Bab 8

2027 Words
Entah sudah berapa kali Dean membaca berkas-berkas yang berada di dalam amplop cokelat yang diberikan Dennis, tapi ia tidak menemukan apa-apa karena memang tidak ada sesuatu yang mencurigakan di kamera pengintai. Dari total tujuh gedung yang diperiksa Dennis, tidak ada satu pun gerakan mencurigakan yang tertangkap. Semua aktivitas berjalan normal dan lancar seperti biasanya. Dean sampai-sampai curiga Dennis tidak memeriksa seperti permintaannya. Untung Dennis menyertakan sebuah flashdisk di dalam amplop yang memuat runtutan kejadian yang tertangkap kamera pengintai selama waktu yang mereka curigai. Hasilnya benar-benar negatif. Rasanya Dean ingin melempar semua berkas ini kalau tidak ingat ia sedang berada di apartemennya. Ia tidak memiliki pelayan yang akan membantunya membersihkan apartemen. Juga tak mengizinkan siapa pun masuk ke dalam unitnya, tidak juga cleaning service khusus yang disediakan pihak pengelola gedung. Ia membersihkan semuanya seorang diri. Dean mengerang kesal. Kalau seperti itu artinya untuk saat ini tidak ada bukti lagi dari kasus Clarence. Ia hanya bisa berharap apa yang dikatakan Pak Kepala Storme tentang pembunuhan pasangan suami istri James, benar. Bahwa pembunuh di dua kasus itu adalah orang yang sama sehingga semua tidak mempersulitnya dan ia tidak dipusingkan dengan pembunuhan yang tidak memiliki bukti. Ia ingin secepatnya menyelesaikan kasus pembunuhan ini, Dubai menanti. Astaga! Di saat-saat yang memusingkan seperti sekarang ini masih sempat saja ia memikirkan liburannya. Dean menggeleng beberapa kali, mengerang kesal sambil melayangkan tinjunya ke udara. Saat ini yang bisa dilakukannya adalah menunggu hasil autopsi jenazah pasangan James, dan berharap mendapatkan lebih banyak bukti di sana. Mungkin, seandainya putra tunggal keluarga James bisa diajak bicara, anak itu bisa mengatakan bagaimana wajah di pembunuh. Dennis pasti bisa menggambarkan dengan benar wajah pembunuh itu di komputernya. Sayangnya, kata kepala polisi Storme tadi, bocah itu masih tidak mau bicara. Sepertinya bocah itu masih ketakutan, dan ia harus lebih bersabar lagi untuk bisa mendapatkan informasi lebih lanjut. Semoga saja nanti malam ia sudah mendapatkan hasil autopsi pasangan James. Dean bangkit, melangkah menuju keluar. Ia akan menemui Dennis, bertanya soal laporan yang diberikan pria itu. Yeah, mungkin saja, 'kan, Dennis membuat kekeliruan. *** Dennis sedang fokus dengan permainan game online saat pintu ruangannya terbuka dan menunjukkan wajah menyebalkan Dean. Dennis berdecak kesal, lagi-lagi pria bermuka tripleks ini yang mengunjunginya. Seharusnya ia sudah hafal, tidak ada yang masuk ke ruangan seseorang tanpa mengetuk kecuali dia. Semua orang memiliki sikap sopan, mereka akan mengetuk dan meminta izin. "Ada apa lagi?" tanya Dennis malas. Ia.memutar kursi kerjanya menghadap Dean yang sudah duduk bahkan tanpa izin. "Aku tidak tahu harus meminta bagaimana lagi agar kau mengetuk pintu ruanganku dulu sebelum masuk." Dennis mengangkat kedua tangan seolah menyerah, kepalanya menggeleng. "Kau sangat mengganggu, apa kau tahu?" Dean hanya mengangkat bahu. "Salahmu sendiri tidak mengunci pintu sehingga aku bisa masuk," jawabnya tak peduli. Dennis berdecak. Percuma bicara pada detektif yang menyebalkan seperti Dean. Pria berambut hitam itu selalu memiliki kata-kata untuk memenangkan perdebatan. "Baiklah!" Dennis memilih untuk mengalah, daripada Dean menghancurkan ruangan dan permainannya yang hampir mencapai garis penyelesaian. "Apa yang kau inginkan?" tanyanya. Dean meletakkan amplop yang diberikan Dennis sebelum makan siang tadi, di meja pria itu.."Apa kau tidak salah?" "Apa maksudmu?" Dennis balas bertanya. "Apa aku sungguh-sungguh memeriksa seperti yang kuminta kemarin?" Dean kembali bertanya.. Dennis mengerutkan kening. Ia masih belum paham dengan maksud pertanyaan Dean. "Tentu saja!" jawabnya. "Benarkah tidak ada apa-apa yang menarik perhatian di kamera pengintai itu?" tanya Dean sambil menyandarkan punggung dan melipat tangan di depan d*da. "Maksudmu aku melewatkan sesuatu, begitu?" Sungguh, Dean paling tidak suka kalau pertanyaannya dibalas dengan pertanyaan juga. Namun, bocah berambut pirang di depannya ini sangat suka melakukannya. Bolehkah ia menendang Dennis sekarang juga? "Itu tidak mungkin, Dean." Dennis menggeleng. Tawanya sangat menyebalkan terdengar di telinga Dean. "Aku sudah memeriksa semua kamera keamanan di gedung-gedung yang kau minta. Aku bahkan melewatkan menonton balapan kesukaanku hanya untuk mengerjakan permintaanmu itu. Bagaimana mungkin aku bisa melewatkan sesuatu yang penting seperti tuduhanmu itu?" tanya Dennis kesal. Ia tak terima dengan tuduhan Dean. Seolah ia bukan seorang profesional saja. Sistem komputernya adalah yang tercanggih di kota ini, tak ada yang luput dari jangkauannya. Ia bahkan tidak perlu keluar dari ruangannya untuk melihat apa yang ditangkap kamera pengintai di gedung-gedung itu, cukup mematikan jari-jarinya saja di keyboard maka semuanya bisa terlihat di layar komputernya sesuai yang ia inginkan. Rasanya Dennis ingin melempar Dean dari ruangannya. Seandainya saja bisa ia pasti akan melakukannya. Sayangnya ia masih sayang pada nyawa yang dimilikinya. Kalau tidak, sudah sejak tadi ia mengusir Dean. "Mungkin saja, 'kan?" Dean kembali mengangkat bahu. "Siapa tahu kau terlewat." Sekali lagi Dennis berdecak. Ia sudah mengirimkan rangkuman hasil pengamatannya di dalam flashdisk, menyertakannya di dalam amplop, dan sudah diberikannya pada Dean. jangan bilang kalau pria itu tidak memeriksa secara keseluruhan isi amplop seperti yang sudah-sudah? Bertahun-tahun bekerja bersama Dean, ia mengenal sedikit pria ini. Dean tidak pernah memeriksa semua berkas kasus yang diberikan padanya. Kalaupun memeriksa, Dean melakukannya sambil lalu. "Sudahlah!" Dennis mengibaskan tangan kuat di depan Dean. "Apa kau sudah memeriksa flashdisk yang kuberikan?" tanyanya. Dean mengangguk. "Aku sudah melakukannya," ucapnya. "Lalu?" tanya Dennis tak sabar. "Dan aku merasa kau melakukan kesalahan," sahut Dean santai. "Apa?" belalak Dennis tak terima. "Wajar kalau kau melakukan kesalahan, Dennis. Tidak perlu terkejut berlebihan seperti itu." Dennis semakin membelalak. Kekesalannya meningkat mendengar kata-kata Dean yang dianggapnya semakin menyudutkan. Namun, sekali lagi ia memutuskan untuk mengalah, tidak perlu meladeni Dean yang hanya akan membuatnya terserang hipertensi. Dennis menghela napas, ia akan menjelaskan dengan pelan pada pria di depannya ini agar dimengerti. "Aku sudah memeriksa semuanya, Dean. Tidak ada satu kamera pun yang tertinggal, kecuali di kamar mandi." Dennis menyandarkan punggung ke belakang, ia mencoba untuk santai. "Tidak mungkin pembunuh itu membidik dari dalam kamar mandi, bukan?" Dean mengerang kesal dalam hati. Ia membenarkan kata-kata itu. "Apakah itu artinya pembunuh itu berada di tempat yang lebih jauh?" tanyanya. "Bisa jadi," jawab Dennis menganggukkan kepala. "Melihat dari jenis peluru yang menghabisi Clarence, kemungkinan besar seperti itu." Dean menghela napas, membuangnya kuat melakui mulut. Sepasang tangannya, terangkat mengusap wajah kasar. "Ada berapa buah gedung dengan jarak lebih dari lima ratus meter?" tanyanya lagi. "Aku sudah memeriksa dua di antaranya, dan tidak ada apa-apa." Dennis menggeleng. Punggungnya masih melekat di sandaran kursi keberadaannya. "Masih ada beberapa buah gedung lagi. Hanya saja, kalau dilihat dari sudut mana pun rasanya tak mungkin bisa digunakan untuk membidik ke gedung apartemen." Dean menggeleng. "Tak ada yang tidak mungkin, Dennis," ucapnya. "Pembunuh yang kita kejar seorang yang profesional. Seorang penembak jitu bisa membidik dari arah mana saja, bahkan dari tempat tidak terduga sekalipun, apalagi pembunuh bayaran seperti itu." Dennis mengernyit, telunjuknya mengetuk-ngetuk dagu beberapa saat. "Astaga! Kenapa aku tidak menyadarinya?" Pertanyaan itu seolah ditanyakan Dennis pada dirinya yang tidak memikirkan kemungkinan yang dikatakan Dean. Pria itu benar, seorang yang profesional bisa membidik dari arah mana saja. Hanya seorang penembak jitu profesional yang menggunakan Barret M95. Lalu, apakah pembunuh yang mereka cari juga seorang penembak jitu? "Aku akan mencoba memeriksa gedung yang tidak memiliki akses penglihatan sempurna ke apartemen malam ini," ucap Dennis semangat. "Ada tiga buah gedung, dan satu yang tidak memiliki akses sama sekali. Jangan khawatir, Dean. Besok kau akan mendapatkan laporannya. Berdoalah agar ada sesuatu yang kutemukan di kamera pengawas gedung-gedung itu." Kekesalan Dennis pada Dean menguap, yang ada sekarang ia sangat bersemangat. Menyelidiki dan memeriksa sesuatu yang dianggapnya sulit selalu membangkitkan semangatnya. Ia merasa tertantang. Inilah salah satu alasan kenapa ia menerima tawaran kepala polisi Storme sebagai ahli IT kesatuannya. Suara pintu yang diketuk mengalihkan perhatian kedua pria itu. Keduanya menoleh ke arah pintu secara bersamaan di mana Pamela melongokkan kepalanya melalui daun pintu yang sedikit dibuka. "Boleh aku masuk?" Pertanyaan basa-basi yang sangat menyebalkan bagi siapa pun karena Pamela bertanya setelah dia berada di dalam. Dennis mendengkus kesal. "Kau sudah masuk, Pam," sahut Dennis datar memutar bola mata. Tawa renyah Pamela memenuhi ruangan itu. "Well, setidaknya aku meminta izin," ucapnya dengan ekor mata melirik ke arah Dean. Mencoba mencari tahu bagaimana reaksi pria tampan yang dingin itu. Bukan salahnya menyukai Dean. Salahkan saja hatinya yang dengan tidak tahu diri memilih pria itu untuk disinggahi. Pamela tersenyum miris, melangkah lebih maju dan menarik kursi di sebelah pria yang selalu membuatnya ingin terus berada di sampingnya. "Tidak keberatan aku duduk?" tanya Pamela. Dennis tidak menjawab, ia hanya menggerakkan tangan mempersilakan. "Kebetulan kau ada di sini, Dean. Aku baru selesai mengautopsi pasangan James." Pamela menatap Dean yang sejak tadi tak menolah ke arahnya. Entah apa yang dilihat pria itu, yang pasti sepertinya jauh lebih menarik darinya. "Kau bisa mendapatkan laporannya besok." "Daripada menunggu laporan, kenapa tidak sekarang saja kau memberitahuku?" tanya Dean tanpa menatap Pamela. Ia lebih senang menatap komputer-komputer milik Dennis. Meskipun membuatnya mual, tapi benda mati tidak bisa merengek. "Kau pasti tahu aku tidak akan membaca laporanmu." Pamela menghela napas panjang, mulutnya berdecak. Dia tahu itu. Bertahun-tahun bekerja bersama Dean membuatnya hafal kelakuan buruk pria itu. Dean yang kaku tidak suka membaca. "Kurasa lebih baik kau coba baca saja. Kalau ada yang tidak kau pahami kau busa bertanya nanti." Pamela mencoba bernegosiasi. "Aku ke sini tadi hanya untuk mengajak Dennis minum kopi." "Agar kau bisa menjebakku di apartemenmu dan memaksa menonton film memuakkan lagi?" tanya Dean menyindir. Dennis terbatuk. Ia menutupi mulutnya, agar tidak mengeluarkan tawa. Kata-kata Dean terlalu pedas untuk keluar dari mulut seorang pria. Itu bukan lagi sindiran halus, tetapi sindiran secara terang-terangan. Dennis melirik Pamela, wajah perempuan berusia dua puluh tujuh tahun itu memerah. "Kenapa tidak kau jelaskan sekarang saja karena sungguh, aku tidak paham dengan semua yang tulis dilaporkanmu itu." Dean bersikeras. "Biarkan Dennis mendengarkan. Mungkin ia bisa membantu nanti." Pamela menarik napas, menyimpannya sedetik di paru-paru sebelum melepaskan. Dean memang sialan. Tidak seharusnya ia mengatakan semuanya di depan Dennis. Seharusnya ia menyimpannya hanya untuk mereka berdua saja. "Dean benar, Pam. Biarkan aku tahu. Aku ingin mendengar langsung darimu." Pamela semakin kesal saja. Dennis seolah tidak mengerti keinginannya. Pria yang sudah dianggapnya adik itu justru ikut memojokkannya. "Baiklah." Akhirnya Pamela mengalah. Ia dikeroyok oleh dua orang pria yang sama-sama menyebalkan. "Seperti yang kau ketahui, kepala polisi Storme mencurigai kalau pembunuh pasangan James adalah orang yang sama yang sudah menghabisi Clarence, dan kenyataannya menang seperti itu." Dean berdehem. Meskipun sudah menduga karena dugaan kepala polisi Storme biasanya selalu tepat, tapi ia tetap terkejut. Sedikit memang, tapi tetap saja mengejutkan. Pembunuh itu seolah menebar teror. "Ciri-ciri pembunuhan yang sama, hanya senjata yang digunakan berbeda." "Maksudmu?" tanya Dean memotong perkataan Pamela. Pamela tidak langsung menjawab. Dia mengubah posisi duduknya, menyandarkan punggung dan menumpang kaki, untuk menyamankan posisi. "Peluru yang ditemukan pada mayat Clarence adalah peluru yang sering digunakan pada senjata Barret M95, sedangkan pada pasangan James berbeda." Dean mengangguk. Ia yakin itu. Tidak mungkin si pembunuh menggunakan senapan untuk menembak target yang berada di depan mata. Pasti pembunuh itu menggunakan senjata yang lebih kecil. "Lalu, apa yang digunakannya?" tanya Dean tak sabar. "Thunder 50 BMG." Bukan hanya Dennis yang tercengang mendengar jawaban Pamela, Dean juga. Ia tidak menyangka kalau pembunuh itu memiliki senjata-senjata canggih dan terkini. Barret M95 dan Thunder 50 BMG adalah dua jenis senjata api yang disebut-sebut paling mematikan. Hanya seorang yang benar-benar ahli dan berpengalaman yang bisa menembakkan keduanya. Dirinya yang dianugerahi gelar detektif terbaik saja tidak diperbolehkan menggunakan Thunder 50 BMG, senjata api miliknya sama dengan senjata api petugas lain, dari jenis Smith & Wrsson M&P. Apakah ini artinya pembunuh memiliki level yang lebih tinggi daripada petugas penegak hukum? Dean menggeleng tak percaya. "Wow!" Hanya satu kata menyatakan kekaguman itu saja yang keluar dari mulut Dennis. Ia pernah mendengar nama-nama senjata api yang disebutkan Pamela, juga pernah melihatnya secara langsung, tapi tak pernah menyentuh. Jangankan kedua senjata api itu, senjata api milik Dean yang masih berada di bawah level kedua senjata itu saja ia takut memegangnya, apalagi senjata-senjata yang disebutkan Pamela. Ia tak ingin cedera, masih sayang pada nyawanya, Seseorang seperti dirinya yang tidak biasa berhadapan dengan senjata-senjata menarikan seperti itu lebih baik menjauh. Dean selalu mengatakan padanya untuk berhati-hati karena tak jarang senjata-senjata itu melukai pemiliknya kalau Sang Pemilik tidak bisa menggunakan. "Dari kedalaman peluru di tengkorak kepala korban diperkirakan keduanya ditembak dalam jarak sepuluh meter, atau kurang." Dean mengusap wajah. Sungguh, kali ini ia berhadapan dengan seorang yang sangat berbahaya. Kalau tidak berhati-hati, nyawanya juga bisa melayang. "Satu lagi, pembunuh seorang yang menggunakan tangan kanan."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD