Makam leluhur adalah tempat yang tidak boleh dimasuki oleh sembarang orang. Tempat itu memiliki array formasi pelindung dan jebakan-jebakan yang tidak terduga. Jika tidak berhati-hati maka seseorang bisa mati di sana dengan mudah.
Beberapa guru yang akan menyelidiki tentang penyebab guncangan hebat kini sudah berkumpul di depan gerbang pemakaman. Masing-masing dari mereka memegang batu berwarna biru yang berkilauan.
Itu adalah batu akses untuk memasuki pemakaman tanpa harus membuka array formasi. Guru yang memiliki pangkat tinggi memang diberkati dengan batu akses.
Despitu berdiri memimpin kelompok. Saat ini kepala akademi memang sedang mengasingkan diri sehingga tugas-tugas akan semantara ditangani olehnya. Dia menatap guru-guru lain dengan serius.
“Kalian masuklah. Cari tahu apa yang terjadi. Jika tak kunjung menemukan apa pun, segeralah keluar,” pinta Despitu.
“Baik.”
Salah satu guru pria maju ke depan. Dia memasukkan batu aksesnya ke dalam lubang yang ada di gerbang batu. Setelah itu sosoknya langsung menghilang hanya dalam satu kedipan mata.
Guru-guru yang lain langsung mengikuti. Satu persatu mereka mulai memasuki pemakaman leluhur hingga tersisa Despitu dan salah satu guru wanita yang tak lain adalah Eukela.
“Apa kau akan masuk juga?” tanya Despitu.
“Bagaimana menurutmu, Guru Des? Kurasa mereka sudah cukup,” balas Eukela tanpa mengalihkan perhatiannya dari gerbang batu yang tertutup rapat. Kabut awan yang merupakan bentuk dari formasi pelindung tampak melapisi area pemakaman.
“Kalau begitu tunggu saja di sini,” kata Despitu. Akhirnya mereka berdua menunggu di sana dengan sabar.
Malam pun menjadi semakin larut. Setelah dini hari tiba akhirnya satu persatu guru keluar dari makam leluhur. Wajah mereka tidak terlihat bersemangat.
“Aku tidak menemukan apa-apa,” ucap guru pria yang masuk pertama ke makam leluhur.
“Ya. Aku tidak melihat ada keanehan apa pun,” timpal yang lain.
Despitu mengistirahatkan tangannya di belakang tubuh. Dia mulai berpikir dengan serius. Jelas-jelas kepala klan mengatakan guncangan itu berasal dari makam leluhur. Kenapa tidak ada yang menemukan hal aneh di sana?
“Guru Des, mungkin kita bisa bertanya pada kepala klan, apakah formasi ini boleh dibuka atau tidak,” usul Eukela.
Usulan itu membuat guru lain memprotes, “Apa kau sedang bercanda? Menon-aktifkan formasi mungkin hal yang mudah. Namun, mengaktifkan formasi sangatlah sulit. Itu memerlukan energi yang banyak.”
Eukela menatap si pemrotes dengan pandangan mengejek. “Apa kau takut mengeluarkan banyak energi? Jangan jadi pemalas!”
“Kau ….”
“Jangan bertengkar!” seru Despitu. Dia menatap Eukela dengan heran. “Memangnya untuk apa kita harus membuka formasi?” tanyanya.
“Kita bisa membiarkan murid-murid senior menyelidiki ini. Selain itu, hal ini juga bisa menjadi pelatihan untuk mereka mengingat di sana ada banyak jebakan tersembunyi,” balas Eukela.
Guru yang sempat memprotes tadi pun kembali memprotes. Dia berteriak, “Aku bahkan hampir celaka! Apa kau ingin membunuh murid sendiri?!”
“Itu kau sendiri yang kurang berhati-hati,” ejek Eukela. Dia sudah mengenal guru itu dengan baik. Namanya adalah Ijius. Baginya, Ijius bukanlah guru yang mampu. Pangkatnya yang tinggi hanya diperoleh berkat sikapnya yang suka menjilat.
“Eukela! Jangan berbicara sembarangan! Kau bahkan belum pernah masuk ke makam leluhur. Bagaimana kau bisa dengan mudah berbicara seperti itu?!” teriak Ijius dengan marah. Dari awal dia memang tidak menyukai Eukela.
“Siapa bilang aku belum—“
“Diam!” Despitu berseru memotong perselisihan itu. Dia menghela napas berat. “Kalian kembalilah. Aku akan menghubungi kepala klan untuk berdiskusi lebih lanjut.”
Eukela mendengkus. Akhirnya dia melangkah pergi dengan perasaan dongkol. Guru-guru yang lain pun mulai membubarkan diri meninggalkan makam leluhur.
***
Keesokan harinya kabar tentang pembukaan makam leluhur pun tersebar di akademi. Rupanya kepala akademi setuju dengan usulan Eukela. Array formasi yang melindungi pemakaman pun dibuka secara keseluruhan.
Saat itu Irhea seperti biasa sedang berada di perpustakaan. Di saat orang lain sibuk membicarakan tentang pembukaan makam, dia malah fokus membuka buku bacaan yang menyangkut tentang sihir.
Apa menariknya makam leluhur? Irhea tidak memiliki ketertarikan lebih pada tempat itu.
Tiba-tiba saja jantungnya berdetak dengan cepat. Kepalanya yang sejak tadi menunduk akhirnya terangkat dengan cepat.
Irhea menekan dadanya. Entah kenapa dia merasa tubuhnya menjadi sangat bersemangat. Ada apa ini?
Dia menoleh ke luar jendela. Dilihatnya area tinggi yang ada di belakang akademi. Kabut putih yang biasanya menyelimuti wilayah pemakaman, kini sudah menghilang.
Kening Irhea berkerut. Dia segera menggeleng ketika jiwanya tergerak. Dia merasakan sesuatu yang sangat baru, tetapi juga tidak terasa asing. Rasanya ada sesuatu yang memanggilnya.
Perasaan apa ini?
Irhea ingin mengabaikan ini. Namun, tiba-tiba fokusnya hilang. Dia merasa seperti ada sesuatu yang memanggilnya. Sesuatu yang mengajaknya mendekat. Akan tetapi, apa itu?
Perasaan Irhea menjadi gelisah. Buku yang ada di tangannya sudah berubah menjadi kusut karena terlalu lama diremas.
“Hei, kau! Jangan merusak buku perpustakaan!” teriak Kakek Gega dari kejauhan.
Irhea segera tersadar. Dia sontak berdiri lalu menatap Kakek Gega dengan serius. “Aku titip buku-buku ini,” ucapnya. Setelah itu dia segera berlari keluar perpustakaan.
“Ada apa anak itu?” gumam Kakek Gega yang merasa heran.
Setibanya di luar perpustakaan, Irhea menghentikan langkahnya. Dia menutup mata selama beberapa saat. Setelah matanya kembali terbuka, dia segera berlari menuju makam leluhur.
Mungkin ini terkesan tidak masuk akal, tetapi Irhea benar-benar merasakan panggilan jiwa dari tempat itu. Dia tidak tahu apa yang sedang terjadi dan ini membuatnya tidak bisa hanya berdiam diri.
Gerbang makam leluhur benar-benar sudah dibuka. Ini adalah kali pertama Irhea melihatnya. Tempat itu benar-benar terlihat agung dan suci.
Dia menoleh ke kanan dan kiri dengan hati-hati. Setelah memastikan tidak ada orang yang melihat, dia segera berlari memasuki gerbang pemakaman. Namun, ketika dia baru berlari beberapa meter, pendengarannya menangkap suara langkah kaki beberapa orang dari arah depan.
“Apa kalian juga berpikir ada sesuatu yang aneh?” Irhea mendengar suara murid laki-laki. Dia segera bersembunyi di balik semak-semak.
“Ya. Tidak ada tanda-tanda apa pun di pemakaman. Apa mungkin guncangan itu hanya gempa bumi biasa?” sahut seorang murid yang lain.
“Aku juga berpikir begitu. Yang menyebalkan adalah … wakil kepala akademi terus meminta kita untuk menyelidiki. Apanya yang harus diselidiki?!”
“Ssstt! Jangan terlalu keras, Bodoh ….”
“Kalau begitu, bagaimana jika kita hanya berjalan-jalan saja di sini? Mereka pasti tidak akan tahu pekerjaan kita.”
“Itu ide yang bagus!”
Dari balik semak-semak Irhea bisa melihat tiga murid lelaki yang lewat. Mereka adalah murid senior. Namun, dia tidak begitu peduli dengan percakapan mereka. Saat ini dia memiliki urusan tersendiri yang lebih penting.
Irhea kembali mengamati sekeliling. Dia memejamkan matanya sesaat. Panggilan jiwa itu terasa semakin kuat sejak dia melewati gerbang pemakaman. Rasanya hampir tidak bisa mengabaikannya begitu saja.
Jantung Irhea berdetak semakin cepat. Darahnya pun seakan mengalir begitu deras. Dia berlari menyusuri jalan berbatu yang mengarah langsung ke pusat pemakaman. Langkahnya dibuat seringan mungkin dengan hanya menggunakan ujung kaki.
Ini adalah pertama kalinya Irhea memasuki makam leluhur. Namun, nalurinya seakan mengetahui segala seluk beluk pemakaman. Dia tidak tersesat meskipun ada banyak cabang jalan berbatu yang mengarah ke banyak tempat.
Jika ada orang yang melihat mungkin mereka akan berpikir kalau Irhea sudah berkali-kali menjelajahi makam leluhur. Lagipula langkahnya terlihat begitu yakin, tanpa keraguan sedikit pun.
Rasa lelah mulai mendera. Ternyata pemakaman itu sangat luas. Bahkan setelah bermeter-meter berlari, Irhea belum melihat tanda-tanda adanya pusat pemakaman.
Sepanjang perjalanan, dia melihat beberapa benteng berbatu yang sangat tertutup. Masing-masing terdapat satu pintu besi yang tertutup rapat dan dirantai sedemikian rupa. Benteng itu adalah tempat pemakaman yang sesungguhnya.
Setelah berlari beberapa saat lagi akhirnya Irhea tiba di sebuah tempat yang cukup unik. Di depan sana terdapat pohon-pohon beringin besar yang melingkar secara rapat. Akar-akar gantungnya membuat mereka semua terlihat begitu tua.
Pohon beringin itu memiliki daun yang lebat dan rapat. Nyaris tidak ada cahaya matahari yang menembus masuk. Hal itu membuat suasana di sana terasa sangat dingin dan lembab.
Jantung Irhea semakin berdebar. Dia mengamati pemandangan itu dengan hati-hati, Namun, dia merasa tujuannya bukanlah pohon-pohon beringin itu.
Napas Irhea naik turun tidak teratur. Eskpresinya menjadi semakin serius. Dia melihat celah kosong antara satu pohon beringin dengan pohon beringin lainnya. Ukuran celah itu mungkin hanya muat untuk dimasuki satu orang.
Dari tempatnya berdiri, Irhea tidak bisa melihat apa yang ada di balik lingkaran pohon beringin. Namun, hal itu tak lantas membuatnya berhenti. Kakinya terangkat dan dia pun melangkah maju.
“Aku yakin tujuanku ada di dalam sana. Siapa pun kau, aku harap kau tidak akan membunuhku,” gumam Irhea. Tanpa merasa ragu dia langsung masuk ke celah kosong yang ada di antara pohon beringin.