Bab 5

2024 Words
Dean memutuskan kembali ke apartemennya sendiri setelah memberikan cincin berlian kepada petugas perempuan yang diajaknya bicara. Meminta pada petugas itu untuk memberikan cincin kepada Martin Shield di laboratorium. Martin adalah salah seorang dokter yang bertugas di laboratorium forensik. Dean lebih memilih pria itu untuk memeriksa cincin yang merupakan barang bukti, daripada meminta Pamela yang memeriksa. Ia tak ingin mengambil resiko kembali dimanfaatkan perempuan itu. "Berikan pada Martin Shield, minta ia untuk memeriksanya!" perintah Dean. "Katakan ini dariku!" Petugas perempuan yang menerima cincin mengangguk cepat. Tanpa bersuara langsung meninggalkan ruangan untuk melaksanakan apa yang diperintahkan atasannya. Sementara Dean juga mengikuti petugas itu melangkah keluar. Ia urung untuk memeriksa ruangan lebih lanjut. Hari sudah gelap, akan sedikit mengganggu penyelidikan. Meskipun ruangan sangat terang, tetap tidak sama dengan sinar matahari. Dean tiba di apartemennya tepat beberapa menit sebelum jam makan malam tiba. Lagi-lagi ia beruntung, jalanan kota New York yang biasanya padat agak longgar saat ia berkendara sehingga ia tidak terlambat tiba di apartemen. Namun, meskipun terlambat juga tidak akan ada yang peduli. Ia tunggal sendirian di sini, terlambat atau tepat waktu tidak akan ada yang menegurnya. Semua keluarganya sudah tewas dalam kebakaran nyaris dua puluh tahun yang lalu. Dean langsung melangkah ke dapur. Mengambil beberapa kaleng bir dari dalam lemari pendingin, dan beberapa bungkus keripik kentang. Ia memerlukan keduanya untuk menemani begadang malam ini. Dean memutuskan untuk membaca ulang berkas-berkas kematian Clarence, tak peduli kepalanya akan berdenyut nanti. Oleh sebab itu ia membutuhkan bir, untuk melawan rasa sakit di kepalanya nanti. Lalu, keripik kentang, itu hanya sebagai makanan pelengkap saja. Terlalu malas untuk memasak atau membeli makanan. Kadang makanan yang dijual di pinggir jalan tidak sehat. Sama dengan makanan cepat saji yang banyak mengandung lemak jahat. Ruang tengah yang sangat berantakan membaut kepala Dean berdenyut sebelum matanya melihat huruf-huruf kecil yang tercetak di atas kertas. Dean mengerang, ia harus membereskan kertas yang berhamburan memenuhi sofa dan lantai di sekitarnya. Ia yang menghamburkannya kemarin setelah membacanya, membaca sambil lalu yang bahkan ia tidak ingat apa isi berkas-berkas itu. Ia hanya ingat penjelasan Pam saja. Tidak semua kertas yang berserak dipungut Dean. Ia lebih memilih untuk membaca sisa kertas yang masih berada di dalam amplop besar itu, berharap ia menemukan kata-kata yang lebih bisa dimengerti di kertas-kertas itu. Harapan Dean jadi kenyataan, kata-kata dalam kertas yang ia baca memiliki bahasa yang lebih sederhana, bukan bahasa kedokteran yang hanya membuat kepalanya berdenyut nyeri. Dean mengusap wajah kasar. Meski seperti itu, masih saja ada yang tidak ia pahami. Posisi peluru di dalam tengkorak kepala yang jatuh membentuk sudut runcing ke bawah. Apakah itu artinya pembunuh Clarence berada di posisi yang lebih tinggi darinya? Saat itu Clarence berada di unit yang terletak di lantai dua puluh lima. Kalau peluru ditembakkan dari atas, kemungkinan besar si pembunuh menembakkan peluru dari tempat yang lebih tinggi lima tingkat dari posisi Clarence malam itu. Dean mengerang kesal. Besok ia harus mulai menyelidiki gedung yang memiliki lantai lebih banyak dibandingkan dengan gedung tempat kejadian. Masalahnya adalah di sekeliling tempat kejadian penuh dengan gedung-gedung pencakar langit yang menjulang. Di antara gedung-gedung itu, gedung mana yang digunakan si pembunuh untuk melontarkan peluru yang menghabisi nyawa Clarence? Sepertinya kasusnya kali ini akan memakan waktu yang lebih lama dari biasanya. Beberapa bungkus keripik kentang sudah berpindah tempat di dalam sebuah mangkuk besar. Dean melempar bungkus yang kosong ke tempat sampah yang terletak di susut ruangan, beserta sekaleng bekas bir. Lemaparannya tepat, kedua beberapa benda yang dilemparnya memasuki tempat sampah. Untuk masalah lemparan kemampuan Dean tak perlu diragukan lagi. Ia adalah seorang shooter di tim basket semasa sekolah dulu. Sampai sekarang Dean masih sering melakukannya, bermain basket di kala ia memiliki waktu senggang. Selain olahraga yang lain tentu saja. Sebagai seorang detektif yang selalu bekerja di lapangan, ia dituntut memiliki fisik yang kuat. Percuma memiliki kepandaian beladiri dan ilmu menembak kalau fisik lemah. Sekali dipukul lawan kau akan langsung tumbang. Dean membawa mangkuk berisi keripik kentang ke atas pangkuannya. Ia sendiri duduk di sofa panjang di ruang tengah dengan kaki yang diletakkan di atas meja. Sekaleng bir kembali mengisi genggaman tangan kiri Dean, tangan sebelah kiri mencomot keripik dan memasukkannya ke mulut. Bukan merupakan makanan yang sehat memang, apalagi di makan di malam hari. Keduanya juga tidak bisa dikategorikan sebagai salah dua jenis makan malam. Keripik kentang hanyalah pelengkap, begitu juga dengan bir. Namun, Dean tidak peduli. Saat ini ia memerlukan keduanya untuk menemaninya memeriksa berkas-berkas kematian Clarence. Ia sudah menemukan suatu bukti yaitu pembunuh Clarence berada di tempat yang lebih tinggi dari korban. Besok ia akan meminta data semua gedung yang berada di sekeliling gedung apartemen itu. Sekeping keripik kentang kembali memasuki mulut Dean, membuat mulutnya kembali sibuk mengunyah. Sementara mata hijau hazel itu masih fokus pada kertas di tangannya. Ini adalah kertas ke sekian yang dibacanya. Kali ini ia serius membaca kertas-kertas itu, tak hanya sambil lalu seperti kemarin-kemarin itu. Ia harus benar-benar memahami agar bisa menyelesaikan kasus ini segera, Dubai sudah menunggunya. Tidak ada ditemukan sesuatu yang ganjil lagi pada jenazah Clarence. Diberkas ini dituliskan kalau pria itu tewas karena sebuah peluru yang langsung mengenai organ vitalnya di kepala. Dean mengangkat alis, Peluru bersarang di tengkorak kepala Clarence tepat di tengah-tengah tengkorak. Bukan hanya lubang peluru saja yang yang berada tepat di tengah-tengah dahi, tetapi peluru juga berhenti di tengah-tengah tengkorak. Benar-benar seorang pembunuh profesional. Seolah pembunuh itu tahu dan dapat memperkirakan berapa diameter dan lingkar kepala Clarence, kemudian dapat mengukur kecepatan peluru dan keakuratan peluru. Semuanya seperti sebuah permainan target. Mengagumkan! Dean menggeram kesal. Melempar kaleng bir yang isinya sudah berpindah kedalam perutnya, dengan kuat ke sembarang tempat Bagaimana ia.bis mengatakan kagum pada seseorang yang menjadi musuhnya? Seseorang yang membuatnya harus melupakan keinginan untuk bermain golf di Dubai Creek Golf & Yacht Club. Dean menggeleng pelan. Ia pasti bisa ke sana asalkan kasus ini selesai tepat pada waktunya. Sekarang yang harus dilakukannya adalah meneliti gedung-gedung di sekitar apartemen. Rencananya besok ia akan memulainya. Untuk saat ini ia akan meminta bantuan Dennis Wyatt untuk memeriksa gedung-gedung itu dulu. Dennis adalah ahli komputer mereka. Otaknya memiliki kapasitas di atas rata-rata sehingga pria itu lebih pintar dari siapa pun yang berada di dalam tim. Dennis adalah seorang peretas, dulu sebum ditemukan kepala polisi Jonathan Storme. Seandainya tidak mencoba meretas komputer kepolisian untuk membebaskan salah satu temannya yang ditahan karena kasus penyalahgunaan obat bius, Dennis masih berkeliaran di luar sana sebagai salah seorang peretas ulung dan berbahaya. Dean meriah ponsel sambil berharap Dennis tidak sedang sibuk. Pria berusia dua puluh lima tahun itu selalu saja beralasan sibuk saat dihubungi, padahal ia hanya bermain game online saja. Hampir saja Dean melempar telepon genggamnya seandainya Dennis tidak menjawab panggilannya setelah tiga kali ia menghubungi. "Apa yang kau lakukan, hah, sampai-sampai baru menjawab panggilanku?" tanya Dean berang begitu mereka terhubung. Suara erangan kesal Dennis terdengar sangat menggangu di telinga Dean. Untung saja pria itu tidak berada di depannya, kalau tidak sudah ditendangnya viking rata Dennis. "Kau menghubungi saat aku sedang sibuk, Kawan. Selalu saja seperti itu." Dean menggeram, rasa ingin menghajar Dennis semakin besar. "Pertama-tama, jangan panggil aku kawan, karena aku bukan temanmu. Kedua, jangan berlagak sibuk di depanku karena aku tahu apa yang kau lakukan. Ketiga, aku tidak akan menghubungimu kalau tidak ada sesuatu yang penting." "Sudah kuduga." Terdengar decakan malas dari seberang sana. Dean menarik napas panjang, mengembuskannya pelan melalui mulut. Ia harus lebih banyak lagi bersabar menghadapi Dennis. Kalau ada yang bisa membuat batas kesabarannya habis, Dennis lah orangnya. Pria itu selaku memiliki cara untuk membuatnya kehilangan kendali. Meski begitu mereka tetap berada di satu tim. Mereka memang tidak akrab, tapi tetap berteman baik. Bagaimanapun Dean tidak akan pernah bisa menjadi sahabat dengan orang yang sudah dihajarnya. Awal bertemu beberapa tahun yang lalu, hubungan mereka sedikit buruk. Dean menghajar Dennis yang ketahuan telah meretas komputer kepolisian. Mereka melacaknya, menghajarnya setelah ditemukan. Seandainya waktu itu kepala polisi Storme tidak melerai, kemungkinan besar Dennis akan berakhir di rumah sakit. Beruntung kepala polisi Storme ikut serta dalam perburuan Dennis. Oleh sebab itu, Dennis menerima tawaran kepal polisi Storme untuk bekerja di kepolisian sebagai ahli IT mereka. Dennis bahkan diberikan sebuah ruangan khusus untuknya yang dipenuhi oleh berbagai macam komputer dan perangkat lunak lainnya. Sebagai seorang ahli, Dennis sudah banyak membantu kepolisian dalam dua tahun ia bergabung. Meskipun di luar terlihat malas dan lebih menyukai bersenang-senang, tetapi untuk masalah pekerjaan Dennis selalu serius. Seperti saat ini, meski terdengar malas, tapi Dennis tetap menanggapi. Seandainya tidak, dipastikan Dean besok ia akan benar-benar menghajar Dennis lagi. Dennis tidur di lab bersama beberapa orang petugas lainnya. Ia yang menginginkan sehingga tidak sulit menemukan dan menghubunginya meskipun di malam hari seperti sekarang. "Apa yang kau ingin aku lakukan untukmu?" Pertanyaan Dennis memasuki gendang telinga Dean. Pria itu berdehem sekali sebelum menjawab. "Aku yakin kau sudah tahu mengenai kasus pembunuhan Timothy Clarence...." "Pria menyebalkan itu? Aku sudah tahu. Jujur saja, aku senang ia tewas. Seandainya bertemu dengan pembunuhnya, aku akan mengucapkan terima kasih." Pernyataan yang sangat diluar dugaan Dean. Sungguh, ia tidak menyangka kalau Dennis akan memotong perkataannya dan berbicara panjang lebar mengenai Timothy Clarence. Apakah ini artinya Dennis mengenal mendiang Timothy? Lalu, apa hubungan mereka? Dean yakin kalau Dennis tidak ada sangkut pautnya dengan kematian Clarence, tapi siapa pun yang mendengar apa yang dikatakannya barusan pasti akan berasumsi yang sama dengannya. Curiga. "Aku rasa aku tahu mengapa Clarence dibunuh." Kata-kata itu kembali membungkam mulut Dean yang ingin memprotes karena perkataannya dipotong. Sekarang ia hanya diam menunggu Dennis melanjutkan. "Pria itu terlalu banyak omong sehingga banyak yang membencinya. Selain itu, dilihat dari tingkah lakunya selama ini, Clarence pria yang sombong dan selalu memandang rendah orang lain. Tidak salah kalau ia memiliki banyak musuh." "Menurutmu seperti itu?" tanya Dean setelah diam beberapa saat. "Apa kau sadar dengan apa yang kau katakan, Dennis? Kau bisa saja dicurigai sebagai pembunuhnya karena kata-katamu itu bisa dijadikan barang bukti!" geram Dean. "Aku tak peduli. Aku juga tidak takut karena aku tak dak merasa melakukannya. Aku tidak bersalah, dan kata-kata saja tidak akan bisa menjebloskan seseorang ke dalam penjara." Dean mengangguk kacau. Dennis benar, tapi tetap saja kata-kata itu berbahaya. Dennis beruntung karena ia yang mendengarnya, bukan orang lain karena bisa-bisa mereka kata-kata itu sebagai senjata untuk membuatnya menjadi tersangka. "Aku tahu, tapi kau tetap harus berhati-hati dalam berbicara, Tuan Sok Tahu!" bentak Dean saking kesalnya. "Jaga mulutmu saat berbicara dengan orang lain!" "Terima kasih sudah mengkhawatirkanku." Dean mengepal mendengar suara tawa Dennis. Tidak ada yang lucu di sini menurutnya tetapi bocah itu terus tertawa. "Aku merasa tersanjung, Dean. Sungguh!" Dean tahu kalau Dennis bersungguh-sungguh. Pria itu sudah teman memiliki teman lagi setelah bergabung dengan kepolisian. Semua temannya yang dulu menjauhinya karena ia menerima tawaran Pak Kepala Storme. Teman-teman Dennis menginginkannya untuk tetap bersama mereka, menghamburkan uang orang tua yang tidak peduli dengan anak-anaknya. Dennis berasal dari keluarga berada. Ayahnya merupakan salah satu pengusaha ternama yang selalu sibuk dengan pekerjaannya. Oleh karena itu Dennis berteman dengan anak-anak nakal kurang perhatian orang tua. Beruntung Dennis pintar dan tidak terjerumus terlalu dalam di lingkaran obat bius ilegal. Ia masih bisa membedakan mana yang baik dan yang buruk sehingga langsung menyetujui tawaran Pak Kepala Storme untuk menjadi ahli IT mereka. Sayangnya Dean bukan orang yang mudah tersentuh. Ia hanya menanggapi dengan gumaman saja. "Baiklah. Apa yang bisa kulakukan untukmu?" Dena mengusap wajah kasar. Mengembuskan napas sekali dengan kuat baru bersuara. "Bisakah kau memeriksa gedung-gedung di sekitar lokasi penembakan?" tanya Dean meminta. Tangannya terangkat memencet pangkal hidung. "Mungkin saja ada pergerakan mencurigakan di antara salah satu gedung itu." "Mencurigakan?" Dean mengangguk. "Iya," jawabnya. "Apakah kau sudah menemukan bukti dalam kasus ini?" Dean menempelkan punggung pada sandaran sofa. Sekali lagi mengembuskan napasnya. "Belum," jawabnya lirih. "Aku hanya baru selesai membaca berkas yang diberikan tim Pamela, dan sedikit menemukan sesuatu. Kemungkinan posisi di mana si pembunuh berada di salah satu gedung itu." "Kau ingin aku memeriksa gedung yang dekat atau yang sedikit jauh?" "Semuanya." Dean menegakkan punggung. Posisi miring peluru membuat semua mungkin terjadi. Meskipun lebih menjurus pada gedung yang berada sedikit agak jauh dari lokasi, tapi tidak menutup kemungkinan tembakan dilepaskan dari gedung yang berjarak cukup dekat, tetapi lebih tinggi. Ia akan meminta Martin untuk memeriksa lebih jauh lagi. "Aku ingin kau memeriksa semua gedung yang memiliki kemungkinan digunakan si pelaku."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD