Dijebak (kamar hotel)

1014 Words
Pagi-pagi sekali seorang gadis mengerjap membuka kedua matanya, ia tak merasakan cahaya matahari dari ventilasi jendela. Gadis itu samar menoleh ke kiri, memastikan cahaya itu, "mungkin mendung," pikirnya. Ia lantas terduduk, tatkala menyadari tempat itu bukanlah kamarnya. "Dimana ini?" dia melihat sekeliling, tempat itu begitu asing. "Hotel?" Dia meringis merasakan sakit dibagian sela pahanya. "Kenapa begitu sakit?" Dia lantas membuka selimutnya dan terkejut dengan apa yang ia dapati. Tubuh polosnya terpampang disana. "Nggak, apa yang sebenarnya terjadi padaku?" gadis itu mencoba mengingat-ingat kembali apa yang terjadi sebelumnya. Namun, ia sama sekali tak menemukan jawaban. Vera, memunguti satu persatu pakaiannya, lalu mengenakannya, meski sekujur tubuhnya terasa pegal dan linu. Vera mencoba untuk mencari sesuatu di kamar itu, berharap ada satu petunjuk disana. Tapi, ia tak menemukan apapun. Hanya secarik kertas bertuliskan. 'Terima kasih, kau begitu memuaskan.' "Sial!" serunya mengumpat. "Keluarlah, jangan beraninya bersembunyi!" teriaknya berharap ada seseorang yang menjawabnya. Namun, harapannya pupus ketika dering ponselnya tiba-tiba menyadarkannya. Vera meraih benda pipih diatas nakas, melihat tampilan layar siapa penelepon. "Ya hallo," sapanya. "Apa kau lupa melupakan acara lamaran adikmu?!" teriak seseorang memekakkan telinga Vera, ia bahkan menjauhkan gawainya. "Aku akan segera pulang," jawabnya dan langsung mengakhiri panggilan itu. Dengan langkah berat, Vera berusaha tegar dengan apa yang menimpanya. Dia memilih untuk pulang kerumah dan meminta maaf pada adiknya. Sesampainya Vera dirumah, sang adik bahkan langsung berlari memeluknya, ketika melihat Vera tiba dirumah. "Kau kemana saja? membuatku khawatir," tanya sang adik. "Maaf, aku tak mengabarimu," "Kau tau, dia melamarku," sang adik menunjukkan cincin yang terpasang dijari manisnya dengan kilauan berlian. "Cantik, dan tepat terpasang dijarimu." ucap Vera tersenyum. Adiknya kembali memeluknya karena girang. Adiknya kemudian melepaskan pelukannya. "Bulan depan aku akan menikah dengannya, ku harap kau hadir," Vera mengangguk. "Pasti, tentu aku akan hadir di momen spesialmu," "Terima kasih, jika kau tak datang, aku akan marah dan tak mengakuimu sebagai kakakku." ancamnya dengan melipat kedua tangannya. Vera tertawa kecil, "akan ku pastikan aku oramg pertama yang memberimu selamat," Setelah selesai menenangkan kekahawatiran sang adik, Vera lantas masuk kekamarnya, membersihkan tubuhnya yang ternodai itu. Vera tak melepaskan pakaiannya, dia langsung masuk ke dalam kamar mandi dan air mengguyur dari shower ketubuhnya. Vera merasa sangat kotor, ia menangis dan duduk disudut dinding dengan memeluk kedua lututnya. Cukup lama, Vera berada disana, setalahnya ia masuk kedalm bathtub, mengisinya hingga lenuh dan menenggelamkan tubuhnya disana. Tenang, damai terasa, namun dadanya sesak. Dia kesulitan napas, sehingga kepalanya naik kepermukaan. Dengan napas terengah-engah Vera akhirnya menyudahi keputus asaannya. Sejak tadi, ia berniat mengakhiri hidupnya. Tapi, ada perasaan bersalah jika ia mengakhiri hidupnya, yaitu raa bersalah pada adiknya yang akan melepas masa lajangnya. Vera menghela napas. "Nggak, aku gak setega itu mengubah kebahagiaannya dengan tangisan," Beberapa hari kemudian, sang adik memanggil Vera, ia ingin mengajak Vera untuk ikut bersamanya kebutik. "Ayolah, hari ini kaukan libur," bujuk sang adik yang terus menarik tangan sang kakak. "Iya, lagi pula kau juga belum memilih gaun untuk acara kita nanti," timpal calon iparnya dengan senyum ramah. "Ya, Mattew benar, itu sebabnya kau harus ikut," "Baiklah, jika kau memaksa, dan tunggu. Aku harus mengganti pakaian," Sepasang insan itupun lantas mengangguk, menuruti permintaan Vera, untuk menunggunya. Tak lama kemudian, Vera menuruni anak tangga dengan mengenakan dress diatas lutut berlengan buntung, berwarna navy. Vera terlihat cantik, mengalahkan kecantikan adiknya. Tiba-tiba sang ayah datang dan menghampiri Vera. "Jangan mencuri perhatian calon iparmu, jika adikmu sampai terluka, kau tanggung akibatnya." bisik lelaki yang rambutnya sudah memutih sebagian. "Iya Dad, kita pergi ya." jawab Vera memaksakan senyumnya. Ketiga orang itu lantas berpamitan, Vera tampak murung dalam perjalanannya. Ia seolah nyamuk dalam mobil itu. Sepanjang perjalanan sang adik terus bercerita dengan kekasihnya. Sementara Vera hanya diam menoleh ke kiri, memperhatikan jalanan yang mulai padat. Bayangan itu terlintas kembali, saat dirinya terbangun dari mimpi buruk, namun nyata. Hingga tanpa sadar, air matanya pun menetes tak beraturan. "Kau kenapa?" tanya sang adik melirik cermin, melihat pantulan Vera yang tak baik-baik saja. Vera lantas menyeka air matanya, "a-aku baik-baik saja, ini hanya kelilipan," Entah mengapa, Vera melihat Mattew berbeda. Sekilas ia melihat senyum menyeringai di wajah calon iparnya itu. Sesampainya di butik, Vera justru mendapatkan telepon dari nomor tak dikenal. Dia mengabaikannya. Kemudian sebuah notifikasi pesan masuk ke ponselnya. Vera membuka pola dilayar, 'Jangan bersedih, sebentar lagi kita akan bersama.' selesai membaca pesan Vera lantas menghubungi nomor itu. Namun, justru diluar jangkauan. "Sial, si b******k ini ternyata ingin bermain-main." umpatnya dengan kesal. Kemudian Vera berbalik, tanpa sengaja ia menabrak tubuh Mattew yang tiba-tiba ada di depannya. Mattew dengan sigap menampung pinggang ramping Vera, menatap calon iparnya dengan kagum dan tersenyum manis. "Maaf," Vera langsung sadar dan menjauh dari Mattew. "Lain kali hati-hati," Sebulan sudah berlalu, hari ini adalah hari yang ditunggu-tunggu oleh Vera. Semua pekerjaannya sudah selesai. Termasuk ia sudah resign dari tempatnya bekerja, tak ada seorang pun keluarganya yang tau. Vera sudah mengemasi beberapa pakaiannya, laptop dan juga tabungannya. Dia sudah memikirkan semuanya dengan matang. Pergi adalah yang terbaik, ketika secarik kertas terbungkus amplop putih menyadarkannya, bahwa ia tengah berbadan dua. "Selamat ya sayang, sebentar lagi kau resmi menikah, aku turut bahagia dengan kebahagiaanmu." ucapnya tersenyum ketika memasuki sebuah ruangan digedung itu. Sang adik tampak anggun mengenakan gaun berwarna putih gading, riasannya juga natural, tak mencolok. "Terima kasih, kau sudah menepati janjimu." ucap sang adik yang menyadari jika wajah sang kakak terlihat pucat, meski Vera sudah memakai riasan. Namun, wajahnya terlihat berbeda, apalagi dibagian matamya yang tampak sayu. "Aku perhatikan, kau semakin kurus. Apa ada sesuatu yang kau sembunyikan?" "Tentu tidak, aku merasa sedikit sesak, itu sebabnya aku menurutkan sedikit berat badanku," "Jangan berbohong, katakan apa yang kau sembunyikan?" "Memangnya apa yang bisa ku sembunyikan darimu? Lagi pula, sebentar lagi kekasihku akan pulang, jadi aku tak ingin terlihat gemuk," ucapnya beralasan. Tiba-tiba saja, Vera merasakan mual, ia lantas buru-buru pergi. "Apa yang terjadi? kalau kau sakit sebaiknya pergi ke dokter," khawatir sang adik yang sedikit menaikkan volume suaranya. Vera hanya mengankat tangannya yang ia sematkan telunjuk dan jempol bermakna OK. Mattew menemui calon mertuanya, mengatakan niatnya yang membuat lelaki yang sudah tidak muda lagi itu terkejut dan memegangi dadanya "Kau, apa maksudmu? kau kira pernikahan ini permainan?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD