Bab 11

2015 Words
Suara seruan Steffani menyambut Dean ketika ia memasuki kediaman keluarga James pagi itu. Dean yang tiba bersama Jonathan langsung menutup telinga mereka. Entah apa yang membuat perempuan berambut brunette itu berseru kencang. Sepertinya dia sudah kehilangan batas kesabaran, dan dilihat dari caranya mengatur napas Dean sudah tahu siap dalang yang membuat kesabaran Steffani menguap. Dean menghampiri perempuan itu yang berdiri di samping tangga yang melingkar, melongok ke bawah tangga, dan menemukannya. Alexander James duduk di sana sambil memeluk lutut dan boneka beruangnya. Dean menatapnya dengan sinar mata berkabut. Entah apa yang ada di pikirannya sekarang, ia tidak tahu. Satu hal yang pasti, Alexander sejak kemarin selalu berhasil membuatnya tak bisa berpikir. Otak pintarnya tak bisa bekerja, seolah kosong begitu saja. Dean berdehem, mencoba menarik perhatian dua orang manusia berbeda gender dan usia. Namun, ia tidak mendapatkan apa-apa. Steffani hanya melirik sekilas ke arahnya sambil mendengus keras, sementara bocah berambut pirang di sana tetap pada posisinya semula, memeluk lutut dan boneka beruangnya. Alexander tak bergerak sesenti pun dari sana, atau mengubah posisinya. Dean menarik napas. "Apa yang terjadi?" tanyanya pada Steffani yang terlihat lelah. Wajah cantiknya memerah. Steffani menggeleng. "Aku tidak tahu ada apa, Pak Detektif. Tiba-tiba saja setelah bangun pagi Alex langsung berlari keluar kamar tanpa bicara sepatah kata pun..Ia juga tidak menjawab saat kupanggil. Ia berlari sangat cepat sampai aku ketinggalan dan tidak bisa menyusulnya. Beberapa jam aku mencari, bahkan sampai melewatkan sarapan, dan aku menemukannya di sini! Tak bergerak bahkan saat aku menyerukan namanya dengan suara kencang." Dean mengernyit. Ia.mwrasa sedikit aneh dengan kelakuan bocah itu. Tak ada jawaban, tak ada gerakan ataupun reaksi. Alex seperti robot saja. "Aku akan mendapatkannya, kau tenang saja," ucap Dean sambil membungkukkan sedikit badannya. "Bagaimana aku bisa tenang kalau hanya sehari saja menjaganya suaraku sudah hampir habis?" Steffani terus mengomel. "Bagaimana kalau satu tahun?" Dean tak memedulikan Omelan itu. Sekarang ia sudah berjongkok di depan Alexander. "Aku harap ada yang mau mengadopsinya sebelum ia dibawa ke Dinas Sosial minggu depan. Aku tak ingin anak-anak yang sudah lebih dulu tinggal di sana menjadi terganggu dengan tingkah konyol dan menyebalkan bocah kaya ini!" Steffani langsung meninggalkan tempat itu dengan berlari kecil. Membiarkan Dean membujuk Alexander yang masih pada posisinya semula. "Kau dengar apa kata perempuan itu?" tanya Dean setengah berbisik. "Dia menyebutmu menyebalkan yang artinya dia tidak suka padamu. Jadi, bersikap baiklah. Ayo, bangun! Aku akan menggendongmu." Dean bergerak mundur dengan masih berjongkok, mengulurkan tangan pada Alex untuk membantunya berdiri. Namun, Alex tidak menyambut uluran tangannya. Bahkan beberapa detik setelah itu, Alex tetap pada posisinya di bawah tangga memeluk lutut dengan boneka beruang bergelantungan di tangannya. Dean berdecak, ia yakin telah tejadi sesuatu pada bocah ini. "Ayo, kemarilah!" Dean menggerakkan tangan memanggil. "Cepatlah menjauh dari sana atau Steffani akan melukaimu." Dean berhasil. Alexander menatapnya dengan mata biru yang bersinar ketakutan, dan membuatnya entah kenapa merasa tidak tega. "Ayo, kita beli es krim!" ajak Dean sambil berusaha tersenyum. Sungguh, membujuk anak-anak lebih sulit dari orang dewasa. Ia pernah beberapa kali membujuk Dennis,.dan semuanya sangat mudah. Tinggal mentraktirnya kopi atau makan siang maka semuanya akan beres. Sangat berbeda dalam membujuk anak kecil, apalagi yang tidak mau berbicara seperti Alexander. "Kau boleh memesan semua rasa yang kau inginkan." Tatapan ketakutan Alex berangsur mereda. Awan yang sejak tadi menggelayut di mata itu perlahan menghilang, berganti sinar mata secerah mentari yang bersinar di luar sana. Dean meraih tubuh mungil yang bergeser, membawa dalam gendongannya. Sebenarnya ia tidak tahu di mana toko es krim berada, ia tidak pernah membeli makanan manis itu. Baginya, makanan manis adalah racun, perutnya akan langsung mual bila kemasukan gula dan sejenisnya. Mungkin hal ini bisa menjadi alasan baginya untuk mengajak Alex bicara. Semoga bocah di gendongannya ini mau menjawab berbicara dengannya. "Kalian mau ke mana?" tanya Jonathan melihat Dean melewatinya. Dean menghentikan langkah beberapa kaki di depan Jonathan. "Kami akan membeli es krim," jawab Dean. "Apa kau tahu di mana tempatnya, Pak? Kau memiliki anak, pasti anakmu sering meminta diajak membeli es krim. Bisakah kau tunjukkan padaku letaknya?" Kedua sudut bibir Jonathan terangkat. Ia tak menyangka kalau Dean yang dingin seperti balok es bisa juga bersikap manis kepada seorang anak kecil. "Maafkan aku, Dean, tapi aku tidak tahu di mana ada toko es krim di sekitar sini," ucap Jonathan menyesal. Kepalanya menggeleng. "Baiklah, tidak apa-apa." Dean mengangkat baju. "Kami akan mencarinya saja kalau begitu. Joe, aku minta izin sebentar untuk membeli es krim." Jonathan mengangguk kali ini. Ia mengerti apa maksud Dean, pria itu memberi isyarat melalui gerakan matanya. Ia membiarkan Dean melangkah melewati pintu keluar yang berjarak nyaris seratus meter darinya itu. "Baiklah, Jagoan. Kita akan ke mana?" tanya Dean begitu mereka sudah berada di dalam mobil. Ia.memasangkan sabuk pengaman di tubuh kecil Alexander. "Membeli es krim!" sahut Alex bersemangat. Tidak ada lagi ketakutan yang tadi dirasakannya. Saat bagun tidur tadi pagi, Alexander teringat dengan ibunya yang selalu membangunkan dan menggendongnya keluar dari kamar. Ia mencari Sang Ibu ke kamar utama tapi tak menemukan. Teringat akan kedua orang tuanya yang berbaring saling menimpa di ruang tengah rumahnya dua malam yang lalu, ia segera turun, tapi tetap tidak menemukan. Malah perempuan tidak dikenalnya yang sejak kemarin selalu berada di sisinya, mengejar. Ia ketakutan dan bersembunyi di bawah tangga, tapi perempuan itu tetap dapat menemukannya beberapa menit kemudian dan berteriak memintanya keluar. Teriakan yang membuatnya semakin ketekunan. Sebenarnya dia juga takut pada pria yang tengah menyetir ini. Namun, karena pria ini berjanji akan membelikan es krim semua rasa yang diinginkannya, ketakutan yang dirasakannya menghilang. Yang terbayang di matanya hanyalah es krim yang banyak. "Iya, maksudku juga seperti itu," jawab Dean sambil mengusap wajah. Ia tidak memiliki pengalaman apa pun dalam menjaga anak kecil. Ini adalah pengalaman pertamanya. Semoga saja tidak ada masalah karena ia tidak tahu harus menyelesaikannya bagaimana. "Tapi, apa kau tahu di mana kedai es krim?" Alexander tampak berpikir. Memiringkan kepala dengan kening berkerut. Tingkahnya sebenarnya sangat menggemaskan, sayangnya tidak demikian di mata Dean. Pria itu memandangnya dengan ekspresi biasa saja, seolah bocah di depannya tidak melalukan apa-apa. Alex terus pada posenya sampai beberapa menit kemudian, membuat decakan keluar dari mulut pria dewasa di sebelahnya. Dean menambah kecepatan mobil, matanya awas mengamati setiap toko di pinggir jalan yang mereka lewati. Ia tidak hafal dengan kawasan ini, daerah ini bukan termasuk wilayahnya. Bahkan ia sama sekali belum pernah menginjakkan kaki ke daerah ini. Buruannya tidak pernah berasal dari ataupun bersembunyi di distrik ini. Selalu di pusat kota. Dean memperlambat laju mobil. Matanya tajam menatap sebuah toko dengan lampu neon membentuk kerucut es krim. Dean menghentikan mobil di sana.buka sabuk pengamannya lebih dulu sebelum melepaskan sabuk pengaman yang membelit tubuh mungil Alex. "Kita sudah sampai!" ucap Dean gembira. Kedua sudut bibirnya terangkat sedikit ke atas. Hanya sedikit, bahkan tidak ada yang sadar kalau ia tersenyum kecuali orang itu memiliki indra penglihatan yang tajam. "Benar ini tempatnya, 'kan?" tanyanya setelah mereka berada di luar mobil. Alexander tak menjawab. Mata birunya liar mengawasi sekeliling selama beberapa saat sebelum berlari memasuki kedai. Dean kembali berdecak. Apakah setiap anak kecil memang selalu bersikap seperti itu? Tak menjawab saat ditanya dan berlari sesuka hati? Menyenangkan sekali menjadi anak kecil kalau seperti itu. Meski begitu ia tetap tak ingin menjadi anak kecil lagi, tak pernah ada yang menghargai pendapat mereka. Kebanyakan orang dewasa selalu menilai anak kecil menyebalkan karena mereka terlalu aktif. Dean memutar bola mata, berdecak sekali sebelum menyusul. Memasuki kedai es krim yang penuh oleh pengunjung yang kebanyakan anak-anak. Dean mencari Alexander ke sana kemari, dan menemukannya berdiri di depan konter. Alexander terlihat menatap semua es krim dengan berbagai rasa yang dipajang dalam etalase. Sepertinya bocah itu berpikir untuk membeli yang mana. Dean menghampirinya, mengacak puncak kepala bersurai pirang itu. "Sudah menemukan yang ingin kau makan?" tanya Dean tanpa menatap. Ia juga mengamati makanan manis dengan berbagai carian rasa di dalam kaca itu. "Sebaiknya kau cepat memilih atau kita tahu dak menemukan tempat duduk. Lihatlah, semua meja itu hampir tidak ada yang kosong lagi." Sungguh, Dean tak ingin berdiri atau duduk di arena bermain anak kecil seperti beberapa orang pria yang sedang menunggui anak-anak mereka di sana. Kedai es krim ini sepertinya terkenal, banyak pengunjung yang mengantri meskipun bukan hari libur atau akhir pekan. Tempatnya juga luas, ditambah dengan arena khusus bermain anak-anak di sebelah kirinya membuat tempat ini dipadati kebanyakan oleh keluarga yang membawa anak-anak mereka. Mungkin di sini hanya dirinya yang belum memiliki anak. "Kau memesan lah dulu, aku akan mencari tempat duduk untuk kita." Tanpa menunggu Alexander mengangguk atau menjawab Dean segera meninggalkan konter menuju salah satu meja kosong yang batu ditinggalkan sebuah keluarga kecil. Dean menarik sebuah kursi dan mendudukinya melambai pada Alex begitu bocah itu menoleh ke arahnya. Entah karena apa ia melakukannya, Dean juga tidak tahu. Ia hanya menuruti instingnya saja. Beberapa menit menunggu, akhirnya Alex menyusulnya. Seorang pelayan perempuan mengikuti di belakangnya. Ada sebuah gelas besar di tangan perempuan itu. Dean yakin gelas itu berisi pesanan Alex. Kepalanya menggeleng pelan melihat banyaknya es krim yang mengisi gelas itu. "Astaga, aku tidak menyangka kalau kau membeli sebanyak itu!" Dean menegur Alex begitu bocah itu duduk di depannya. "Kau harus menghabiskan semuanya atau aku akan meninggalkanmu di kedai ini dan membiarkan kau membeku seperti es krim. Aku yakin banyak yang menyukai es krim rasa Alexander James." Dean menggeram kesal. Alex mengabaikannya. Apakah semua anak memang seperti ini? Tak mendengar apa yang dikatakan oleh orang yang jauh lebih tua darinya? Sepertinya iya. Bukan hanya Alex tapi anak. Bahkan orang dewasa juga. Semua orang akan berubah menjadi tuli, mereka.tidak akan mendengar bila sudah melalukan kegemaran mereka ataupun sesuatu yang menyenangkan. "Kau mendengarkan apa yang kukatakan, bukan, Jagoan Kecil?" Sengaja Dean tak menyebut namanya lagi. Ia lebih suka memanggil Alex sebagai jagoan. Anak ini lebih kuat dari yang diperkirakannya. Meskipun trauma dan tekanan itu masih membayangi tapi Alex mampu beradaptasi dan menyembunyikan semuanya saat berada di tengah orang banyak. Bocah ini tidak terlihat seperti seorang yang hilang. Alex hanya menatapnya sekilas, ia kemudian kembali menunduk dan menyuap sesendok besar es krim, memenuhi mulutnya yang kecil dengan makanan penutup yang dingin itu. "Astaga!" Dean mengerang. "Bisakah kau makan pelan-pelan saja?" tanyanya. "Aku tak ingin melihat mulutmu robek atau terlihat membesar karena terlalu banyak menampung es krim." Sekali lagi Alex hanya mendongak dan menatap Dean sekilas. Ia tak peduli pada gangguan yang dilancarkan pria dewasa di depannya. Ia sangat menikmati es krim pesanannya. Sangat jarang ia bisa memakan es krim sebanyak ini, dengan semua rasa yang ia inginkan. Mommy dan Daddy tak pernah suka ia makan es krim banyak-banyak. Alasannya tak ingin ia.sakit atau perutnya kembung. Padahal itu hanya karangan mereka saja yang tidak memperbolehkannya. Buktinya sekarang ia tidak apa-apa. Alex menyodorkan gelas es krimnya pada Dean, menawari pria itu tanpa bersuara. Dean menggeleng, menolak makanan penutup yang manis dan dingin itu. Ia tidak terbiasa dengan es krim. "Tidak, terima kasih." Dean mendorong gelas besar itu menjauh darinya, meletakkannya tepat di depan Alexandre. "Kau saja. Kurasa untukmu pun itu tidak cukup. Kau lebih menyukai es.lrim ketimbang aku." Masih tak ada jawaban..Alex seperti seseorang yang bisu. Ia menarik gelas es krim dan kembali menyuapkan sesendok isi gelas ke dalam mulutnya, membuat mulut mungilnya kembali dipenuhi es.lrim Kedua sudut bibir Dean kembali terangkat melihat kelakuan polos Alex. "Kau harus menghabiskannya sendirian karena aku tidak suka ada yang mengancamku hanya dengan menggunakan semangkuk es krim." Alex tersenyum lebar mendengar apa yang dikatakan Dean. Kemudian kembali memasukkan sesendok es krim untuk mengisi mulut mungilnya. Dean menggeleng pelan beberapa kali. Berpikir kenapa setiap anak sangat susah menuruti perkataan orang dewasa. Sama susahnya dengan menyuruh mereka meminum obat saat mereka sedang sakit. Dean berdecak, mengamati sekeliling yang semakin ramai saja. Sungguh, ia tidak menyukai tempat ramai karena hanya akan membuatnya sakit kepala. Mereka harus segera kembali secepatnya. "Apa kau sudah selesai?" tanya Dean melihat ke arah mangkuk besar yang sudah bersih. Alex menghabiskan semangkuk besar es krim itu. "Baiklah, kita kembali sekarang." Dean berdiri, menggendong Alex, membawanya ke depan kasir untuk membayar. Kemudian segera memasuki mobil dan melajukannya menuju kediaman James kembali. Ia juga sudah memutuskan sesuatu yang dianggapnya penting, dan akan mengatakannya pada Jonathan setelah mereka tiba di rumah Alexander nanti. Ia akan mengadopsi bocah yang sedang tertidur di bangkunya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD