Citra berbaring di atas tempat tidur. Tatapannya ke langit-langit kamar. Kejadian tadi malam seperti sebuah film, terlihat dalam tatapan matanya.
Citra merasa, ada rasa marah yang ditumpahkan Cakra padanya. Jelas, kalau Cakra melakukannya karena rasa terpaksa. Dan ingin sekali pernikahan mereka segera berakhir.
Air mata Citra mengalir di sudut mata. Rasa sakit akibat kejadian semalam masih ia rasa. Tak ada rayuan, tak ada kelembutan, yang ada Cakra seperti menganggap, apa yang dilakukan, hanyalah sebuah pekerjaan yang harus segera dituntaskan. Cakra seperti menyimpan kebencian, begitupula sikap Tami, yang bisa Citra rasakan.
'Aku tidak boleh mengeluh, aku yang sudah memilih jalan ini. Ayo, Citra, kamu harus kuat, selesaikan apa yang menjadi tugasmu, tuntaskan lalu pergi. Ya Allah, aku ingin secepatnya hamil. Tolong bantu aku, agar rasa pilu hatiku, cepat berlalu, aamiin.'
Citra mengusap air mata di sudut matanya. Ia berharap, tekanan batin yang ia rasa, tidak akan berpengaruh pada keinginannya untuk cepat hamil.
'Apa aku harus diam saja, saat mereka menyiksa batinku, atau aku harus melawan. Aku ada di sini bukan untuk mereka siksa. Aku ada di sini, untuk memenuhi keinginan mereka. Ayo, Citra, jangan biarkan air matamu tumpah karena mereka! Kamu harus berani, Citra, harus. Kamu bukan b***k mereka, meski mereka sudah membayarmu!'
Citra kembali mengusap wajah, satu keberanian muncul di dalam benaknya. Ia memang harus berani, untuk menempatkan diri, dimana seharusnya ia berada. Ia bertekad, tidak akan membiarkan dirinya hancur, karena rasa benci Tami kepadanya. Ia bertekad, meski dirinya istri bayaran, tidak akan dibiarkan orang lain menghempaskan harga dirinya, karena hanya itu yang ia punya.
Citra memejamkan mata, rasa lelah sangat terasa mendera tubuhnya. Perlahan, ia terlena, tertidur, dan melupakan sakit yang ia rasa, juga masa depannya yang ia tidak tahu akan seperti apa nantinya. Yang ia tahu, ia akan berusaha melindungi diri, dari rasa benci Cakra, dan Tami kepadanya.
***
Citra terbangun karena gedoran keras di pintu kamar, dan suara Tami yang memanggil namanya.
Citra mengumpulkan segenap keberanian. Ia tidak ingin dijadikan tumpahan kemarahan Tami.
Citra membuka pintu kamarnya.
"Enak ya tidur-tiduran saja. Kamu itu bukan nyonya di rumah ini. Kamu itu cuma dibayar untuk hamil!" Tatapan tajam menghujam dari mata Tami terarah ke bola mata Citra. Citra menerima tatapan Tami dengan lutut terasa gemetar, dan perasaan berdebar.
'Jangan lemah, Citra. Jangan biarkan dirimu dinjak-injak sesuka hatinya. Lawan dia! Kamu bukan pembantu apalagi budaknya!'
"Maaf, Nyonya. Justru karena saya dibayar untuk itu, sehingga saya tiduran saja. Saya perlu tenaga untuk melayani Tuan di atas ranjang. Saya perlu istirahat yang cukup. Itu kalau Nyonya ingin saya cepat hamil, agar saya bisa segera pergi dari rumah ini," sahut Citra dengan berani. Ucapan Citra membuat mata Tami melotot gusar.
"Kamu berani sekali bicara seperti itu sama saya ya." Tami mendorong kening Citra dengan ujung telunjuknya. Citra yang tidak siap hampir terjengkang ke belakang saking kuat dorongan Tami.
"Bukan masalah saya berani, atau tidak. Diperjanjian tertulis dengan jelas, keberadaan saya di sini untuk hamil anak Tuan, bukan untuk jadi pelayan, Nyonya. Mungkin Nyonya harus baca lagi surat perjanjian itu." Citra berusaha tak gentar menghadapi Tami, meski jantungnya berpacu cepat, dan perasaannya berdebar. Telapak tangannya terasa sangat dingin, tapi ia harus kuat, agar tidak diinjak.
"Kamu jangan coba memerintah saya ya. Saya akan laporkan kamu pada mertua saya. Ternyata kamu bukan orang yang tepat untuk mengandung keturunan dari suami saya. Bagaimana anakmu, kalau ibunya saja begini!" Tatapan sinis diarahkan Tami pada Citra. Citra berusaha berani menantang tatapan Tami.
"Silakan, Nyonya. Mertua Nyonya yang meminta saya masuk ke rumah ini. Jika mereka mengusir saya, sebelum saya menyelesaikan tugas, itu bukan salah saya. Saya sudah berusaha untuk menepati perjanjian." Meski mulutnya bicara tegas, tapi hati Citra merasa cemas. Ia takut, kejadian ini akan berimbas pada paman, dan bibinya yang bekerja di rumah orang tua Cakra.
"Kamu benar-benar berani ya!?" Kali ini Tami mendorong bahu Citra.
"Maaf, Nyonya. Saya berani, karena saya merasa benar. Kehadiran saya di sini, bukan sebagai asisten rumah tangga yang bisa Nyonya perintah seenaknya. Saya juga tidak merasa menjadi Nyonya di rumah ini. Saya hanya ingin tugas saya cepat selesai. Saya perlu cukup istirahat, dan perasaan nyaman, juga pikiran yang tenang, agar ...."
"Berhenti! Kamu terlalu banyak bicara. Oke, saya tidak akan memerintah kamu lagi. Ingat ya, dalam tiga bulan, kamu sudah harus hamil!" Tami sekali lagi mendorong bahu Citra dengan ujung jarinya.
"Nyonya, hamil itu anugerah, bukan sesuatu yang bisa kita atur. Itu ...."
"Sudah! Bosan saya berdebat denganmu! Awas ya kalau sikapmu semakin melunjak!" Potong Tami cepat.
"Nyonya saya masuk ke rumah ini karena diminta. Bukan kemauan saya. Saya bukan pelakor yang ingin merebut suami Nyonya. Saya juga tidak berniat untuk mengambil hak Nyonya di rumah ini. Apa yang Nyonya harus takutkan dari kehadiran saya di sini."
"Kamu pintar bicara ya. Awas ya, saya akan terus memantau tingkahmu!" Tami menudingkan telunjuk ke wajah Citra. Lalu Tami berbalik, dan melangkah pergi dari depan pintu kamar Citra.
Citra menarik napas lega. Ia bukan orang yang banyak bicara, apa lagi suka berdebat. Kepahitan hidup sangat dekat dengannya selama ini. Ia orang yang bisa menerima nasib buruk yang sudah menimpanya. Kali ini, ia tidak ingin diam saja. Baginya, sikap Tami yang buruk tidak bisa didiamkan, ia tidak ingin jadi tumpuan kemarahan Tami, dan Cakra. Sudah sangat jelas, untuk apa ia ada di sini. Untuk hamil anak Cakra. Bukan sebagai pembantu yang bisa diperintah seenaknya, itu tertulis dalam surat perjanjian yang ditanda tangani dirinya, Tami, Cakra, kedua orang tua Cakra, dan juga paman, beserta bibinya.
Citra ke luar dari kamar, ia ingin melihat apa ada pekerjaan yang bisa ia bantu. Ia akan dengan senang hati membantu pekerjaan bibi, tapi ia tidak ingin diperintah seenaknya oleh Tami. Citra tidak ingin memberi ruang bagi orang yang membencinya untuk menginjak harga dirinya seenaknya. Hidupnya memang tidak punya banyak pilihan, tapi bukan berarti dirinya bisa disepelekan. Isi perjanjian akan menjadi senjatanya, untuk menghadapi kebencian Tami kepadanya. Meski ada keraguan di dalam diri Citra, ia bisa terus bertahan dalam rumah yang tidak memberi rasa nyaman, apa lagi bahagia padanya.
'Semangat, Citra. Hadapi apapun yang akan terjadi nanti. Kamu berada di posisi yang benar. Kamu berhak mempertahankan harga dirimu. Meski tak banyak pilihan bagimu.'
Citra mengusap mata, dan pipinya yang basah karena air mata.
BERSAMBUNG