Bab 12: Reynold

1008 Words
Bian mundur selangkah, kemudian maju dua langkah tapi ia tertahan oleh Rendy yang menatapnya tajam dan penuh amarah. "Sudah kukatakan bukan? Lo gak denger?" kata Rendy geram. Bian tersenyum remeh. "Mana mungkin kalian bertunangan..." kata Bian. "Pesta pertunangannya bulan depan, sampai hari itu  gue gak akan biarin lo deketin calon tunangan gue!" kata Rendy tegas. Bian tertawa keras. Akal sehatnya masih menyangkal apa yang baru saja Rendy katakan meski pemuda itu terlihat serius sekali dengan ucapannya. "Apa yang lo ketawain, Bian?" tanya Bulan sinis. "Lo gak percaya apa yang tunangan gue ucapin atau lo ngetawain gue gak mungkin tunangan sama Rendy?" tanya Bulan. Bian terdiam, tak menyangka Bulan akan mengucapkan hal yang menurutnya tak mungkin. Rendy menyingkir saat Bulan berjalan mendekati Bian perlahan. "Tunggu aja undangannya, kuharap lo datang sama Siska..." kata Bulan berbisik di telinga Bian, membuatnya terhenyak kaget. Bulan tersenyum kecut dengan ekspresi yang Bian tak bisa definisikan. Bian pikir perubahan sikap Bulan yang dingin kepadanya karena Bulan masih belum bisa menerima kematian keluarganya dan kebutaannya, tapi entah mengapa Bian merasa ada hal lain yang membuat Bulan tak lagi menganggapnya sebagai Bian yang sebelumnya. Sebenarnya ada apa? Pikir Bian. "Pergilah, gue butuh istirahat." Kata Bulan mengusir halus Bian. Bian pergi membawa sejuta pertanyaan dibenaknya. Dia berhenti melangkah ketika dilihatnya lelaki paruh baya yang dikenal sebagai pengacara keluarga Bulan berdiri di ambang pintu. "Om Purwo?" Bian nampak terkejut. "Ngapain om ke sini?" tanyanya lirih, Bulan bertanya dengan suara yang sangat pelan hanya agar Bulan tak mendengarnya, tapi dia salah... "Lo tahu gak Bian? Gue mungkin buta, tapi Tuhan menajamkan indra gue yang lain. Jadi lo gak usah bisik-bisik di ruangan gue, percuma! Karena gue pasti dengernya. Oh ya, Om Purwo ke sini buat ngambil berkas yang dikasihkan ke gue kemarin. Lo mau lihat berkasnya?" kata Bulan. Bian nampak pucat mendengar apa yang dikatakan Bulan. Firasatnya semakin kuat bahwa Bulan sudah berbeda dan sekarang Bian juga merasa bahwa Bulan mulai membencinya. Sebenarnya Bian ingin tahu maksud kedatangan Om Purwo, tapi melihat sikap Bulan yang dingin, apalagi ketika dilihatnya Rendy juga tersenyum remeh ke arahnya, ia mengurungkan niatnya masuk lagi ke kamar Bulan. Sial! Sebenarnya apa yang direncanakan Bulan dan Rendy? Lalu kenapa Om Purwo datang jauh-jauh ke Malang? Apa sebenarnya yang gak gue ketahui? Pikir Bian. Lelaki paruh baya itu masuk dan menerima berkas dari tangan Rendy setelah Rendy mengambilnya sesuai petunjuk Bulan. Bulan bangkit dari tempat tidurnya. "Om, aku butuh belajar Brailer, aku juga butuh rumah dan tolong siapkan pesta pertunangan sabtu bulan depan..." kata Bulan. Lelaki paruh baya itu nampak terkejut dan tak paham apa yang baru saja dikatakan oleh Bulan apalagi pada kata 'pertunangan', ia bahkan menoleh ke arah Bian yang masih mematung di ambang pintu. Mereka saling menatap dengan wajah yang bertanya-tanya. "Pesta pertunangan untuk siapa Bulan?" tanya om Purwo. "Aku, siapa lagi?" "Dengan Bian?" tanya om Purwo. "Bian?" Bulan terkekeh geli. "Rendy." "Siapa Rendy?" "Saya." Kata Rendy memperkenalkan diri. Om Purwo nampak terkejut. Ia belum pernah bertemu Rendy sebelumnnya, dan siapa dia? Apa hubungannya dengan Bulan sehingga mereka berdua buru-buru melangsungkan pesta pertunangan? Pertanyaan-pertanyaan itu berputar di otaknya. Perawat yang berada di antara mereka juga turut kaget dan heran. Berulang kali ia melihat Rendy dan Bulan bergantian hingga Rendy merasa perawatnya memerhatikannya tapi ia tak peduli. Rendy berdehem, si perawat gemetaran dan buru-buru pamit undur diri dari pasien dan dokternya. "Kita perlu bicara Bulan..."kata Om Purwo "Silahkan..."jawab Bulan. "Berdua." kata Om Purwo seraya melirik Rendy yang sedang duduk di samping Bulan. Bulan diam, begitupun dengan Rendy. Kemudian Rendy mengalah dan pergi meninggalkan Bulan dengan pengacara keluarganya. "Ada apa om?" tanya Bulan setelah memastikan langkah kaki Rendy sudah tak tertangkap telinganya dan pintu kamarnya tertutup, menyisakan dirinya dan pengacaranya. "Siapa dia Bulan? kenapa ingin bertunangan dengannya? Kenapa bukan Bian?" "Dia dokterku. Dokter rumah sakit ini. Soal aku memutuskan bertunangan dengan siapa itu sudah menjadi pilihanku om..." "Kau tahu keluarganya?" tanya om Purwo cemas. "Aku kenal dia cukup baik."jawab Bulan. "Mengenalnya saja tak cukup Bulan. Dia bisa saja memanfaatkanmu." kata Om Purwo. "Aku punya om sebagai pengacaraku." "Oke, tapi om bukan walimu. Walimu Bian. Seharusnya kau menjalin hubungan dengannya, bukan dengan lelaki sembarangan yang bahkan kau tak mengenal keluarganya..." kata Om Purwo menasehati Bulan. Lelaki tua itu takut Bulan kenapa-napa. "Sepertinya Papa belum cerita..." kata Bulan lagi yang membut lelaki itu mengerutkan kening. "Cerita soal apa?" tanyanya. "Bian dan Siska." "Memang kenapa mereka berdua?" "Bian dan Siska menjalin hubungan Om..." "Gak mungkin Bulan..." jawab Om Purwo dan Bulan semakin tersenyum geli mendengarnya. "Bagaimana bisa gak mungkin? Mereka pacaran... Tanya saja pada Bian... " kata Bulan yakin. "Gak mungkin! Baru lusa kemarin aku melihat Siska menggandeng pria lain!" "Apa? Dengan siapa?" tanya Bulan tak percaya. "Reynold." "Reynold? Reynold siapa?" Bulan kaget dan tak percaya. Ia yakin perdebatan yang didengarnya di tangga adalah soal perasaan Bian dan Siska. Tak mungkin Siska berpaling dari Bian.  *** Di tempat yang berbeda dalam waktu yang sama Siska tengah menghabiskan waktu dengan lelaki yang tergila-gila dengannya di sebuah kamar. Mereka berdua saling terengah-engah. Napas mereka memburu satu sama lain. Seorang lelaki blasteran Indo-German sedang menindih tubuh mulus Siska yang telanjang tanpa satu benangpun. Hari itu bahkan mereka sudah bergumul untuk yang ketiga kalinya. Siska sebenarnya telah lelah dan ingin berhenti, tapi kegilaan Reynold dan segala fantasinya tentang Siska tak mampu ia bendung. Siska perempuan pertama baginya yang sangat luar biasa, Reynold bahkan bertekuk lutut pada Siska, mengabulkan semua keinginan gadis itu sebisa dia. Siska mencapai puncaknya. Ia tak menyangka telah klimaks tiga kali dan bukan dengan Bian. Ada perasaan sesal di sudut hatinya kala ternyata bukan Bian yang menyentuhnya, melainkan lelaki lain yang tergila-gila padanya. Tatapannya datar saat ia melihat Reynold sangat puas nenatapnya. Bahkan ia merasa Reynold akan memintanya lagi untuk melayaninya. Siska tak pernah menyangka bahwa harga untuk melukai Bulan harus ia bayar dengan raganya. Reynold tak peduli jika Siska memberi hatinya kepada Bian, Siska cukup berada di sampingnya saat ia membutuhkannya. Seperti sekarang ini. Tak masalah hubungannya dengan Siska hanya sebatas perjanjian, karena Reynold yakin suatu saat perasaan Siska kepada Bian akan berbelok kepadanya. Reynold bahkan bersedia memberikan bumi dan hidupnya kepada Siska. Pasangan itu saling memandang satu sama lain, mereka sibuk dengan pemikiran masing-masing. Hingga akhirnya Siska beranjak dari kasur dan mengambil baju-bajunya yang tercecer di lantai. Reynold hanya menatapnya datar, ia tahu menaklukan hati gadis itu benar-benar tak mudah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD