Bab 3. Harus Operasi

1266 Words
"Aku tidak mau!" seru Audi seraya menarik tubuhnya dari pelukan Darren, lalu bangkit berdiri. Perempuan itu terlihat marah dan tidak senang dengan kalimat yang barusan terucap dari mulut mantan suaminya tersebut. Darren sendiri tampak diam dan menunggu alasan penolakan Audi. Bibirnya tetap tersenyum penuh arti. "Sepertinya aku sudah membuat kesalahan dengan menemuimu di sini. Permintaan itu tidak seharusnya kamu ajukan sebab hubungan kita yang sudah berakhir." Meski begitu, Darren tampaknya sama sekali tidak terganggu dengan kalimat tersebut. Ia malah berdiri sambil memegang kedua bahu Audi dan berbisik. "Aku tidak akan memaksa. Kamu sendiri yang datang ke sini dan meminta bantuan dariku. Jika kamu tidak setuju dengan permintaan yang aku sebutkan tadi, kamu boleh pergi," bisik lelaki itu lalu melepaskan pelukan. Setelahnya Darren berbalik dan berjalan menuju meja kerjanya. Sedangkan Audi masih diam berdiri dengan hati yang kesal dan penuh amarah. 'Aku memang sangat membutuhkan uang, tetapi aku tidak mau menjatuhkan harga diriku dengan bersedia menerima tawaran darinya,' batin Audi yang kemudian memutuskan untuk bergegas meninggalkan Darren. Perempuan itu pun kemudian pamit pergi dari ruangan sang mantan suami. Namun, saat itu juga sebuah panggilan dari seseorang mengejutkannya. Sebelum Audi menarik handle pintu, ia menyempatkan diri untuk menerima panggilan tersebut yang ternyata dari adiknya. "Ya, hallo! Ada apa, Gas?" 'Mbak, papa dibawa polisi.' "Apa! Kok bisa? Kenapa sekarang?" 'Aku juga enggak tahu. Mereka datang dengan surat penangkapan yang lengkap dan sah.' Audi diam di tempatnya. Pikirannya mendadak nge-blank sebab kabar yang adiknya berikan. 'Mbak, apakah bisa pulang sekarang? Aku lagi di jalan menuju rumah sakit.' "Ke-kenapa? Mau apa kamu ke sana?" Lagi, perempuan itu kaget dengan info yang Bagas sampaikan. 'Mama pingsan, Mbak. Penyakit jantungnya tiba-tiba kambuh.' "Ya Tuhan!" Tak mampu lagi berkata-kata, Audi kini malah jatuh terkulai di lantai setelah panggilannya terputus. Bagas -adiknya, langsung menutup telepon setelah menyampaikan kondisi yang tengah dihadapinya. Semua pergerakan itu tak luput dari pengawasan Darren. Ia terlihat bangun dan mendekati Audi yang kini tengah menangis. Darren pun jongkok demi menyamakan posisi tubuhnya. Tampak wajah sang mantan istri tertutup kedua telapak tangan. Terdengar isakan pilu yang membuat Darren kemudian mengulurkan tangan, lalu menarik tubuh Audi ke dalam pelukannya. Selama beberapa saat Darren memberikan waktu bagi Audi untuk melepaskan tangisannya hingga ketika perempuan itu tersadar, ia memilih untuk bangun dan pamit pergi. "Biar aku antar!" seru Darren yang sejatinya tidak tahu ke mana tujuan Audi. Perempuan itu menghentikan langkah. Ia hanya berbalik menatap wajah yang tampak serius di belakangnya. Saat sudah hampir mengucap kata 'tidak', tiba-tiba Darren malah menggenggam tangan dan menariknya keluar ruangan. "Eh, Darren! Kamu ...!" *** Sebuah rumah sakit pemerintahan adalah tujuan Audi. Ia tahu adiknya tidak mungkin membawa sang mama ke rumah sakit mewah dan elit seperti saat mereka masih berjaya. Mobil mewah milik Darren yang mengantarnya ke sana, berhenti tepat di depan pelataran parkir gedung. "Terima kasih atas tumpangannya. Kamu bisa kembali ke kan ...." "Aku akan menemani kamu ke dalam!" Seolah tak ingin mendengar kata penolakan yang lain, Darren malah lebih dulu keluar dari mobilnya untuk kemudian membuka pintu mobil di sisi Audi. 'Ah, apapun yang mau ia lakukan, terserah saja!' batin Audi akhirnya tak mau ambil peduli atas sikap Darren yang mendadak perhatian padanya. Audi kini berjalan cepat, lebih dulu menuju ruang UGD di mana mamanya dibawa oleh Bagas. Meninggalkan Darren yang berjalan bersama Zain, ia membiarkan lelaki itu mencari sendiri di mana ruangan yang dicari. Hingga ia melihat sosok Bagas yang terlihat duduk di area tunggu di depan sebuah ruangan dengan tulisan UGD di di depannya, Audi pun berlari mendekati adik lelakinya itu. "Bagas!" panggil Audi membuat pemuda delapan belas tahun itu menoleh padanya. Setelah dekat, Audi lantas berhambur memeluk Bagas. Ia tak peduli dengan tatapan kaget sang adik yang melihat sosok Darren di belakangnya. "Bagaimana kondisi mama?" tanya Audi masih memeluk Bagas. Perlahan pemuda itu melepaskan pelukannya seraya menyapa Darren dengan sikap hormat. "Selamat sore, Mas Darren. Apa kabar?" "Kabarku baik. Bagaimana keadaan mama di dalam? Apakah sudah ada kabar?" Panggilan mama yang masih Darren ucapkan, sempat membuat Audi merasa aneh. Ia yang sudah lama bercerai, tidak berpikir jika sang mantan suami masih menganggap ibunya adalah mertuanya. "Eh, belum. Mama baru masuk beberapa menit yang lalu dan masih ditangani tim medis sampai sekarang. Jadi, aku belum tahu kondisinya sekarang." Terlihat Audi kesal karena Bagas justru menjawab pertanyaan Darren meski ia yang bertanya lebih dulu. Darren hanya mengangguk sekali. Seolah paham atas situasi yang baru terjadi. Tak lama berselang, pintu UGD pun terbuka. Seorang laki-laki paruh baya dan seorang perempuan muda keluar dari dalam ruangan. "Siapa keluarga dari pasien bernama Ibu Marissa?" ucap sang lelaki yang diduga adalah seorang dokter sebab pakaian yang dikenakannya. Audi yang sudah melepaskan pelukannya pada Bagas, sontak mendekati sang dokter. "Saya, Dok. Saya anak Ibu Marissa." Dokter laki-laki itu menatap Audi begitu serius. "Bisa Anda ikut kami sebentar? Ada hal yang harus kami sampaikan." "Eh, ba-baik, Dok," ucap Audi sembari menatap Bagas dengan ekspresi cemas dan bingung. Tanpa menatap ke arah Darren, Audi lekas mengikuti langkah dokter menuju ruangannya. Sebab belum ada info mengenai apapun yang berhubungan dengan ibunya, Bagas terlihat kembali duduk dan diam dengan tatapan kosong. Begitu juga Darren yang ikut duduk setelah mantan adik iparnya itu menawarkan tempat duduk kosong di sebelahnya. Sedangkan Zain tampak berdiri di sisi sang bos sembari menunggu perintah. "Apa yang terjadi?" tanya Darren pada Bagas. Pemuda di sebelah Darren menengok dan tersenyum pilu. "Papa dibawa polisi. Mama shock dan akhirnya pingsan." Mendapat info tersebut, Darren masih bisa bersikap santai dan tenang. Namun, ada hal yang membuatnya penasaran sebab pingsannya sang mantan mertua. "Sejak kapan Mama Marissa punya penyakit jantung?" "Eh, dari mana Mas Darren tahu kalau mama punya penyakit jantung?" "Aku tidak tahu, hanya menebak dari reaksi mama kalian yang bisa pingsan secara tiba-tiba." "Oh. Aku kira Mas Darren tahu dari Mbak Audi. Sebab tadi aku bilang kalau penyakit jantung mama kambuh." Darren tetap diam ketika pemuda di sebelahnya kembali tertunduk. "Sejak dua tahun lalu atau sejak Mas Darren dan Mbak Audi bercerai mama tiba-tiba sering sakit. Kami awalnya tidak tahu ada apa. Hingga kemudian kami memeriksakan sakitnya mama dan baru tahu kalau selama ini mama punya penyakit jantung yang tidak pernah bereaksi sebelumnya." Darren merasa terkejut. Apakah penyakit sang mantan mertua sebab kejadian cerainya ia dan Audi? Entahlah. "Lantas, seberapa parah penyakitnya itu?" "Belum tahu pasti, Mas. Tapi, aku pikir kejadian papa ditangkap berdampak buruk bagi kesehatan juga penyakit yang mama derita." Di tempat lain, Audi terlihat kaget dan tak percaya dengan kabar yang dokter sampaikan. "Harus memberikan jawaban secepatnya. Sebab jika tidak, maka peluang sehat bahkan hidup ibu Anda sangat kecil." "Tapi, Dok. Apakah tidak ada cara lain?" "Tidak jika Anda berharap pada penanganan medis dan jelas kami harap Anda memilih jalan tersebut." Seketika Audi merasa jika dunianya runtuh dan semakin kacau. Baru saja ia mendapat kabar kalau sang papa dibawa oleh polisi. Sekarang, ia harus mendapati kenyataan jika penyakit sang mama begitu serius dan harus segera mendapatkan penanganan secepatnya melalui jalan operasi. "Kalau boleh tahu, berapa kira-kira biaya yang harus saya siapkan?" Pada akhirnya Audi bertanya. "Dua ratus sampai tiga ratus juta minimal uang yang harus disiapkan sebagai biaya operasi ibu Anda." 'Apa! Tiga ratus juta!' pekik Audi yang sepertinya harus menyerah. "Dan rumah sakit kami tidak tersedia fasilitas untuk melakukan tindakan operasi. Anda harus memindahkan ibu Anda ke rumah sakit yang lebih besar dengan fasilitas yang memadai." Penjelasan berikutnya seperti sebuah angin yang berdesing di telinga Audi. Membayangkan uang ratusan juta yang harus ia siapkan saja sudah membuat dunianya tak berjejak, apalagi harus memindahkan sang mama ke rumah sakit lain yang lebih besar, yang pastinya membutuhkan biaya lebih banyak. 'Ya Tuhan!' batin Audi ingin menjerit dan menangis. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD