berenang bersama teman-temannya.”
Adhit menggenggam tangan Shila dan melirik sebentar-sebentar ke arahnya. Dia berusaha memahami perasaan Shila saat ini. Setelah berbagai macam kejutan yang dialaminya hari ini, pasti berat untuk mengingat kenangan tentang kakaknya.
“Aku tidak bisa menerima kenyataan kalau kakakku sudah meninggal. Ketika melihat jasadnya disemayamkan aku hanya berpikir dia sedang tidur. Baru ketika orang-orang hendak membawanya ke kuburan, baru aku tersadar bahwa dia tidak akan pernah kembali lagi. Aku menangis meraung seperti kesetanan, Dhit. Mama dan Papa yang sedang berduka lebih sedih lagi melihat keadaanku. Aku tidak pernah ikhlas. Tidak, Dhit. Kamu pikir kenapa aku bisa memanggil hujan ketika sedang menangis? Karena ketika aku menangisi dia, aku memohon hujan turun agar aku bisa mendengar suaranya yang memanggil namaku. Dia sangat suka hujan dan sering main hujan-hujanan.” Air mata mengalir di pipi Shila bersamaan dengan rintik hujan yang menerpa kaca jendela.
“Sekarang pun aku bisa mendengar suaranya. Sudah lama aku merindukan dia. Dan besok adalah hari ulang tahunnya.” Shila mengakhiri ceritanya. Dia memandang Adhit dengan mata berkaca.
“Boleh aku menemanimu besok?” tanya Adhit. Shila mengangguk. Sepanjang perjalanan menuju hotel tangan mereka saling menggenggam.
***
Di dalam kamar hotel, ketika sudah sendirian dan sedang merebahkan diri di kasur setelah menelepon suami dan anak-anaknya, Shila mulai membaca surat pertama dari Donna. Benar seperti perkiraan mereka berdua, surat Donna bukan surat yang baik. Kata-kata pertamanya saja menunjukkan kalau Donna sebenarnya “sakit”. Apa Adhit dan Mamanya pernah membawa Donna ke psikiater?
Hai Shila ... atau harus kupanggil ‘Kakak’?
Kamu lebih tua bukan berarti aku harus menghormatimu. Aku membecimu setengah mampus. Tahu kenapa? Karena sampai mati aku nggak bisa mengalahkanmu untuk memiliki Adhit. Kamu mungkin jadi sinting setelah diputusin Adhit, aku senang mendengar berita itu. Tapi Adhit juga nggak kalah sintingnya.
Aku memang bisa memaksa dia menikahiku bahkan aku bisa memaksanya bercinta denganku, tapi cuma itu. Adhit itu kayak zombie. Dia bilang akan membuatku bahagia asal aku tidak membuatmu celaka. See? Dia mau hidup denganku itu demi kamu. Bukan demi aku. Bahkan setelah kita punya anak, aku nggak pernah melihat cinta di matanya seperti aku melihat cinta di mata Adhit padamu. Kadang, dia suka mandi hujan. Sinting, kan? Tapi anehnya dia bahagia kalau lagi mandi hujan. Dan yang lebih sinting lagi, aku ngerasa mendengar suara kamu pad hujan turun. Gila!
Surat ini bukan untuk ngomongin Adhit. Dia tidak bahagia, aku yakin kamu juga enggak. Aku cukup puas dengan itu.
Donna memang gila, pikir Shila.
Ya, aku memang gila. Sejak kecil jika sudah terobsesi pada sesuatu aku harus memilikinya. Dan jika tidak bisa memiliki apa yang kuinginkan, aku nggak segan-segan menyakiti diri sendiri atau pun orang lain. Mama dan Papa sudah pernah membawaku ke psikiater, tapi aku menolak di terapi. Untuk apa? Apa mendapatkan keinginanku sendiri dilarang?
Jadi aku juga nggak segan-segan buat nyakitin kamu untuk mendapatkan Adhit. Ya, asal kamu tahu, kalau sebenarnya akulah dalang dibalik penyerangan-penyerangan sewaktu SMA. Aku dan temanmu, Ervan.
Surat pertama berakhir. Menyisakan banyak tanya di kepala Shila. Apa katanya tadi? Anak-anak yang katannya penggemar Adhit sewaktu SMA, yang selalu menyakitinya karena dia tidak mau putus dari Adhit, mereka adalah orang-orang suruhan Donna. Dan Ervan? Apa peran Ervan sebenarnya?
Shila ingin melanjutkan membaca surat, tapi kepalanya sudah berat jadi memutuskan tidur dan mengistirahatkan kepalanya. ©