Pengkhianat

2420 Words
Marwah menatap kakaknya bimbang. Ingin bertanya tapi ragu, takut kakaknya merasa tersinggung, tetapi jika dia tidak bertanya dia akan terus penasaran. Masalahnya, melihat gelagat istri dari kakaknya ini benar-benar membuatnya curiga. Bukan karena dirinya kepo karena ingin tahu kejelekan orang lain, tetapi dia benar-benar ingin tahu alasan kakak iparnya yang tidak mau memiliki anak. Bisa jadi ‘kan kalau tahu asbabnya, kemungkinan besar bisa disembuhkan. Misal jika sikap childfree kakak iparnya itu karena sebuah trauma, masih bisa diikhtiarkan ke dokter psikolog untuk menyembuhkan rasa traumanya. Bagaimana pun, Marwah tahu jika kakaknya sekarang seperti banyak pikiran. Dia begitu mencintai istrinya, tetapi tidak bisa menentang keinginan ayah mereka. “A Akram.” “Ya, Dek. Ada apa?” tanya Akram menoleh sebentar pada Marwah lalu kembali berkutat di kertas ujian santri. “Jadi benar, jika Teh Nara tidak mau memiliki seorang anak.” Marwah seketika membekap mulutnya. Astaghfirullah, kenapa mulutnya lemes banget, padahal bisa saja, ‘kan dengan basa-basi dulu tidak harus to the point begitu. Akram seketika menghentikan kegiatannya, kali ini dia benar-benar menatap adiknya dengan tatapan lekat. “Kamu mendengar berita itu dari siapa?” Marwah tidak berani menatap kembali kakaknya, dia terus mengalihkan pandangannya. “Emmm, kabarnya sudah cukup tersebar sih.” “Gak harus semua berita kamu telan semua, Dek.” “Bukan begitu, soalnya aku melihat Teh Nara juga sepertinya tidak suka pada wanita hamil deh, A. Tadi aja dia terus menjaga jarak dariku.” Akram terdiam dalam beberapa detik, ucapan adiknya mengingatkan dirinya saat akan ke sini, tadi. Di mana sang istri yang begitu terburu-buru membuka baju karena ingin buru-buru mandi, padahal dia belum lama baru mandi. Apa gara-gara Marwah? Astaghfirullah! Apa yang dia pikirkan, tidak mungkin istrinya sampai sejauh itu membenci wanita hamil. “Jangan berprasangka buruk, Dek. Jangan memikirkan hal-hal tidak berguna seperti itu, gak baik buat kamu dan bayi juga. Mana mungkin istri Aa seperti itu.” “Iya juga sih, tapi biasanya feeling-ku tidak pernah meleset,” ucap Marwah sedikit bergumam. Menyadari kelakuannya, Marwah buru-buru meminta maaf pada kakaknya. “Maaf, A. Bukannya aku ikut campur. Hanya saja aku penasaran. Jika benar Teh Nara tidak ingin memiliki anak, itu pasti ada alasannya bukan? Siapa tahu jika kita tahu titik masalahnya, kalian mungkin bisa menemukan jalan keluarnya. Entah mengapa aku yakin jika, tadi Teh Nara benar-benar seperti tidak nyaman dan enggan melihatku. Matanya terus menatap waspada pada perutku seperti tengah menahan rasa jijik.” “Apa? Kunara melihatmu dengan jijik, Dek?” Entah sejak kapan, Sukma tiba-tiba ikut bergabung dengan mereka dan langsung menyerobot dengan pertanyaan. Akram seketika menghela napasnya pasrah. Sukma adalah kakaknya yang paling tidak menyukai istrinya. Sejak awal, dia tidak pernah setuju dengan keputusannya menikahi Kunara. Dan sekarang, seakan memiliki celah, kakak sulungnya ini begitu semangat dan bersiap memberikan komentar buruknya pada istrinya. Marwah seketika gelagapan, matanya terus melirik ke arah kakak laki-lakinya seakan meminta bantuan. “Marwah, kenapa gak jawab pertanyaan Teteh? Jadi, benar Kunara menatapmu jijik karena kamu hamil dan gendut?” Marwah mengaga, sementara Akram hanya diam sambil memijat keningnya. “Teh Sukma , kapan aku bilang Teh Nara menatapku jijik karena aku hamil dan gendut?” sangkal Marwah. Sukma menghela napas panjang. “Jangan mencoba menutupi kelakuannya yang tidak baik itu. Lagian, sikapnya seperti itu bukan cuma sama kamu saja. Dia memang tidak menyukai wanita gendut, bukan karena hamil saja.” Sukma mendengus, ingatannya tentang sikap tak sopan Kunara selalu terpatri di kepalanya. Dirinya yang memang memiliki tubuh yang besar, selalu menjadi bahan ghibahan adik iparnya itu. Wanita yang selalu berpenampilan necis dengan pakaian yang serba pas di badan itu, tidak pernah mau berdekatan dengannya karena badan dia yang gendut. Itulah sebabnya kenapa selama ini Sukma tidak menyukai Kunara-adik ipar yang tidak memiliki sopan santun. “Akram. Dipanggil Abah.” Sukma yang sejak awal memang berniat mencari adik laki-lakinya itu tapi tidak sengaja menguping pembicaraan kedua adiknya, malah ikut bergabung dan melupakan niat awalnya. “Di ruang belajar Abah,” lanjut Sukma. Akram mengangguk patuh. “Iya, Teh.” Akram berjalan beriringan dengan kakaknya. Dia mengetuk pintu sambil beruluk salam. “Wa’alaikumussalaam. Masuk.” Akram masuk bersama Sukma. “Duduk, Ram.” “Iya, Abah.” Kyai Umar duduk berdampingan dengan sang istri—Nyai Rahmah, sementara Akram duduk di seberang mereka, sementara Sukma duduk di samping sang ibu. Dalam beberapa menit setelah kedatangan Akram, suasana sunyi belum ada yang berniat untuk mengeluarkan suara. Sampai pada akhirnya sang ayah yang memulai percakapan mereka. “Jadi, Ram. Apa kamu sudah memikirkan ucapan Abah, beberapa minggu ke belakang?” Akram menunduk dalam, tanpa menjawab pun semua tahu jika pria itu belum menemukan solusinya sendiri. “Abah harap saat ini, Abah sudah mendapatkan kabar baik dari kamu,” ucap Kyai Umar lagi. Dalam keadaan menunduk, Akram mengambil napasnya sebelum akhirnya dia menjawab, “Aku ikut baiknya saja, dengan ikut keputusan Abah.” Sukma langsung tersenyum semringah, sementara Kyai Umar dan Nyai Rahmah hanya terdiam. “Apa keputusanmu sudah bulat, Ram?” Akram mengangguk. “Insyaallaah, Abah.” “Jadi, Kunara tetap dengan keputusan awalnya? Tidak mau memikirkan opsi pertama?” Sukma seketika ikut bicara, “Mana mau dia hamil, Abah. Dia itu alergi terhadap orang gendut. Tadi saja, Marwah terus dihindari sama dia karena Marwah gendut.” Kyai Umar dan Nyai Rahmah menghela napas. “Sukma, berkumpulnya kita di sini untuk menemukan solusi untuk adikmu, bukan untuk mendengarkan ghibahan kamu. Jangan merusak hatimu dengan dendam.” Sukma seketika menunduk malu. “Maaf, Abah.” Kyai Umar kembali menghela napas. “Jadi bagaimana, Ram. Istri kamu tetap memilih opsi kedua?” Akram memejamkan matanya, lalu kembali mengangguk. “Iya, Abah.” “Baiklah jika sudah seperti itu. Kebetulan, kami sudah menemukan satu kandidat yang mungkin cocok dijadikan istri untukmu. Dia dari keluarga yang taat agama, berperangai baik, juga lemah lembut.” Akram kembali mengangguk, menyetujui semua keputusan ayahnya. Untuk saat ini dia memang tidak punya ekspektasi apapun pada calon istri keduanya, nanti. Yang penting, ini adalah keputusan yang diambil orang tuanya dan semoga itu yang terbaik. “Jika kamu sudah setuju, mari kita istikharah terlebih dahulu. Keputusan selanjutnya, biar nanti setelah Abah pulang check-up dari Jakarta.” “Baik, Abah.” Setelah musyawarah mereka selesai, Kyai Umar lebih dulu pamit pergi, meninggalkan Nyai Rahmah, Sukma juga Akram. “Umi, aku pamit dulu. Ada beberapa kertas ujian santri belum aku selesaikan.” “Ah, iya, Ceng. Silakan.” Akram mulai melangkah pergi setelah mengecup tangan sang ibu. “Umi, tadi si Kunara ... blablabla.” Akram menghela napas panjang, kakaknya ini, padahal baru beberapa menit ditegur ayah mereka, bahkan ibunya yang ikut mengingatkan tentang ruginya menggunjing, tetap saja tidak mempan. Memang sudah menjadi rahasia umum jika kakak dan istrinya sejak dulu tidak akur. Tak jarang, Kunara yang membicarakan dan menjelek-jelekkan tubuh kakaknya pada teman sosialita wanita itu. Bahkan sudah sering dia menegur sang istri, tetapi bukannya menerima dan sadar, Kunara selalu memiliki sejuta alasan untuk menyangkal nasihatnya. “Baiklah, semoga keputusan ini yang terbaik. Semoga dengan adanya istri kedua, Kunara bisa mengubah pandangan hidupnya dan berubah ke arah yang lebih baik,” batin Akram. “Hasbullaahu wani’mal wakiil.” *** “Eh, Sell—Sell. Tunggu, elaaah. Lu kira gw kambing digiring-giring kaya begini.” Lea yang kesal, menabok tangan sahabatnya sedikit kuat. Baru juga dia sampai lokasi sudah main tarik-tarik aja, dikira dirinya tambang agustusan, apa gimana. Sella mendengus sambil mengelus tangannya yang terkena tabokan maut. Tak tahu apa jika tenaga gadis ini seperti hasil meminjam dari Hulk. Sampai panas dan sakit. “Waktunya mepet, Ea. Dari tadi si kunyuk Tio nungguin lo.” Lea ikut mendengus. “Gw mau sholat Ashar dulu.” Sella melotot sambil berkacak pinggang. “Gak! Lo harus tanding dulu! Lagian azannya baru berkumandang, Ea. Si kamvret Tio sudah nunggu lo dari tadi. Gw yang jadi bulan-bulanan mereka.” “Eeeh, si Selai-Olay ini. Shalat nomor satu, Pe-A! Gak, gw shalat Ashar dulu, titik.” “My Goddess, Azalea, please! Shalat kamu itu gak bisa sebentar. Belum lagi dengan qabliyah ba’diyah-nya.” “Apaan sih? Shalat Ashar gak ada sunat ba’diyah, ya. Ini anak satu, kelihatan banget ngedul shalat sunatnya.” “Ya pokoknya itu. Pokoknya lo tanding sekarang, tanding gak bakal memakan waktu satu jam, jadi masih banyak waktu, nanti.” Lea menghela napas pasrah saat Sella tidak bisa dibantah. Heran juga dengan gadis ini yang tiba-tiba seperti kerasukan jin Ifrit sampai berani menghalanginya untuk menjalankan kewajibannya sebagai hamba Allah. “Lagian, ini bukan salah gw! Ngapain juga jadwalnya malah dimajukan," gerutu Lea tak terima. “Gw juga gak tahu, tahu-tahu si Mbak-Jingan Tio itu majuin waktunya.” “Dan lo malah ikut-ikutan setuju, 'kan double oon, jadinya.” Sella cemberut dikatai oon. “Gw termakan amarah, tadi. Makanya gak sadar disetujui.” Lea semakin mendengus keras. “Katanya sudah move on, tapi tetep aja cemburu dengan hal gak guna.” “Nggak Ea, ih! Gw gak cemburu ya, gw marah karena si kamvret itu nyepelein kita.” “Gw paling benci sama manusia gak konsisten seperti mantan lo itu. Lain kali, jangan diladeni manusia kayak gitu. Gw gak mau lagi berada dalam satu lapangan sama dia.” “Iya—iya. Kali ini gw janji,” sahut Sella antara sudah pengang mendengar omelan sahabatnya, juga merasa malu dan bersalah karena selalu menyeret gadis itu pada masalahnya. “Astaghfirullaaaah! Sella Septiani! Gw cuma mau ngasih ini doang sebentar sama mereka.” Lea menatap galak pada sahabatnya yang malah menghalanginya untuk memberikan sedekah uang pada para tunawisma, seperti biasanya. Dia selalu mengingat pesan ayahnya yang harus bersedekah terlebih dahulu sebagai perisai dari marabahaya. Saat Lea akan melangkah ke lokasi di mana para tunawisma berada, tiba-tiba komplotan Sindy datang menghalangi jalannya. “Halo, Ea. Itu, Tio sudah menunggu kamu sejak lebih dari satu jam yang lalu.” Lea tak menggubris. Dia melanjutkan langkahnya sambil berkata, “Itu deritanya yang tiba-tiba mengubah jadwal tanding, udah tahu gw masih ada kelas, malah cari masalah.” “Iya juga sih. Tapi tetep aja ‘kan kamu tahu gimana Tio, dia bahkan sudah mulai memancing keributan dengan para pendukung kamu. Dia juga berkata kalau dalam sepuluh menit kamu gak ada di lapangan, itu berarti kamu mengaku kalah dan siap menjadi pacarnya.” “Eh, dasar gendeng! Maen bikin peraturan seenak jidat sendiri,” gerutu Lea. Entah kenapa mendengar Tio menggadai-gadaikan namanya menjadi pacar itu selalu membuat Lea marah dan ingin muntah. Dia yang pada dasarnya tidak suka pacaran, lebih tidak suka jika dirinya terus-terusan diakui pacar oleh orang lain terlebih itu si kamvret Tio yang menjebak sahabatnya demi bisa mendekati dirinya. “Iya, makanya aku susul kamu ke sini, karena aku tahu betapa tidak sukanya kamu pada gosip itu.” Lea berdecak, pikirannya semakin kacau karena dari tadi terus diliputi rasa kesal dan marah. Terlebih sebelum itu, ayahnya sudah mewanti-wanti dirinya untuk tidak dulu balapan karena ibunya belum sepenuhnya memaafkan dia setelah balapannya tiga minggu bulan yang lalu. Sindy melihat Lea yang termenung sambil memegang uang 50 ribuan. “Eh, apa kamu mau memberikan uang ini pada para tunawisma itu?” Lea menatap Sindy dan mengangguk. “Gimana kalau aku saja yang bantu berikan? Kamu mending segera ke lapangan, sebelum Tio semakin membuat kekacauan.” Sella yang mendengar itu, langsung merebut uang itu dan memberikannya pada Sindy. “Ya udah, kamu bantu berikan pada mereka. Awas jika malah kalian korup!” ancam Sella menatap Sindy galak. Dia ini memang tidak menyukai si Sindy karena tanpa ada yang tahu gadis itu selalu merundung sahabatnya—Yessi. Ah, ngomong-ngomong soal Yessi, ke mana pula gadis itu belum datang juga? Lea terlihat ragu, tetapi akhirnya pasrah saat Sella kembali menariknya. “Sin, tolong ya.” Sindy memamerkan senyuman penuh sahabatnya. Namun, ketika Lea dan Sella sepenuhnya berbalik dan pergi, bibir itu seketika berubah miring. Dia mengibaskan uang enam lembar 50ribuan itu dan mengipaskanya pada wajahnya sambil tertawa licik. “Dasar bodoh! Mana mungkin gw berikan uang ini pada rakyat jelata itu, boro-boro bersentuhan, berdekatan aja gw ogah.” “Lah, terus, mau kita apakan uang si Lea, Sin?” tanya Martha—teman satu genk-nya. Bibir Sindy terangkat sebelah. “Mau apalagi? Lumayan ‘kan buat kita beli minuman di starbak?” Ketiga teman Sindy melotot tak percaya, pasalnya Sindy adalah pacar dari kakak sepupu Lea, tapi gadis itu berani membohongi adik kesayangan pacarnya. “Lo serius, Sin? Kalo Kak Afnan tahu gimana?” Mata Sindy melotot galak ke arah Martha. “Dia gak bakalan tahu kalau lo-lo pada, gak ember mulutnya!” Ketiganya langsung mengangguk setuju. Lagian, mereka tahu jika Sindy memang sengaja menghalangi Lea untuk bersedekah. Dan sebenarnya gadis itu sudah bersekongkol dengan Tio. Dia membocorkan rahasia Lea yang selalu menang dalam tanding balapan. Sindy sangat yakin jika memberikan sedekah pada orang-orang jalanan itu adalah kunci Lea meraih kemenangan. Makanya, selain memiliki dendam kesumat karena Afnan-pacarnya selalu mengutamakan Lea dari pada dirinya, dia juga penasaran dan ingin membuktikan dengan keyakinannya selama ini tentang rahasia keberhasilan Lea. “Gw penasaran, dengan tanpa sedekah ini apa si Lea masih bisa menang, kali ini?” ucap Sindy sambil memasukkan uang 300 ribu pemberian Lea pada saku celananya. “Udah ah, ngapain juga kalian meributkan uang 300 itu. Ayo cabut!” “Tunggu, Sindy!” Langkah Sindy terhenti saat tangannya tiba-tiba ada yang mencekal. Dia berbalik dan dalam sekejap matanya menatap orang itu dengan sorot mata menghina dan meremehkan. Sindy bersedekap dengan wajah yang angkuh, sangat berbeda jika orang itu ketika berada di samping Lea. “Mau apa lo?” Yessi menatap Sindy a.k.a adik tirinya. “Mana uang Lea. Biar gw yang berikan uangnya jika lo gak sudi berdekatan dengan mereka.” “Iya deh, lo memang paling bestie sama para rakyat kumuh itu, karena derajat kalian setara, ‘kan? Atau anak haram dari pelakor miskin yang bermimpi menjadi ratu di kerajaan itu lebih menjijikkan dari pada para gelandangan itu.” Tangan Yessi mengepal kuat, dia sudah terbiasa dengan sikap adik tirinya yang selalu menghinanya itu. “Kembalikan gak?!” Sindy terkekeh, dan sedetik kemudian meremas lengan kanan Yessy dengan keras, membuat gadis itu meringis. Bibir Sindy tersenyum kecut, tentu saja dia tahu jika lengan itu sudah terluka karena dia mendorongnya, semalam. “Jangan ikut campur, anak bujal! Kalau lo masih mau hidup tenang!” ancam Sindy. Yessy masih menatap adik tirinya sambil memegang lengannya yang terasa seperti patah tulang. Wajahnya memancarkan kepanikan serta kekhawatiran. Khawatir pada sahabatnya, dia sangat tahu dan ingat pesan ayah Lea tentang ritual sebelum balapan. Shalat, dan sedekah. Shalat, mungkin Lea sudah melaksanakannya, tapi sedekah? Uangnya malah dibawa Sindy. Bagaimana ini?

Great novels start here

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD