Masa ini

1080 Words
Zoya duduk di kursi penonton, dengan tudung Hoodie yang menutupi kepalanya, telinganya juga tersumbat oleh earphone. Tapi matanya mengawasi ke tengah lapangan.  Setelah ujian tengah semester, anak-anak tidak memiliki kegiatan apapun di sekolah selama seminggu penuh. Lanjut libur sekolah hingga dua Minggu. Hari ini adalah hari pertama mereka kembali ke sekolah, jadi sudah tiga Minggu penuh, Zoya tidak bertemu teman-teman sekelasnya, termasuk Lander. Dan dalam waktu itu juga dia tidak pernah merasakan sakit perut lagi. Karena hal tersebut, membuatnya berpikir jika dia sedang menjalani hidup normal tanpa memikirkan tentang ingatan di masa depan.  Zoya sering melakukan pemotretan, bahkan seminggu lalu dia baru saja pergi ke Paris untuk ikut pemotretan bersama model Elen yang lainnnya. Bisa dibilang, dia sangat menikmati hari-hari yang dijalaninya. Tapi meskipun begitu, dia juga menantikan untuk segera kembali ke sekolah untuk melihat laki-laki yang saat ini sedang berlarian sambil memantulkan bola.  Sangat yakin tidak lagi memiliki rasa seperti dulu pada Lander, tapi Lander tidak bisa hilang dari pikirannya. Laki-laki tinggi yang cukup tampan dan sangat cerdas itu seperti sumber gravitasi bagi seorang Zoya, sejauh apapun dia mencoba berpaling, tatapannya tidak bisa untuk tidak menoleh padanya.  "Hai!" Seseorang duduk di sebelah Zoya, menawarkan sebungkus roti.  Zoya agak kaget, dia memakai earphone, sehingga tidak mendengar ada yang mendekat, sampai Navo menawarkan roti di hadapannya.  "Emh, makasih!" Zoya menerima roti yang ditawarkan, meskipun tidak langsung memakannya. Dia sudah sarapan pagi, dan sekarang tentu belum lapar.  Navo mengangguk, dia kemudian melihat pada jam tangannya. "Masih pagi banget, Lo udah di sini aja!"  "Lo juga!" jawab Zoya cepat.  Tertawa, Navo membuka bungkus kemasan roti dan memakannya. Melihat pada teman-temannya yang sudah panas di lapangan mendribble bola dan mencetak angka. "Gue kan ke sini karena mau main sebelum jam pelajaran di mulai. Lander minta kami datang pagi agar bisa main dulu!"  "Gue gak akan tanya lagi. Tapi tujuan gue nyamperin Lo, gue mau bilang makasih!" lanjut Navo, menoleh untuk menatap Zoya. Di balik kacamata itu, Zoya juga menatapnya dengan bingung.  "Apa nih?"  "Lander bantuin gue tentang kasus beberapa waktu lalu, dia bilang melakukannya karena Lo!" Navo tidak kecewa alasan Lander mendukungnya bukan karena pertemanan mereka, karena setidaknya Lander adalah satu-satunya orang yang pertama kali mempercayainya dan memberikan dukungannya. Mendengar ucapan Navo, Zoya mengerutkan keningnya. Bagaimana mungkin Lander menjadikannya alasan. Ayolah, meskipun laki-laki itu berubah, seharusnya tetap tidak mengatakan hal seperti itu. "Gue gak melakukan apapun!"  "Lo percaya gue gak salah. Itu kenapa Lander bantuin gue!" Navo tersenyum, melihat reaksi Zoya yang malah bingung. Padahal dia berpikir Zoya akan merasa sangat senang, setelah dia mengatakan hal seperti tadi. Untuk orang yang cukup lama mengejar cinta Lander, reaksi itu terlalu biasa saja. Apakah artinya keadaan sudah berubah?  Zoya tidak mengatakan apapun. Dia hanya terus memperhatikan ke tengah lapangan. Lander baru saja melihat ke arahnya. Laki-laki freak yang sombong itu menyipitkan matanya. Meskipun hanya sebentar, Zoya yakin dengan penglihatannya.  "Ya udah, gue mau main. Lo mau titip pesan buat Lander gak nih!" Navo hampir menghabiskan rotinya, dia sudah berdiri dan akan pergi ke lapangan. Mungkin saja Zoya ingin menitip pesan padanya untuk Lander.  Berpikir keras pesan apa yang ingin dikatakannya, tapi dia tidak memiliki apapun untuk dikatakan. Pada akhirnya dia hanya bicara asal. "Bilang padanya kalau potongan rambutnya bagus!"  Zoya agak menyesal setelah mengatakannya, tapi tidak bisa menarik ucapannya, karena Navo sudah berlari menuju ke lapangan.  Terus melihat ke arah Lander, dia melihat Navo sudah sampai di sebelahnya. Dan Lander juga terlihat teralihkan dari bola basket, sesat kemudian laki-laki itu juga melihat ke arahnya.  "Sialan!" Zoya mengumpat, setelah melihat reaksi biasa saja di wajah Lander. Setidaknya laki-laki itu bisa menunjukkan senyum kan? Tapi lihat, Lander hanya melihat dengan acuh tak acuh dan kembali fokus pada permainan.  Tertawa tanpa suara, Zoya menertawakan dirinya sendiri. Jika Zoya yang dulu, mungkin akan merasa kesal. Tapi Zoya yang sekarang menganggap apa yang terjadi antara dirinya dan Lander cukup lucu. Dimana ada seorang gadis naif yang sebenarnya sangat populer, tapi malah fokus mengejar laki-laki freak yang tidak menyukainya.  Dasar anak remaja, pikirnya. Tapi kemudian senyum di bibirnya segera lenyap. Mengingat bagaimana kehidupan dewasanya yang menyedihkan, dia pikir masa-masa remaja ini masih cukup menyenangkan. Karena diusia dewasa, dia akan berakhir menjadi wanita kesepian yang hidup sendirian dengan kesuksesan dan kekayaan yang tidak lagi bisa menyenangkannya. Tidak ada cinta lagi bisa menyentuh kehidupannya. Beranjak dari sana. Zoya akan menuju ke kelasnya. Dia tidak mau larut dalam pikirannya tentang masa depan. Dia lebih suka menikmati masa ini lagi, yah mengulangi masa ini dengan cara yang berbeda. Selagi masih bisa bersama orangtuanya, dia tidak boleh berpikir hal lainnya.  "Dari mana? Lapangan?" Raksa yang tadinya sedang mengobrol dengan teman-temannya begitu melihat Zoya, dia langsung berlari menghampirinya. Berjalan menyamai langkahnya.  "Hm. Lo baru berangkat?" Zoya melihat tas yang masih dibawa Raksa di punggungnya. Raksa mengangguk. Dia melihat Zoya memegang roti, yakin jika jenis roti seperti itu tidak dijual di kantin. Mungkin Zoya mendapatkan dari seseorang. Mengerti arah tatapan Raksa, Zoya mengangkat roti di tangannya. "Navo memberikannya!" "Oh, kamu tadi benar-benar dari lapangan!"  "Hmm!"  Raksa tidak mengatakan hal lainnnya. Hanya berjalan di sisinya dan membalas sapaan dari teman-temannya dengan senyum atau anggukan. Mereka sudah melewati tangga dan akan sampai ke kelas Zoya.  "Masuk lah. Jangan banyak melamun!" Raksa mengulurkan tangannya hendak mengusap puncak kepala Zoya yang ditutupi tudung Hoodie, tapi tangannya ditahan oleh Zoya.  "Lo gak boleh pegang kepala orang dewasa!" Sebagai gantinya, Zoya mengulurkan tangannya untuk menepuk kepala Raksa.  Raksa jadi malu, apalagi banyak yang melihat tindakan Zoya barusan. Meskipun seharusnya memang dia masih kecil di masa ini, tapi saat ini bisa dikatakan dia seusia dengan Zoya. "Kakak!" bisiknya.  Tertawa, Zoya bisa melihat wajah Raksa yang memerah malu. Dia meninggalkannya masuk ke kelas. Moodnya jadi lebih baik karena Raksa.  Di depan kelas, Raksa akan melanjutkan langkahnya menuju kelasnya sendiri. Tapi begitu dia berbalik, seseorang sedang melihatnya. Sungguh, jika orang lain, dia hanya akan merasa sedikit malu, karena orang itu baru melihat tindakan Zoya terhadapnya. Tapi yang sekarang ada di hadapannya adalah orang itu. Dia langsung berjalan cepat tanpa melihat orang itu lagi.  Alam tadi melihat dari kejauhan perlakuan Zoya pada Raksa. Jika tidak memperhatikan dengan baik-baik, maka dia pasti akan berpikir mereka berpacaran. Tapi dia tidak merasa seperti itu setelah memperhatikannya. Hubungan Zoya dengan laki-laki itu pastilah memang dekat, tapi seharusnya bukan cinta. Akan tetapi yang membuatnya merasa lebih penasaran, laki-laki itu selalu bersikap aneh tiap melihatnya.  Laki-laki yang memiliki penampilan rapi, keren dan terlihat modis. Penampilannya sangat menarik dimata perempuan maupun laki-laki. Raksa menjadi trendsetter. Tapi, anehnya kenapa rasanya seperti laki-laki mengenalnya tiap kali mereka bertemu. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD