Mulai Beraksi

935 Words
"Masa iddah maksudmu apa, Listi?" desis Mas Pram tajam. Aku mendengkus pelan mendapat pertanyaan itu dari suamiku. "Bukannya kamu kuliah sampe jadi sarjana? Kok gak tau arti masa iddah?" sindirku sambil menatapnya sinis. Mas Pram mendecak kesal. "Cerai? Kamu mau cari dari aku?" Gigi Mas Pram bergemeretak seperti menahan laju emosi dalam dadanya. "Huum." Aku mengangguk ringan, membuat wajah suamiku berubah pias dalam seketika. Kenapa, ya? Apa dia takut kehilanganku atau … takut kehilangan pembantu? "Enggak, aku nggak mau cerai sama kamu," ucapnya tanpa menatapku. Dadanya tampak naik turun entah untuk alasan apa. "Iya, karena kamu jadi nggak dapat babu gratisan, kan?" balasku tak kalah tajam. "Berani kamu sekarang!" Sebuah tamparan hampir melayang ke pipiku. Namun, Mas Pram urungkan entah apa sebabnya. Mungkin, dia tak mau sampai masuk penjara gara-gara kasus KDRT kali, ya? Mungkin …. "Argh! Dasar istri nggak berguna!" Mas Pram mengambil selimut tebal lantas membanting pintu sebelum keluar kamar. Huh! Belum juga sempat kutanyakan siapa wanita itu, main pergi saja itu orang. Dasar cemen! Aku pun menarik selimut dengan tenang. Tak lupa, sebelumnya kukunci pintu kamar. Mencegah agar Mas Pram jangan sampai masuk dan mencuri kesempatan saat aku terlelap. Sumpah demi apa pun aku malas melayaninya sejak melihatnya bergandengan mesra dengan seorang wanita siang tadi. Berdosakah aku? Subuh, seperti biasanya aku berjalan menuju dapur untuk melakukan aktivitas rutinku—memasak. Karena kalau bukan aku yang melakukannya, siapa lagi? Ada anak gadis berusia 17 tahun saja entah masak apa yang dia bisa. Rasanya, memasak air saja gosong. Ya, gadis itu cuma pandai main Tik Tok dan karaoke melalui aplikasi di ponselnya. Itu saja yang dia bisa. Sebelum menuju dapur, tampak olehku Mas Pram tidur di atas sofa ruang tamu sambil menggulung tubuhnya dengan selimut. Lelaki tampan yang menikahiku tiga tahun lalu tampak masih terlelap, dengkur halusnya terdengar beraturan. Benarkah aku siap bercerai dengannya? Lelaki yang aku setuju menikah dengannya karena aku memang mencintainya? Tiba-tiba hatiku didera perasaan galau dan dilema. Otakku mendadak blank. Tak tahu harus mengambil jalan apa setelah ini. Ah, biarlah. Aku jalani dulu seperti air mengalir. Aku selama ini bertahan di sini karena baktiku sebagai seorang istri pada Mas Pram. Namun, jika nanti aku merasa sudah tak mampu lagi bertahan, rasanya perpisahan memanglah jalan terbaik yang harus aku tempuh. Baru sempat menanak nasi, tangis Riana yang kencang dari arah kamar terdengar. Aku berjalan tergopoh-gopoh menuju kamar untuk menenangkan anakku itu. Aku mengurut d**a saat melihat suamiku yang tidur di ruang tamu sama sekali tak terusik dengan tangis putrinya. Ayah macam apa dia? Apa dia sengaja memekakan telinga? Aku yang kesal menggerutu dalam hati. "Uh … Sayang, udah bangun, ya?" Aku mengangkat dan menenangkan anak perempuan yang wajahnya begitu mirip dengan sang ayah, tapi perhatian dari ayahnya hampir tak pernah ia dapatkan. Saat berada dalam dekapanku, Riana menjadi sedikit tenang dan tangisnya pun perlahan berhenti. Aku sedang mengusap-usap punggung Riana saat suara ibu mertuaku menggema memekakan telinga. "Listi …!" Suara menggelegar ratu rumah ini membuatku ingin menyumpal telinga dengan headset dan menyetel musik sekencang-kencangnya. Huh. "Iya, Bu …?" Sambil menggendong Riana aku berjalan mendekat pada ibu mertua yang posisinya berada di ruang tamu. Tampak mertuaku berkacak pinggang di samping anaknya yang wajahnya masih lesu setelah bangun tidur. Ya ampun Mas Pram ini, suara ibu bisa bikin dia bangun. Tapi suara anaknya sama sekali tak mengusiknya. Huft! Menyebalkan memang. "Kamu ini apa-apaan, hah?" Ibu tampak berapi-api saat bertanya. "Apa-apaan bagaimana, Bu?" Aku menyahut santai dan tanpa rasa takut. Ya, sedikit banyak uang yang kumiliki memang membuat rasa percaya diri dalam d**a ini ada. Aku sudah siap jika sewaktu-waktu harus hengkang dari rumah ini. Makanya, aku tak mau lagi diperbudak seperti sebelum-sebelumnya. "Berani kamu bikin Pram tidur di luar?" Mata ibu melotot tajam padaku sementara giginya bergemeletuk seperti menahan amarah yang meluap-luap dalam d**a. "Bukan aku yang nyuruh, loh, Bu. Itu kemauan Mas Pram sendiri," tangkisku santai. "Rasa-rasanya, kamu makin ngelunjak, ya sekarang sejak punya hape canggih!" ketus Ibu sambil menatapku sinis. Mendengar penuturan ibunya, Mas Pram terbelalak seperti tak percaya. Wajar saja, seluruh gajinya kan selama ini diserahkan dengan ibunya. "Dapat duit dari mana kamu, Listi?" Pertanyaan Mas Pram kutanggapi dengan santai juga. "Tanya saja dengan ibu dan Mayang. Kemarin sudah aku jelaskan pada mereka. Maaf, pagi-pagi begini aku sibuk mau buat sarapan. Takut kelaparan sampai siang." Tanpa peduli lagi bagaimana ekspresi Mas Pram yang terkejut setelah tahu aku memiliki ponsel canggih, aku berjalan santai ke arah dapur sambil menggendong Riana. Seperti biasanya, kubiarkan Riana bermain-main di dapur, sementara aku sendiri melakukan tugasku memasak untuk seluruh anggota keluarga. *** Siang hari. "Ibu …." Mayang yang baru pulang sekolah menjerit saat mendapati sesuatu yang pasti cukup mengagetkannya. "Apa, sih, May pakai teriak-teriak segala?" Ibu mertuaku yang tengah menonton tayangan Suara Hati Istri di ruang tamu, menyahut cukup lantang anak gadisnya yang mencak-mencak di area dapur ini. Aku yang tengah membuatkan Riana s**u, cuek bebek melihat Mayang yang seperti kebakaran jenggot kali ini. "Ibu …." Mayang mengulangi panggilannya saat menyadari sang ibu lebih mementingkan tayangan sinetron ketimbang mendekatinya. "Apa, sih, May?" Akhirnya, ibu mendekat. Mungkin, sinetron di TV sedang iklan, jadi wanita paruh baya itu ada waktu untuk beranjak dari singgasananya. "Lihat, nih! Si Listi nyingkirin baju Mayang, Bu … nggak dicuci sekalian …." Mayang tampak geram saat menunjuk baju-baju kotornya yang masih teronggok di keranjang. "Dasar malas! Kenapa gak sekalian dicuci, ha?" Ibu memulai ritualnya berkacak pinggang saat menghakimiku. "Bu, aku lihat Mayang masih segar bugar, sehat jasmani dan rohani. Kenapa ibu nggak nyuruh aja dia nyuci baju sendiri? Malas ngucek bisa dimasukkin ke mesin." Perkataanku yang lancar seperti jalan tol membuat ibu dan iparku terperangah. "Apa?!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD