Pactum | 7

1047 Words
"Aws! Aws! Lepasin Kenan!" pintar Natasya sambil terseret-seret jalannya. Kenan mencekal erat pergelangan tangan Natasya, sangat kesal kelitahannya. "Sakit tau!" desis Natasya ketika cekalan itu berhasil terlepas. Tidak ada lemah lembutnya, Kenan melepaskan secara tiba-tiba dan kasar, hampir saja Natasya terhuyung. Dia mengaduh sakit sambil mengusap-usap pergelangannya dengan bibir maju beberapa senti. Wajah gadis itu terlihat masam sekali. "Jahat!" Sekali lagi Natasya mengomel sambil mengentakkan kakinya. Kenan tidak bersuara lagi, dia hanya menatap dingin Natasya yang masih mengurusi pergelangannya. Benar sih, sedikit memerah kulit putihnya. Padahal Kenan menyeret paksa Natasya dari halaman depan sampai ke ruang keluarga utama, tidak dari Sabang sampai Merauke. Lebay sampai kesakitan sekali! "Jangan main-main dengan saya!" Pertengkaran mereka lagi-lagi karena Natasya yang sedang menyulut emosi. Gadis itu berkata semena-mena tanpa berpikir terlebih dahulu. Kenan hanya mengancam ingin menutup toko bunga Natasya agar gadis itu tidak sedikit takut, nyatanya dia malah menantang. Katanya jika Kenan melakukan hal itu, Natasya nekat kabur dan kawin lari bersama Farel. Bukankah itu kurang ajar sekali? Bagaimana ceritanya nanti jika berita itu tersebar ke khalayak umum 'Kenan Almeee ditinggal istri lari dengan selingkuhannya'. Ke mana harga diri seorang Kenan? Sangat gila dan menjijikan kedengarannya. Bahkan hanya untuk membayangkan, Kenan muak. "Kamu yang seneng banget mengintimidasi aku duluan!" Natasya mengangkat dagunya, melipat kedua tangan di pinggang, menatap Kenan songong. "Saya tidak mengintimidasi. Kalau kamu berasa ini hanya sebuah lelucon, maka lakukan saja." Kenan mengangkat bahu, cuek. Kemudian balik kanan meninggalkan Natasya dengan kegeramannya. Natasya berdecak. "Nyebelin banget, mati saja sana!" pekik gadis itu sampai rasanya ingin jungkir balik. "Kamu pikir aku takut? Kamu pikir bisa memperdaya aku? Enggaaaaaak!" Napasnya naik turun tidak beraturan, matanya menyorot tajam melihat punggung Kenan yang semakin menjauh kemudian menghilang begitu saja. Natasya meninju angin, mengentakkan kakinya sekali lagi menutup rasa kesal yang tak tersalurkan. Ingin rasanya Natasya menyeburkan diri ke darah laut, dia tidak tahan melihat tingkah Kenan yang sok paling datar sedunia. "Apa kalian liat-liat?!" Natasya semakin marah ketika Damian dan Lala berada tidak jauh dari tempatnya. Sudah dipastikan dua manusia itu menguping dan menyaksikan kekalahan dirinya berdebat dengan Kenan. "Bubar atau kulempar pakai sepatu ini?!" ancam Natasya melepaskan sepatunya dengan hak sekitar lima sentimeter. Damian undur diri lebih dulu, kemudian Lala menyusulnya. "Kenapa semua orang sengeselin ini?" desis Natasya sebelum menaiki undakan tangga. Setiap undakan tangga yang Natasya ambil, pijakannya dibarengi hentakan jengkel. Sepatu wanita itu dia tenteng, dengan tas yang juga berasa dilipatan lengan. Natasya lelah sekali, hari ini pelanggannya banyak--toko sampai penuh. "Tuhan ... bisa gila aku lama-lama begini!" Sesaat mengingat wajah super duper menyebalkan Kenan yang mengintimidasinya. *** Di kamar mandi Natasya sedang mengguyur seluruh permukaan tubuhnya dengan air dingin yang mengalir di atas kepala. Kebiasaan yang tidak pernah tertinggal, Natasya selalu bersenandung sambil memijat pelan kulit kepalanya dengan sampo. Tubuhnya yang kurus itu sedikit diliukkan, mengikuti irama lagu yang dia nyanyikan. Matanya terpejam, seperti saat seperti inilah kenikmatan yang dia dapat setelah seharian lelah berkutat dengan pekerjaan. Usai membersihkan tubuhnya, Natasya menggunakan kimono abu-abu dengan handuk senada yang melilit di kepala, berdiri di depan cermin westafel. "Cantik banget sih!" gemas Natasya saat melihat dirinya sendiri. Gadis itu memang senang memuji kecantikannya, sebab kata Natasya jika menunggu orang lain yang melakukannya lambat, keburu sapi beranak ayam. Natasya mencampur pasta giginya dengan salah satu produk dari arang yang katanya dapat memutihkan gigi. Menyikat luar dalam hingga bersih. "Cantik banget sih!" Sekali lagi, Natasya memuji dirinya. Kini dengan kedua mata yang mengedip berkali-kali, bibir kemerahan itu menyunggingkan senyum lebar. Selesai dengan perawatan gigi dan menyemprotkan sesuatu pada wajahnya--air penyegar untuk merawat wajah agar bebas jerawat--Natasya keluar dari kamar mandinya yang bisa dibilang mewah, betah rasanya berlama-lama berada di dalam sana. "Ya Tuhan!" pekik Natasya terlonjak kaget ketika melihat Kenan sudah duduk santai di sofanya. Pria itu menyandarkan punggung pada kepala sofa, sebelah kakinya terangkat dan bertumpu pada paha. Wajahnya tanpa ekspresi, menatap seribu arti pada Natasya. "Kamu tahu pintu untuk keluar!" Artinya Natasya mengusir Kenan tanpa basa-basi. "Berpakaian dulu yang benar. Ada yang ingin saya bicarakan." "Aku nggak ada waktu, perutku sudah lapar, mau makan. Habis makan mau santai, habis itu tidur." "Berpakaian dulu." "Itu pintu keluarnya!" "Mau saya telanjangi sekarang?" Kenan tidak membentak, tidak juga menekankan kalimatnya. Nada ucapannya biasa saja, namun mampu membuat Natasya langsung tancap gas memasuki ruang pakaian, mengunci pintunya dari dalam--was-was jika Kenan masuk. "Kenan sialan!" umpat Natasya ketika pintu berhasil terkunci. Dia menyandarkan tubuh lemas pada pintu beberapa saat sambil memegangi dadanya yang seketika mati rasa. Fix, Kenan berbahaya sekali, dia pria tua bangka yang kurang belaian! Tidak berani mengulur waktu, Natasya cepat-cepat mengenakan pakaiannya. Pilihan wanita itu jatuh pada celana kain hitam setengah paha dan kaos polos berwarna pink kebesaran miliknya. Natasya melangkah keluar mengenakan sandal bulu-bulunya. "A-aku sisiran dulu." Tidak berani menatap Kenan, Natasya belok ke arah lain menuju meja riasnya. "Duduklah." Kenan menyuruh Natasya duduk usai menyisir rambut dan menggunakan vitamin bibir. "Padahal ini wilayah aku, kok malah kedengarannnya kayak kamu yang berkuasa?" Natasya menaikkan sebelah alis. "Besok jam makan siang saya jemput." Kenan mengabaikan ucapan Natasya tadi, langsung ke inti pembicaraannya saja, mengulur waktu bukan kebiasaan Kenan. "Ke kediaman Almeer. Papa, Mama ingin bertemu sekalian mengobrol dan makan siang bersama." "Kok dadakan banget? Biasanya Mama selalu kirim pesan ke aku dua hari atau paling enggak sehari sebelumnya, kalau mau suruh aku ke sana. Ada acara apaan memangnya?" Natasya akan menjadi orang lain lagi ketika bertemu orang tua Kenan. Orang lain? Ya, lihat saja nanti. Kenan mengangkat bahu singkat. "Itu saja, segeralah ke ruang makan." Tanpa menunggu apa-apa lagi, Kenan beranjak dari tempat duduknya. Pergi meninggalkan kamar Natasya tanpa menoleh ke belakang. "Mau ngajakin aku ke rumah orang tua kamu doang pakai acara ancam mau telanjangin aku dulu gitu?!" gerutu Natasya ketika sadar. "Kurang ajarnya kelewatan banget!" teriak Natasya dengan kedua tangan terkepal yang dia pukulkan ke sofa. Pintu kembali terbuka, Natasya kembali terlonjak. Dia pikir Kenan, ternyata Lala. "Nona Tasya, segeralah ke ruang makan. Tuan Kenan sudah menunggu." "Nye, nya, nye! Kamu tahu Lala ... Tuanmu itu menyebalkan! Aku benci dia." Lala tidak tahu harus membalas ucapan Natasya seperti apa. Setuju bukan pilihan yang benar, kalau menolak pun Natasya pasti akan marah--bisa-bisa mulut Lala akan di pukul oleh Natasya. Kenapa posisi Lala selalu sulit begini? "Kenapa diam? Ah sudahlah ... kamu juga sama menyebalkannya. Pergi sana, aku sebentar lagi turun." ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD