Kirana Putri Gintari, terlihat sangat bersinar ketika dirinya menjelaskan beberapa detail dari desain yang telah ia buat untuk kliennya. Kirana memang baru berusia dua puluh lima tahun, tetapi ia sudah debut menjadi seorang desainer, bahkan sudah menembus kancah New York Fashion Week, dan membuat namanya dengan cepat melambung tinggi. Prestasi yang memukau itu membuat namanya semakin harum di tanah air, hingga butiknya yang bernama Gintari, menjadi butik berkelas yang menjadi tempat di mana para sosialita meminang karya-karya milik Kirana.
“Apa aku akan cocok mengenakan kebaya seperti ini? Aku tidak percaya diri,” keluh salah seorang klien yang sudah cukup berumur. Ia terlihat tidak percaya diri harus mengenakan kebaya di usinya yang jelas tidak muda lagi.
Hal biasa yang terjadi ketika seseorang memang tidak terbiasa mengenakan kebaya di dalam hidupnya. Beberapa orang memang tidak tersentuh budaya ini, karena hidup dalam lingkungan yang memang tidak mengenal budaya tersebut. Namun, bagi Kirana ini bukan masalah. Sudah tugasnya bagi seorang desainer untuk memperkenalkan budaya dalam karya seni mode yang ia dalami. Ini adalah hal yang menyenangkan baginya.
Kirana yang mendengar hal itu tersenyum. “Nyonya tidak perlu cemas. Kebaya adalah pakaian yang bisa membuat pesona kita semakin terlihat. Sadar atau tidak menggunakan kebaya membuat penggunanya terbawa menjadi anggun dan lembut, selayaknya kesan kebaya yang selama ini kita ketahui,” ucap Kirana.
Benar, Kirana secara khusus mendedikasikan dirinya untuk merancang kebaya baik itu kebaya tradisional yang masih terikat banyak pakem adat istiadat, atau pun kebaya modifikasi yang sudah menyerap berbagai unsur modern. Sebagai kaum muda, Kirana dengan tangan dinginnya membawa kebaya menyusup ke kalangan muda hingga membuat kebaya dengan mudah kembali digandrungi. Bukan hanya oleh para kalangan berumur, tetapi juga oleh para anak muda. Kini bahkan sudah banyak mempelai wanita yang memilih kebaya sebagai pakaian di hari penting mereka.
“Kalau begitu, aku percayakan padamu,” ucap wanita itu.
Kirana mengangguk. Keduanya berbincang beberapa saat, sebelum sang klien memutuskan undur diri. Tya—asisten Kirana—bertugas untuk mengantarkan klien hingga ke pintu masuk. Kirana menghela napas dan merenggangkan tubuhnya yang terasa begitu kaku. Tak lama, Tya kembali dan Kirana pun berkata, “Aku akan istirahat sebentar. Kau juga istirahat saja.”
“Baik, Bu,” jawab Tya patuh.
Kirana pun bangkit dari kursinya, tentu saja beranjak untuk beristirahat memulihkan tenaganya. Meskipun merancang dan membuat kebaya serta gaun-gaun indah adalah hal yang sangat menyenangkan, tetapi Kirana tetap saja merasa sangat lelah. Kirana melangkah menuju lantai tiga yang ia fungsikan sebagai ruang pribadinya. Kirana memang menggunakan bangunan yang sama dengan butiknya, sebagai tempat tinggalnya.
Hal itu Kirana lakukan demi menghemat waktu dan uang. Ia masih belum memiliki keuangan yang stabil. Jadi, ia harus sebisa mungkin mengatur keuangannya dan pintar-pintar memanfaatkan peluang. Untungnya, bangunan yang ia beli sebagai butik ini memiliki tiga lantai yang bisa dimanfaatkan semaksimal mungkin. Kirana menghela napas panjang saat dirinya sudah berbaring di ranjangnya yang nyaman. Semalam, Kirana begadang karena harus merevisi rancangannya. Kini ia benar-benar membutuhkan waktu istirahat. Sayangnya, baru saja Kirana terlelap, Tya sudah mengetuk pintu ruangannya.
“Bu, gawat!” seru Tya terdengar sangat panik.
Kirana yang mendengar hal itu tentu saja membuka matanya lebar-lebar dan beranjak turun dari ranjang. Ia membuka pintu kamarnya dengan cepat dan bertanya, “Ada masalah apa?”
“Ada klien baru, Bu,” jawab Tya masih terlihat panik.
“Bukankah kau sudah terbiasa untuk menyambut dan melayani mereka? Kenapa panik seperti ini?” tanya Kirana sembari kembali mengikat rambutnya menjadi satu dengan rapi. Dalam waktu singkat, kini Kirana sudah kembali tampil rapi dan menawan.
“Karena klien kita kali ini sangat tidak biasa!” seru Tya tampak begitu antusias.
Pada akhirnya, Kirana pun memilih untuk turun ke lantai satu, dan terkejut dengan apa yang ia lihat. Ternyata Kirana benar-benar merasa sangat terkejut karena perkataan Tya memang benar adanya. Klien Kirana kali ini sangat tidak biasa, karena ternyata calon klien Kirana adalah Kaivan Prayata Mahaswara, seorang pengusaha muda yang masuk ke dalam daftar seratus orang terkaya di Asia. Kirana secara otomatis tersenyum profesional pada Kaivan dan pada seorang wanita yang duduk di samping Kaivan dengan kacamata hitam yang ia kenakan. Wanita itu sepertinya berniat untuk menyembunyikan identitasnya, dengan masih menggenakan kacamata hitanya itu.
“Selamat datang, Tuan dan Nona. Maaf, kalian harus menunggu. Jadi, apa yang bisa saya bantu?” tanya Kirana.
“Aku ingin, buatkan set pakaian pernikahan adat tradisional untuk kami. Untuk saat ini, fokus saja dengan kebaya yang akan dikenakan oleh calon istriku ini,” ucap Kaivan sembari menunjuk pada perempuan yang tampak enggan melepaskan kacamata yang ia kenakan.
“Buatkan kebaya yang cantik untuk pernikahanku,” ucap perempuan itu lalu tersenyum tipis.
Kirana mengangguk dengan senyum manisnya. “Tentu saja, Nona. Sebelum itu, lebih baik kita berkenalan dulu. Karena ke depannya, kita akan bekerja sama.”
Namun, Kaivan segera berkata, “Tidak perlu. Kami sudah mengenal dirimu, dan kau juga pasti sudah mengenalku. Untuk kekasihku, kau tidak perlu mengenalnya. Kau akan mengetahui nama dan wajahnya saat hari pernikahan nanti. Aku tidak mau sampai identitasnya tersebar sebelum waktunya.”
Mendengar hal itu, Kirana hanya menghela napas di dalam hatinya. Ia bertanya-tanya, apakah semua orang kaya memang memiliki pemikiran rumit seperti ini. Namun, Kirana tetap tersenyum dengan profesional dan meminta Tya untuk membawakan katalog. “Seperti yang Tuan dan Nona ketahui, saya memang mengkhususkan diri untuk merancang dan membuat kebaya. Baik itu kebaya tradisional maupun kebaya modern. Sebelum penjelasan lebih jauh, adat seperti apa yang akan digunakan saat akad nikah nanti? Apakah akad Jawa?” tanya Kirana menebak karena Kaivan memang berasal dari keluarga Jawa.
Namun, Kaivan menggeleng tegas. “Gunakan adat Sunda. Selain itu, hanya persiapkan kebaya untuk akad dan gaun untuk resepsi. Tidak perlu menyiapkan apa pun lagi,” ucap Kaivan membuat Kirana mengernyitkan keningnya.
Karena Kirana tahu betul, ada banyak rangkaian acara sebelum akad nikah. Entah itu siraman atau pengajian. Namun, Kirana tidak berkomentar lebih jauh, dan memilih untuk membuka katalog desain miliknya. Ia menunjukkan contoh karya yang sudah pernah ia buat dan berkata, “Nona dan Tuan bisa memilih model seperti apa yang akan dijadikan rujukan nantinya.”
Hanya saja, keduanya sama sekali tidak menyentuh atau bahkan melirik katalog yang ditunjukan oleh Kirana. Seakan-akan tidak tertarik untuk melihat hal tersebut. Hingga Kaivan berkata, “Tidak perlu. Kau jelas lebih profesional daripada kami. Pilihkan model yang paling cocok. Hanya saja, pastikan jika tidak banyak bagian yang terekspose.”
Kirana masih berusaha untuk memasang senyumannya. Ini masih bisa ia terima, karena memang masih masuk akal. Banyak pasangan yang memilih untuk mempercayakan semua hal mengenai pakaian hari penting mereka pada Kirana sepenuhnya. Jadi, Karena ini masih wajar. Namun, begitu Kirana berkata, “Kalau begitu, mari Nona, saya harus mendapatkan ukuran tubuh Nona terlebih dahulu.”
Namun, calon mempelai pengantin wanita itu menggeleng dengan tegas. Ia mengeluarkan sebuah kertas dari tas tangannya dan meletakkan di atas meja. “Aku tidak suka disentuh oleh orang asing. Jadi, sebelumnya aku sudah melakukan pengukuran yang tepat dengan orang yang kupercaya dan dia memang memiliki keahlian untuk melakukannya,” ucapnya membuat Kirana benar-benar terperangah.
Rasanya, Kirana saat ini ingin meneriaki keduanya untuk ke luar dari butiknya. Namun, Kirana masih memiliki akal sehat. Walau keduanya memiliki keinginan aneh-aneh, tetapi keduanya adalah klien yang berpotensi mengundang klien baru yang bisa membesarkan namanya. Kirana mengatur napasnya dan meraih kertas tersebut. Ia melihatnya dan memang bisa melihat semua ukurannya detail, tanda jika orang yang melakukan pengukuran tersebut memang sangat berpengalaman. Hanya saja, Kirana mengernyitkan keningnya. Kirana merasa sangsi jika ukuran tersebut memang ukuran dari calon kliennya.
Meskipun tidak melakukan pengukuran langsung, tetapi Kirana yang sudah berpengalaman, setidaknya bisa memperkirakan jika ukuran ini sepertinya tidak cocok dengan tubuh calon istri Kaivan. Belum juga Kirana menanyakan sesuatu, Kaivan sudah berkata, “Pakai saja ukuran itu. Tidak perlu cemas, kebaya yang kau buat pasti akan terpakai dengan baik nantinya.”
“Satu lagi, aku tidak mau melakukan fitting.”
Mendengar hal itu, Kirana jelas-jelas terkejut. “Nona, setidaknya kita harus melakukan fitting agar bisa memastikan semuanya pas,” ucap Kirana.
“Bukankah aku sudah mengatakannya? Aku tidak suka disentuh orang lain,” ucapnya dengan santai.
Kirana memejamkan matanya, berusaha untuk mengendalikan emosinya karena calon kliennya kali ini benar-benar memiliki sifat unik yang sudah agak menjengkelkan. Masalahnya, jika ukuran kebaya nantinya salah atau tidak pas karena tidak mau melakukan fitting sama sekali, maka Kirana yang akan mendapatkan masalah. Namanya sebagai seorang desainer tentu saja dipertaruhkan di sini. Kirana mungkin senang karena mendapatkan klien yang memiliki nama besar seperti Kaivan, tetapi jika seperti ini bisa-bisa Kirana hanya akan mendapatkan masalah saja. Kirana harus berhati-hati, dan mencari jalan keluar agar tidak mendapatkan kerugian yang merusak nama baik yang sudah susah payah ia bangun selama ini.
“Jika kau cemas, kau saja yang mencobanya. Apakah kebaya itu memang sudah sempurna atau belum,” tambah Kaivan sukses membuat Kirana terpaksa menyunggingkan senyuman canggung.
Belum apa-apa, tetapi kini Kirana sudah merasakan kepalanya pening. “Wah, ternyata klien kali ini bukan hanya kaya, tetapi juga gila. Paduan sempurna yang membuat kepalaku pusing hingga hari-H nanti,” ucap Kirana di dalam hati.