Bab 01 | Lepas Hijab
Gedung pengadilan agama siang ini ramai sekali ketika aku tiba. Kendati sudah tiba beberapa menit lalu, aku masih berdiri di dekat pintu masuk hanya untuk memperhatikan orang-orang yang keluar dari pintu dengan beragam ekspresi. Aku penasaran bagaimana denganku nanti saat keluar dari sana.
Mereka keluar dengan sebuah map lebar di tangan. Ada yang keluar dengan wajah muram, berderaian air mata. Ada pula yang tersenyum lebar sampai jingkrak-jingkrak girang seolah-olah hari ini adalah hari besar yang harus dirayakan setelah melewati pertarungan panjang dan melelahkan.
Pertarungan rumah tangga.
“Masuklah. Setelah ini, semuanya benar-benar sudah selesai,” ujar Adiba, satu-satunya teman yang ku punya di dunia ini. Adiba mendorong punggungku pelan, meyakinkan aku untuk masuk ke gedung pengadilan agama itu. Dia lah yang selalu menemaniku sejak aku pertama kali datang kemari enam bulan lalu hingga yang terakhir hari ini.
Aku masuk ke dalam sendiri sementara Adiba menunggu di luar. Setelah proses persidangan perceraian yang panjang, akhirnya hari ini akta ceraiku bisa diambil.
Jantungku berdebar kencang, aku mendekap erat map berisi akta ceraiku di d**a saat berjalan keluar melewati pintu di mana Adiba masih menungguku. Begitu melihatku, Adiba langsung berlari mendekatiku dan memelukku.
“Akhirnya … selamat, Nis,” bisik Adiba sambil mengelus-elus punggungku.
Aku tersenyum kaku, lebih karena aku memaksakan senyum itu. Selamat … aku tidak tahu apakah gagalnya sebuah pernikahan adalah sesuatu yang harus dirayakan. Bukan ini yang aku harapkan ketika memutuskan untuk menerima lamaran Mas Reza lima tahun lalu.
Namun, perkataan Adiba selanjutnya membuatku sadar bahwa perceraian ini mungkin memang bukan sesuatu yang patut dirayakan, melainkan disyukuri.
Adiba lalu melepas pelukannya dan menatapku dengan senyum lebar. “Sekarang fokus sama dirimu sendiri, Nis. Nggak usah melihat lagi ke belakang. Sudah nggak ada lagi mertua sama ipar usil, nggak ada suami cemen yang bisanya cuma mukul buat nunjukin kekuasaan dia, nggak ada lagi yang bisa menghalangi keinginan kamu. Kamu bebas.”
Ya, aku bebas.
Selama lima tahun pernikahan, aku tidak mendapatkan apa-apa. Malah dengan perceraian ini membuatku kehilangan banyak hal, seperti harta benda yang kukumpulkan semasa lajang, relasi dengan teman-teman, dan tentunya masa mudaku yang berharga. Bukan kemenangan namanya jika aku kehilangan banyak hal. Yang kudapat dari ini adalah kebebasan. Aku ingin melupakan semua yang hilang dari hidupku, menatap ke depan untuk memulai hidup baru. Sendirian dan bebas.
“Nah ayo pergi, kita harus makan makanan enak,” ujar Adiba lagi sembari menarik tanganku untuk ikut jalan bersamanya.
Namun, aku menahan langkahku hingga membuatnya menatapku bingung. “Aku mau ke suatu tempat dulu,” ujarku.
“Kemana?” tanya Adiba dengan kernyitan yang menyiratkan bingung dan khawatir.
“Salon.”
“Salon?” tanyanya lebih aneh lagi. Wajar saja, ini kali pertama aku mencetuskan ide ingin ke salon di depannya. Sebab Adiba perah beberapa kali mengajakku perawatan diri di salon bersamanya tapi aku selalu menolak karena di rumah pekerjaanku tidak ada kata istirahat, pun lebih dari itu aku tidak punya uang. Aku tidak mau membuat masalah baru jika orang rumah tahu aku habis ke salon, bisa-bisa mereka akan mengira aku memakai uang belanja untuk perawatan diri di salon.
Aku menganggukkan kepala dengan yakin.
“Ah… mau potong rambut.” Adiba menjentikkan jari mengerti. Barangkali ritual potong rambut sudah umum dilakukan oleh orang-orang patah hati, konon katanya buang sial. Sayangnya, Adiba salah lagi.
Adiba mengerucutkan bibir sebal karena kubuat bingung. “Terus mau ngapain ke salon kalau bukan potong rambut?”
“Aku … mau cat rambut.”
“Ngecat rambut?” tanya Adiba terdengar keheranan. “Buat apa, Nis? Kamu kan pakai hijab, nggak ada suami yang harus kamu senangkan juga. Terus buat apa kamu cat rambut segala?”
Aku tersenyum kecil. “Buat diriku sendiri. Aku kan sudah bebas.”
“Janis?” Adiba menatapku waspada, agaknya dia bisa tebak apa yang ada di benakku saat ini.
Aku tersenyum lagi. Kali ini, dia benar. “Iya Dib, aku mau lepas hijab.”
***
Sampai tadi pagi saat berdiri di depan cermin yang kulihat adalah seorang wanita dengan hijab panjang terulur hingga menutupi d**a, tetapi sekarang yang kulihat adalah seorang wanita dengan rambut warna cokelat gelap sebahu. Pekerja salon yang menangani ku tadi sampai tanya berkali-kali apakah aku yakin ingin memotong rambutku yang sepanjang b****g itu, dia bilang sayang karena rambutku bagus sekali. Panjang, hitam, lembut, dan berkilau.
Dengan yakin aku menjawab agar dia tidak ragu-ragu untuk mengguntingnya. Buang sial.
“Lho Mbak, hijabnya nggak dipakai lagi?” tanya petugas salon yang melihatku bangkit dari kursi sambil memasukkan jilbab hitamku ke dalam tas.
Melalui ekor mataku, aku bisa melihat lirikan tajam Adiba. Dia pasti kecewa pada keputusanku ini, tapi aku berharap dia menghormati meski tidak mendukung.
Seisi salon menatapku ketika aku berjalan keluar, aku pasti sangat aneh di mata mereka. Datang-datang masih syari, pulang-pulang jadi bule nyasar. Gamis hitam yang kupakai ini pasti membuatku tampak lebih konyol lagi. Aku berencana untuk mampir toko baju untuk beli beberapa potong baju baru sebab semua isi lemariku isinya gamis dan rok panjang.
“Aku berhijab gara-gara kamu, bisa-bisanya sekarang kamu lepas hijab. Kamu sudah nggak takut dosa ya, Nis?“ tanya Adiba saat aku sedang memilih-milih baju di toko baju yang tepat berada di sebelah salon.
“Yang bikin aku takut itu Mas Reza. Sekarang dia sudah nggak ada, jadi apa lagi yang aku takutkan?” Aku menjawab dengan acuh tak acuh.
“Janis, Mas Reza mungkin memang yang nyuruh kamu berhijab. Tapi kewajiban tutup aurat itu Allah yang buat.”
Aku sengaja mengabaikan perkataan Adiba. Aku tidak butuh ceramah saat ini dan aku tak mau merusak momen hari ini dengan bertengkar, aku sangat tahu apa yang aku lakukan saat ini.
“Mbak, ini ada warna lain nggak?” Aku meninggalkan Adiba, menyibukkan diri memilih kemeja serta blus warna-warna segar yang menurutku bagus.
“Janis!” Adiba menghadang langkahku dan menatapku dengan kedua mata berkilat marah. Aku menghela napas malas. “Dib, aku ngerti maksud kamu dan aku juga tahu apa yang aku lakukan.”
“Kamu nggak bisa bertingkah seenaknya, Nis. Kamu itu sekarang janda—“
“Iya aku janda, terus kenapa?” potongku mulai terpancing emosi. Adiba adalah orang yang meyakinkan aku bahwa jadi janda bukan masalah, lalu mengapa sekarang dia seolah-olah mempermasalahkannya? “Saat masih menikah, aku nggak boleh seenaknya karena punya suami. Sekarang nggak ada suami pun, aku nggak bisa melakukan apa yang aku mau?”
“Tapi tidak dengan lepas hijab, Nis! Apa kamu nggak mikirin gimana reaksi ibu kamu pas kamu pulang nanti? Apa kata tetangga-tetangga kamu, Nis? Kamu akan makin dapat banyak fitnah karena penampilan kamu.”
“Selama ini aku hidup selalu mikirin apa kata orang, lihat apa yang aku dapat? Cuma tekanan batin, Dib. Sudah. Kalau kamu nggak bisa dukung keputusanku, sebaiknya kamu diam, tolong jangan menghalangiku.”
Bibir Adiba tampak menipis geram. “Baik,” ucapnya dalam dan terdengar bentar. “Kalau nanti gimana-gimana, jangan bilang aku nggak pernah mengingatkan kamu. Urus saja dirimu sendiri.”
Usai berkata itu, Adiba langsung meninggalkan toko baju, meninggalkan aku. Aku menaik napas panjang, berusaha tidak ambil pusing. Saat mataku menatap pegawai toko yang berdiri canggung usai melihat perdebatannku dengan Adiba tadi, aku tersenyum kecil untuk menetralisir kecanggungan.
“Adanya warna kuning sama navy, Kak,” pegawai toko berkata sambil menyodorkan dua pilihan warna baju yang sebelumnya kuminta.
“Oh, saya ambil yang kuning aja,” jawabku. “Saya mau bayar sekarang.”
“Silakan di sini, Kak.” Pegawai itu membimbingku ke arah meja kasir.
Aku meletakkan setumpuk baju yang sudah kupilih dan pegawai itu mulai menghitung satu per satu.
“Mbak, boleh pinjam ruang gantinya buat ganti baju?”
“Tentu, silakan, Kak.”
Aku mengambil blus kuning dan celana jeans yang hendak pegawai toko itu masukkan ke dalam kantong belanja, aku akan mengganti gamisku dengan baju ini.
Rambut dan baju-baju baru ini akan menjadi awal langkah hidupku yang akan kumulai lagi dari nol, sebagai janda.
***
“Astagfirullah hal adzim.”
Saat aku memutuskan lepas hijab, aku sudah tahu akan kemungkinan-kemungkinan yang harus aku hadapi setelahnya. Terlebih menghadapi reaksi ibuku yang barusan tadi.
Dengan tercengang, Ibu menatapku dari kepala hingga kaki dan itu tak hanya sekali. Seakan-akan ibu tidak percaya bahwa yang berdiri di hadapannya saat ini adalah aku, anaknya.
“Apa-apaan ini, Nis? Kamu buang ke mana hijabmu?”
“Nggak aku buang, aku simpan.”
“Kamu nggak mau memakainya lagi?”
Aku meletakkan tas-tas belanjaku di dekat sofa di ruang tamu, lalu menarik pelan-pelan Ibu untuk duduk bersamaku. “Bu, maaf kalau keputusan Ninis bikin ibu kecewa. Tapi untuk saat ini, Ninis nggak ingin pakai hijab—“
“Pakai hijab itu bukan perkara mau nggak mau, Nis. Ini kewajiban! Perintah Allah, dosa wanita dewasa kalau nggak menutup auratnya!”
“Iya, Ninis ngerti—“
Ibu menggelengkan kepala lemah. “Kalau kamu ngerti, kamu nggak akan begini. Jangan bilang dosa pun kamu yang tanggung sendiri, enggak, Nis. Dosamu mengumbar aurat akan mengalir ke Ibu dan almarhum Ayah.”
“Ibu,” suaraku mulai tercekat, secengeng inilah aku. Tapi di sisi lain wanita cengeng ini juga sangat keras kepala.
Aku bingung harus mengatakan apa tanpa menyakiti hari ibu. Aku tidak punya kalimat pembenaran atas keputusanku ini, jika dari segi agama saja sudah salah, maka seterusnya juga salah. Keluargaku memang cukup religius, kedua orangtuaku pernah berhaji, pun dengan paman-paman dan bibi dari pihak Ayah. Bagi keluarga kami, tidak ada pegangan yang lebih tinggi selain agama.
“Kenapa kamu nggak ngomong apa-apa?” cecar Ibu. “Habis cerai bukannya berbenah diri, ini kamu malah makin nggak tahu diri. Seharusnya Ibu larang waktu kamu bilang mau cerai sam Reza. Saat masih sama dia, kamu sholeha.”
“Bu, nggak usah bawa-bawa Mas Reza lagi. Ibu kan tahu apa yang sudah dia lakukan ke aku.”
“Kalau kelakuanmu saja begini, ya sekarang Ibu nggak heran kalau dia sampai main tangan. Apapun yang istri lakukan, dosanya akan mengalir ke suami.”
“Hah?” Aku sungguh tidak percaya ibu akan mengatakan itu. KDRT hanya satu alasan perceraian kami dan sekarang hanya itu yang Ibu lihat dan bahkan dikaitkan dengan keputusanku lepas hijab. Seakan segala penderitaanku selama ini tidak berarti, seakan masa depanku tak penting diperjuangkan kembali.
“Ibu nggak mau tahu, pakai lagi hijab kamu atau kamu nggak usah jadi anak Ibu lagi. Pilih saja, pakai lagi jilbab kamu atau keluar dari rumah Ibu.”