Kebal

817 Words
Mas Pram mengejar langkahku ke kamar. Aku sendiri telah bersiap sedia jika dia bakal marah besar padaku. Itu justru bagus. Biar aku semakin bebas menyampaikan unek-unekku padanya selama ini. "Listi! Berani kamu melawanku sekarang!" Dengan menunjukkan raut wajah garang, Mas Pram mencengkeram lenganku pasca aku menidurkan Riana yang telah mengantuk sejak berada di rumah kakeknya tadi. "Lepasin nggak?!" Aku mencebik sambil menatap suamiku dengan tatapan mengintimidasi. "Berani kamu sekarang?!" ulang Mas Pram dengan tak melepas cengkeraman tangannya dariku. "Kenapa engga? Kamu hanya suami dzolim yang bisanya cuma menuntut kewajiban tanpa pernah mau memberikan nafkah yang layak pada istrimu!" Dengan kasar kulepas tangan Mas Pram yang sedari tadi mencengkeram kuat lenganku. Napas Mas Pram tampak naik turun seperti menahan laju emosi dalam dadanya. "Apa kamu yakin kalau kamu ke rumah Bapak tadi?" tanyanya yang membuatku sontak melebarkan bola mata. Tak mengerti kemana arah tujuan pertanyaannya kali ini. "Maksud kamu apa, Mas?" Aku balik bertanya dengan perasaan campur aduk. Marah, kesal, dan benci jadi satu. "Bukan untuk menemui pria lain?" Ya ampun tak beradab sekali tuduhannya. Aku mendecih singkat dengan ucapannya yang tak berdasar. "Bukan main! Dia sendiri yang jalan mesra dengan wanita lain, tapi dia sendiri juga yang menuduh istrinya main gila dengan pria lain." Aku menepukkan tangan—memberinya applause yang meriah atas pengalihan kesalahan yang kini ia lempar padaku. "Heh! Itu cuma rekan kerja kau paham?" Mas Pram berucap dengan gigi bergemeletuk. Aku hanya tersenyum sinis. "Apa semua rekan kerjamu harus diperlakukan semesra itu?" Aku mendengkus pelan. Mas Pram terdiam. "Sudahlah, aku tidak ingin berdebat panjang lebar lagi denganmu, keputusanku sudah bulat sekarang." "Apa maksudmu?" sahut Mas Pram cepat dengan menunjukkan raut wajah penasaran. "Cerai," jawabku singkat. "Tidak, aku tidak mau. Apa kau sudah gila, Listi? Apa kau tidak berpikir bagaimana masa depan Riana kalau sampai orang tuanya berpisah?" Pertanyaan Mas Pram membuatku tergelitik. Menggelikan. "Mas, lihat deh ke kaca!" Telunjukku menunjuk ke arah lemari jati kamar kami. Seperti orang lugu, Mas Pram melihat bayang dirinya yang terpantul melalui cermin lemari jati di hadapannya. "Kamu bisa lihat nggak bagaimana sikapmu selama ini sebagai seorang ayah? Apa kamu sudah merasa menjadi ayah yang baik untuk Riana?" tantangku seraya menyilangkan tangan di depan d**a. Pertanyaanku membuat suamiku terdiam seribu bahasa. Entahlah, dia tengah menyadari kesalahannya atau … tengah menyiapkan kalimat balasan. Aku tak bisa menerka. "Lis …." "Apa? Kamu sudah siap bercerai?" tanyaku seraya menaikkan sebelah alis saat bertanya. "Tidak! Sampai kapan pun aku tidak akan pernah menceraikanmu," cicitnya tajam yang memancingku untuk tertawa sumbang. "Kalau keputusanku berpisah sudah bulat, bagaimana?" "Jangan pernah bawa Riana pergi dari rumah ini!" balas Mas Pram tajam. Membuatku melebarkan bola mata. Apa-apaan dia ini? "Lelucon macam apa ini, Mas? Kamu saja selama ini tidak pernah peduli dengan Riana, dan kamu memintaku untuk meninggalkannya di rumah orang yang seluruh anggota keluarganya cuek seperti keluargamu? Jangan bercanda, Mas!" Lagi-lagi aku tertawa sumbang menyambut ucapan suamiku yang terdengar mengada-ada. "Pokoknya … sampai kapan pun aku tidak akan pernah membiarkanmu membawa pergi Riana dari rumah ini." Aku mendengkus kasar, merasa ucapannya tak lebih dari bualan agar aku tetap bertahan di sini. Menjadi babu gratisan untuk keluarganya yang minim akhlak. "Ah … sudahlah, kita bicarakan lagi nanti. Aku mau masak. Karena aku yakin, adik dan ibumu tidak ada rasa inisiatif walaupun cuma untuk mengenyangkan perut mereka sendiri." Aku berucap tajam sebelum menarik langkah menuju dapur. Memasak untuk suami dan keluarganya yang selama ini memperlakukanku lebih rendah dari pembantu. *** Suara sumbang dari ibu mertua dan Mayang saat aku tengah mengolah bahan masakan di dapur, tak kupedulikan. Agaknya … mereka berdua menguping pertengkaranku dengan Mas Pram tadi. Bodo amat. "Menggunjinglah sepuasnya selagi aku di sini!" Aku yang tengah mengiris wortel menyambar Ibu dan Mayang yang tengah mengumpat diriku dengan kata-kata yang sangat tidak enak untuk didengar. "Gaya pengen cerai sama Mas Pram, mau jadi tukang gosok sama buruh cuci saja bangga!" Remaja 17 tahun yang kata-katanya pedas seperti bon cabe mengolok-olok diriku dengan kalimat merendahkan itu. Membuatku yakin kalau dia memang menguping perdebatanku dengan kakaknya beberapa saat tadi. "Jadi pembantu ataupun buruh cuci gosok itu lebih baik. Daripada di sini, cuma jadi babu gratisan. Duit pun hampir gak pernah megang." Aku berucap dengan nada sinis. Memancing ekspresi penuh keterkejutan di wajah Mayang dan Ibu yang sedari tadi mengumpatku bersama putri bungsunya. "Dasar mata duitan!" Ibu bersuara lantang sambil mendelik padaku. Aku hanya tersenyum miring mendengar makiannya. Sungguh, ucapannya sama sekali tak berimbas padaku. Aku sudah cukup kebal menerima makiannya. "Lalu, apa bedanya dengan Ibu? Bahkan Ibu sendiri rasanya lebih cocok disebut serakah karena menguasai semua gaji Mas Pram padahal sudah tau kalau anak Ibu itu sudah punya istri yang juga perlu diberi nafkah lahir." Aku berucap panjang lebar membuat napas Ibu seketika terengah dengan dadanya yang tampak naik turun. Aku cuma berharap mertuaku tidak terkena serangan jantung sekarang karena aku belum sempat mengerjainya. *** Please, kalau udah baca komen, biar aku tahu kalau cerita ini emang dibaca. Hehehe.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD