Melihatnya

1283 Words
Terdiam, Zoya baru saja sadar, dan seperti sebelumnya, dia sudah tidak lagi merasakan rasa sakit pada perutnya. Dia bisa mendengar pertengkaran di luar sana. Meskipun tidak mengerti apa yang sedang mereka perdebatkan, hingga saling memaki, tapi beberapa kali namanya disebutkan.  Tisa dan Lander bertengkar. Zoya pikir, mungkin karena dirinya. Mengabaikan suara keras dari luar, dia mencoba memahami konsep dari kehidupannya yang semakin aneh ini.  "Lo udah bangun?" Navo membawa botol air mineral dan juga obat merah di tangannya. Dan tangannya itu terbalut oleh perban.  Zoya tentu memperhatikan semua itu. Apa yang terjadi pada Navo? Meskipun tersenyum seperti biasa, tapi Zoya telah melihat ekspresi Navo saat di lapangan tadi, jadi dia pikir senyuman itu hanya topeng.  "Lo mau ngapain?" Zoya melihat Navo agak kebingungan melihat sekeliling ruangan.  Navo jadi melihat pada Zoya. Gadis cantik yang tiba-tiba mengingatkannya dengan Lander. Ketua tim basket yang juga mengenakan kacamata di kehidupan sehari-harinya. Rasanya tiap kali melihat Zoya, hampir semua orang akan langsung terpikir Lander. Karena gadis secantik itu tergila-gila dengan laki-laki yang dikenal freak seperti Lander.  "Lo khawatir gue jahatin? Tenang aja, gue cuma mau naroh ini kembali ke rak!" Navo mengangkat botol obat merah yang dipegangnya. "Lo terlalu over thinking. Itu, coba liat rak tertutup yang paling atas!" Zoya menunjuk pada rak yang dia maksud.  Navo melihat rak tersebut, dia kemudian berjalan ke arah rak untuk menyimpan obat merah. Saat membuka rak tersebut, yang dia lihat malah setopoles besar kacang goreng. Tentu dia sadar telah dibohongi, seperti dugaannya, terdengar suara tawa Zoya.  Tidak bermaksud mengerjai, Zoya sebenarnya juga lupa dimana obat merah biasa disimpan. Dirinya hanya menebak, tapi ternyata salah. Melihat Navo bisa salah paham dengannya, dia pun langsung menghentikan rawa. "Maaf, ternyata salah. Coba Lo buka tak yang di bawahnya. Kayaknya kali ini benar!"  Meskipun telah merasa dibohongi, Navo tetap menurut untuk membuka rak di bagian bawah. Dan benar saja, ada beberapa obat merah lain yang disimpan di sana. Benar kata Zoya, mungkin dia yang terlalu sensitif.  "Tangan Lo terluka karena apa?" Zoya mencoba mengajak Navo bicara, padahal laki-laki sudah akan keluar.  "Bukan apa-apa. Lo harus lebih khawatir dengan keadaan Lander, dia berkelahi dengan siswa laki-laki di kelas kalian, karena mereka pikir Lo diganggu oleh Lander. Mereka berpikir Lander kayak gue!" Navo menundukkan kepalanya, sedetik kemudian menunjukkan senyum tipis pada Zoya. "Lo harus jelasin ke mereka, jika memang Lander gak ngapa-ngapain Lo!"  Sekarang Zoya mengerti, kenapa dia mendengar suara orang bertengkar di luar. Jadi mungkin anak-anak salah paham, karena dia lagi-lagi pingsan dan saat itu Lander pastilah orang yang membawanya ke sini.  "Lo juga, Navo. Kalau Lo gak salah, Lo gak boleh diem aja. Gue tahu Lo adalah laki-laki yang memiliki rasa hormat, dan diamnya Lo itu adalah bentuk dari sisa rasa hormat yang Lo miliki untuknya!" Zoya menelan salivanya, dia tidak terlalu akrab dengan Navo, dan dia tidak berhak mengomentari apa yang dilakukannya.  Tersenyum, Navo membuang napas lega. Untuk pertama kalinya, ada orang yang menunjukkan kepercayaan. Padahal hampir semua orang memakinya, dan membencinya atas kabar yang tengah beredar saat ini. Orangtuanya marah, guru menegurnya dengan kecewa, dan teman-teman yang dulu dekat juga menjauhinya. "Makasih!" Navo beranjak keluar dengan sedikit beban yang terangkat dari pundaknya. Rasa sesak yang sejak pagi tadi mencekiknya juga tidak sesakit itu.  "Laki-laki baik!" Zoya melihat bagaimana Navo memang sangat frustasi. Dia jadi merasa kasihan padanya.  Mendengar suara Tisa, Zoya ingat jika dia juga memiliki masalah genting. Buru-buru dia mencari sepatunya yang ternyata ditaruh di rak dekat pintu. Memakainya dengan cepat, Zoya langsung berjalan keluar.  "Zoya!" Alam yang pertama melihat Zoya, dia juga langsung berjalan menghampirinya.  "Kamu, udah baik-baik aja?" Alam khawatir jika Zoya masih pusing atau mungkin juga lemas. Dia sebenarnya tidak paham penyebab Zoya bisa pingsan, tapi anak-anak bilang Lander yang menyebabkannya.  Zoya mengangguk, tapi tatapannya terfokus pada anak-anak yang terlibat perdebatan. Mereka bahkan tidak melihatnya keluar dari ruang kesehatan. "Alam, apa yang terjadi pas gue pingsan?"  "Hah?" Alam bingung, belum sempat menjawab dia melihat Zoya pergi menuju kerumunan. Dia pun mengikutinya.  Zoya melihat Lander duduk diam acuh tak acuh, meskipun banyak orang memarahinya. Sesekali, laki-laki itu melontarkan k********r, saat ada yang mengatainya. Tapi yang membuat Zoya lebih kaget, ada beberapa memar di wajah Lander.  "Kalian ngapain?" Zoya datang dan mengambil alih perhatian mereka semua.  Pertama yang mereka perhatikan adalah tubuh Zoya. Dari ujung kaki sampai ujung rambutnya, seolah-olah memastikan kalau tidak ada yang salah dengannya.  "Mereka pikir gue ngapa-ngapain Lo!" Lander mengatakannya sambil menyunggingkan ujung bibirnya sinis.  "Ye, gak usah nyolot kalau ngomong. Kalau emang Lo gak ngapa-ngapain, kenapa Zoya pingsan di gudang. Gak usah ngelak, Lo emang b******n!" seru anak laki-laki yang tadi mendengar Lander bicara dengan guru menjelaskan tentang kronologi Zoya pingsan.  Tisa yang sejak tadi juga khawatir langsung memeluk Zoya. Memastikan temannya itu baik-baik saja. "Lo gak diapa-apain kan, Zo?"  "Enggak lah. Gue sakit perut kayak pas di lapangan kemaren!" Zoya menjelaskan dengan mimik wajah serius, dan anak-anak diam mendengarkan dengan ketidakyakinan.  Lander menyentuh memar di pipinya. Merasa sangat kesal. "Makanya, jangan main hakim sendiri kayak preman. Dengerin noh!"  Tisa jadi berpikir memang kurang masuk akal, laki-laki yang begitu konsen tentang pendidikan seperti Lander, akan menghancurkan cita-citanya sendiri untuk melakukan perbuatan asusila. Tapi meskipun begitu, dia masih bingung tentang satu hal. "Terus, kenapa Lo bisa di gudang sama si Lander?"  "Itu …," Zoya melirik pada Lander, dan bisa melihat laki-laki itu tidak peduli. "Gue awalnya mau ke lapangan basket. Tapi dia malah narik gue ke gudang. Gak tahu apa maksudnya!"  Semua orang langsung terlihat emosi menatap Lander tajam. Sedangkan Lander tidak menyangka Zoya akan mengatakan seperti itu. Meskipun benar, tapi nantinya orang akan salah paham lagi.  "Tapi dia gak ngapa-ngapain gue kok!" Zoya melanjutkan penjelasannya. Dia tersenyum saat Lander melihat ke arahnya.  "Serius?" Tisa memastikan.  "Iya!"  Lander langsung berjalan pergi. Dia cukup lelah berbicara dengan orang-orang bodoh di sana tadi. Waktunya banyak terbuang sia-sia. Saat itu dia melihat Navo yang berjalan sendirian menapaki anak tangga, buru-buru dia berlari menyusulnya.  "Navo, tunggu!" Lander menyadari rasa sakit yang dirasakan Navo beberapa saat lalu. Bagaimana orang-orang tidak mempercayaimu dan memakimu tanpa lebih dulu menyelidiki kebenarannya.  — Zoya menunggu jemputan, dia tadinya ingin nebeng Raksa. Tapi laki-laki itu bilang akan ke rumah sakit. Jadi dia akhirnya menunggu sopirnya.  Jam tiga nanti, setelah les dia akan melakukan pemotretan dengan Gerald. Jadi sebenarnya dia agak terburu-buru.  "Ayo ikut!" Lander menghentikan motornya di sebelah Zoya berdiri.  "Gak mau! Lo suka nyuruh gue ini itu, harusnya Lo tanya dulu, gue mau apa enggak!" Zoya menggerutu, Lander memang tidak lagi risih padanya, tapi tetap bersikap menyebalkan. "Gue mau tahu, dari mana Lo tahu tentang video Navo dan Sari?" Lander tadi sudah bicara dengan Navo, dan dari cerita Navo, Video yang diunggah Sari memang dipotong dengan sengaja pada bagian yang memprovokasi. Tapi keseluruhan video itu seharusnya tidak ada yang pernah melihat keseluruhannya. Pertanyaan Lander, dari mana Zoya mengetahuinya?  "Hah, aduh pipi Lo pasti sakit ya?" Zoya mendekat dan menepuk pipi Lander agak keras, tepat pada bagian memarnya.  "Sakit g****k!" Lander memegangi pipinya, dia melihat Zoya yang berlari menuju mobil yang baru berhenti di depan gerbang.  "Maaf atas kesalahpahaman tadi. Tapi jujur gue seneng!" Zoya masuk ke mobil setelah mengatakannya. Senyumnya langsung memudar.  "Pak ke tempat les!"  "Oh, iya Nona!" Jawaban dari sang sopir. Zoya melihat pada gelang di tangannya. Dia merinding melihat gelang tersebut. Saat menepuk pipi Lander barusan, entah benar atau tidak, dia melihat gelangnya berkilau. Pertama kalinya dia melihat gelang itu berkilau. Padahal meskipun terkena cahaya matahari, berlian kecil warna warni pada motif seharusnya tidak mengeluarkan cahaya Kilauan seperti itu.  "Apa artinya ini?" Zoya melepaskan gelang tersebut. Karena selain rasa sakitnya yang muncul tanpa alasan, kini dia juga melihat gelang itu berkilau. Apakah ini mimpi, dan mimpinya akan berakhir? Dia bingung, sampai mencubit kulit pipinya sendiri. Jika mimpi, kenapa semuanya seperti nyata? 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD