Azalea Noer Haneefa

2240 Words
Dua gadis muda berpakaian tren jaman sekarang, terus menengokkan kepalanya ke arah jalanan, dari wajahnya sudah terlihat jika mereka sedang menunggu seseorang dengan sedikit tidak sabaran. “Ck, ke mana sebenarnya anak itu? Kenapa sampai sekarang belum juga tiba?” ucap gadis berbaju kaos warna biru dengan rambut kuncir kuda, yang bernama Yessy. “Kenapa malah tanya gw? Lo sendiri 'kan tahu jika dari tadi gw nyariin si Lea juga. Dihubungi juga malah gak diangkat,” balas temannya yang berbaju putih yang dipadupadan dengan celana jeans berwarna abu-abu yang bernama Sella. Di antara mereka berdua, memang Sella yang terlihat lebih tidak sabaran menunggu. Gadis bernama Yessy seketika memutar bola matanya. Padahal jelas jika ucapannya barusan hanya sekedar gumaman yang tidak bermaksud ditujukan untuk temannya ini. “Noh—noh—noh, anaknya datang!” seru Sella seraya menunjuk seorang gadis berkaus putih lengan panjang dengan celana cargo highwaist berwarna coklat. Berbeda dengan teman-temannya, gadis yang baru saja datang ini memakai penutup kepala meski masih belum bisa menutupi seluruh tubuh bagian depannya. Kalau boleh dibilang, dia itu anak hijabers tren masa kini. “Woyyy, Lea! Cepetan elaah, itu berjalan apa merangkak sih?” Tidak mengindahkan teriakan kedua temannya, gadis yang bernama Lea itu tetap berjalan dengan santai dan tenang. “Assalaamu’alaikum, Gaesss!” sapa Lea setelah sampai di depan Yessy dan Sella. “Wa’alaikum salam, ayo!” “Eiiit! Mau ke mana? Gw baru juga sampai, udah main tarik-tarik aja. Ini manusia, woy, bukan kerbau!” Sella yang memang paling rusuh sejak tadi, langsung menunjuk arlojinya seraya melotot galak pada Lea. “Lihat jam, bege! Sebentar lagi pertandingan dimulai.” Lea menarik tangan Sella, dan melihat angka di dalam jam tangan itu—padahal dia sendiri juga pake. “Ck, dasar manusia paling rusuh, ni anak. Masih 50 menitan lagi, kalleee. Santai aja bisa gak sih? Gw mau shalat Ashar dulu. Lo, dan lo juga belum shalat, ‘kan? Ayo, pada ngaku lo berdua!” Sella yang tadinya akan kembali nyerocos, seketika mingkem. Dia gak berani jika Lea—si gadis taat ibadah ini sudah membicarakan tentang shalat. “Gw lagi dabul. 'Kan lo tahu gw dabul-nya saat di rumah lo, kemarin,” sahut Yessy, dan langsung mendapati anggukan dari Lea. “Berarti kita berdua yang ke masjid. Ayo!” “Ta—tapi, Ea (dibaca Ya), apa bisa nanti aja, shalatnya. Secara waktu Ashar masih panjang banget.” “No—no—no! Lo ikut gw shalat, atau gw gak jadi balapannya sama mantan lo itu.” Sella cemberut bahkan bibirnya sudah maju ke depan beberapa senti. Kalau kata Lea mah Bimoli alias bibir monyong lima senti. “Jangan lama tapi, shalatnya.” Lea mengernyit heran pada si Sella. “Selama apa atuh shalat, gak akan selama kamu teleponan sama ayang yang kini sudah jadi anting*.” *pelesetan dengan mengubah huruf Y/J jadi T. “Ayolah, manyun mulu, makin kelihatan kalau lo gamon sama si Tio, Sell. Dibawa enjoy aja, gak usah dipublikasikan dengan begitu jelasnya. Yang ada rival lo semakin bersorak, tahu.” “Ish, banyak makan bekicot, lo,” kesal Sella seraya berjalan sambil menghentakkan kakinya ke arah taman masjid yang memang ada di kompleks sana. Lea menggeleng pelan, dan sebelum pergi dia berbicara dulu pada Yessy. “Yess, gw titip beli jus mangga sama stroberi di-mix, ya. Duitnya ngutang dulu sama lo.” “Iya, beres. Cepetan susul si Sella, makin manyun anak itu, nanti.” “Biasalah, emang setiap hari dia kayak orang PMS sejak putus sama si Tio, ‘kan?” Setelah berbicara, Lea berjalan menyusul temannya yang lagi galau karena belum bisa move on dari pacar lapyboy-nya. Selang 20 menit kemudian, Lea dan Sella kembali ke tempat di mana Yessy tengah menunggunya di sebuah gazebo taman kota. “Ni buat lo, Sell. Mending dinginkan dulu kepala lo, sebelum ketemu si mantan, nanti.” “Lo emang paling debes, Yess. Thanks.” “E—Eh!” cegah Lea saat Sella akan meminum jusnya. “Apa lagi sih, Bu Ustazah?” decak Sella sebal. “Duduk, Sell. Lo kira diri lo unta, minum sambil berdiri?” ucap Lea seraya mengambil jus pesanannya dan duduk di kursi kosong. Setelah baca basmalah barulah dia menyedot jusnya. Uuuh, segernya. Sella yang hari ini sedang kesal gegara si Tio—mantannya itu sudah menggandeng cewek baru. Sementara dirinya masih belum bisa merelakan pria itu, makin kesal dengan wejangan Lea yang seperti gerbong kereta api persis yang selalu dilakukan ibunya. Tanpa menyahut lagi, dia duduk dan menyedot jusnya. “Awas kesel—” “Uhuk-uhuk!” “Naaah, baru aja gw mau ngomong.” Yessy membantu Sella yang terbatuk-batuk akibat keselek minumannya sendiri. Sella terlalu semangat menyedotnya, bahkan mampu menghabiskan dua pertiga isi dari gelas yang cukup besar. Dengan lirikan matanya, Yessy memperingati Lea yang terlihat akan kembali berpidato. Lea memang suka bicara—lebih tepatnya mengkritik, dan terkadang kedua temannya suka kesal karena terlalu banyak dikomentari meski semua yang dikatakan Lea selalu tepat sasaran. Namun, terlepas dari semua kekurangannya itu, Yessy dan Sella sudah sangat menyayangi Lea seperti saudaranya sendiri. Tak ubahnya dengan Lea, pun dengan Yessy juga Sella yang memiliki kekurangan dan kelebihannya masing-masing, dan Lea menerima keduanya dengan apa adanya. Pertemanan ketiga gadis itu kadang membuat orang-orang iri. Mereka cantik, cerdas, trendy, juga kaya. Nama grupnya saja Ye-eS-eL, memang mirip dengan brand fashion yang terkenal di dunia itu, ‘kan? “Ekhem!” Yessy, Sella, juga Lea seketika menoleh ke asal suara yang ternyata ada seorang pria muda yang duduk satu meja bersama mereka. Dari penampilannya cukup oke—tidak, tapi oke banget. “Ya, Kak?” “Maaf, buku saya,” ucap pria itu kepada Lea. “Buku?” tanya Lea bingung. Pria itu menatap Lea beberapa detik, lalu berkata, “Yang diduduki kamu.” Lea sontak menganga juga melotot, dan langsung berdiri. Benar saja, ada beberapa buku di atas kursi itu. Lea meringis dan terus meminta maaf. Buru-buru dia ambil buku itu, dan mengelapnya dengan lengan bajunya. Sejak kapan buku itu di situ? Kenapa dia tidak merasakannya? Apa karena tadi dia sibuk menceramahi Sella? “Eh, tidak perlu dilap seperti itu. Lagian mengelap sesuatu dengan pakaian yang sedang kita pakai itu tidak baik juga,” tutur pemuda itu tenang. Lea semakin mati kutu dan meringis mendapat wejangan gratisan yang tidak dia bayangkan, sebelumnya. “A—Ah, be—begitu, ya,” ucapnya kaku. Lain di Lea, lain juga di Sella. Gadis yang sejak tadi kena wejangan panjang dari Lea, seketika merasa puas seakan kakak tampan itu sudah membalaskan dendamnya, dia menahan tawa dengan apa yang dialami sang teman, sekarang. Pria itu kembali menampilkan senyuman manisnya. Andai senyuman itu sebuah minuman, sudah pasti mereka bertiga akan terkena diabetes. “Dan juga, itu jus saya,” ucap pria muda itu sambil menatap jus yang beberapa saat lalu diminum Lea. “Eh?” Lea menatap jus di tangannya yang kini sudah hampir habis. Lalu menatap Yessy dengan penuh pertanyaan, pun dengan Yessy yang seperti orang kebingungan. Tak lama, Yessy menepuk keningnya. “Ma—maaf, Ea, sepertinya gw lupa bilang kalau minuman lo belum dateng.” “W—What?!” pekik Lea bersamaan dengan seorang wanita muda memakai apron datang sambil membawa jus pesanannya. “Maaf, Dek, lama. Soalnya lagi antre banget,” ucap wanita itu. Wajah Lea sudah sangat merah, begitu kontras dengan kulitnya yang putih, sehingga membuat dirinya seperti sedang demam tinggi, atau ketiban blush on satu wadah ke seluruh wajahnya. “Ma—maaf, Kak. Saya sudah ceroboh,” ucap Lea penuh sesal. “D—Dan ini, sebagai gantinya.” Pria itu akan membalas ucapan Lea, tetapi gadis itu keburu pamit dan menarik kedua temannya untuk segera pergi dari sana. “Ah, padahal aku ingin tahu namanya,” gumam pria itu seraya terus memerhatikan Lea sampai tidak terlihat. “Maaf terlambat, Ceng! Di jalan sedikit macet.” Tiba-tiba seseorang menyapa pria muda itu dan langsung duduk di depannya. Orang yang dipanggil Ceng itu belum menjawab, dia malah memerhatikan teman yang baru sampai itu dalam beberapa detik. “Assalaamu’alaikum, Man,” ucapnya membuat si teman seketika menjadi salah tingkah. “W—Wa’alaikumussalaam. Maaf, tadi terlalu buru-buru, hehehe.” Pria muda itu hanya tersenyum, dan seketika otaknya kembali memutar memori di mana saat Lea menegur temannya. Bibirnya berkedut tanpa disadarinya. Kembali ke Lea dan kawan-kawan. “Hai, Lea, Yessy, Sella. Akhirnya kalian tiba. Tio CS terus mencari kalian, dari tadi.” Sindy—tim pendukung Lea menghampiri ketiganya bersama dengan kawan-kawannya yang berjumlah tiga orang. Lea menerima sambutan Sindy CS dengan hangat seperti biasa, berbeda dengan Sella yang sedikit ketus karena tidak menyukai kawanan itu, sementara Yessy hanya bersikap netral. “Ayo, Ea.” “Iya, bentar dulu.” “Mau apalagi sih? Waktunya udah mepet banget.” “Iya, Sella Sayang. Gw janji akan memenangkan balapan ini dengan membawa nama lo, tapi izinkan gw untuk melakukan sesuatu dulu,” kata Lea seraya merogoh saku celananya. Dia mengeluarkan beberapa lembar uang berwarna ungu, lalu berjalan menghampiri ibu-ibu tuna wisma yang tengah duduk di tepi jalan bersama anak-anak mereka. “Harus ya, sedekah dulu sebelum tanding?” tanya Sella sambil mengimbangi langkah Lea. “Haruslah! Sedekah itu penolak bala (bahaya/bencana), kesialan juga hal-hal buruk.” Sella mengangguk mengerti. “Baiklah, semoga kamu beruntung. Tetap hati-hati jangan sampai terluka,” cerocos Sella yang saat ini menjadi grid girl Lea memberi wejangan. “Sip! Lo harus percaya sama gw,” balas Lea seraya memasangkan helm full face-nya dan bersiap untuk mengikuti pertandingan. Setelah semua siap, Lea mulai menghidupkan motor gede-nya yang sudah dipanaskan oleh orang-orangnya. Menginjak kopling, lalu melaju ke arena balapan yang sudah ada enam motor bergabung bersamanya. “Inget ya, Ea. Kalau lo kalah, lo harus jadi pacar gw!” teriak Tio kepada Lea. Lea hanya memutar bola matanya di balik helmnya. Tidak berniat mengayomi omongan Tio yang sangat mustahil dia patuhi. FYI aja untuk kalian, jika Azalea Noer Haneefa ini adalah salah satu anggota dari geng IJO TOMAT yang dipimpin oleh Syakir Daulay sebagai pemimpinnya. Sepertinya pria lapyboy itu cukup angkuh saat ini, karena Lea tentu yakin bahwa dirinya yang akan menang. “Siap-siap jadi cewek gw ya, Ea Sayang.” Kembali Tio berteriak. Helleh! Lea mengabaikan omong kosong Tio, karena menurutnya buang-buang energi. Bikin pita suara sakit saja. Tak lama, seorang gadis membawa bendera berdiri di depan para pembalap. Dalam hitungan ketiga bendera itu dikibarkan bersamaan dengan suara letusan pistol di udara. Ketujuh motor itu langsung melesat dengan cepatnya. Brummm! Sorak sorai begitu bergemuruh di bagian para penonton, mereka terus bersorak menyemangati kesatria yang menjadi idola mereka. Motor Lea dan Tio adalah yang paling depan, mereka saling mengejar juga menyusul. “Lea! Lea! Lea!” “Tio! Tio! Tio!” Saat Lea menyusul motor Tio, maka timnya akan bersorak heboh. “Ayo Lea. Kalahkan si Tio bebek wekwek itu!” teriak Sella yang paling semangat. “Heh, apa maksud lo ngatain pacar gw? Lo belum terima ya diputusin sama ayang bebeb gw.” Seorang gadis yang hanya memakai tank top dilapisi other kain tipis dengan rok span di atas lutut datang menghadang Sella. Dia tidak terima jika pacar barunya dihina seperti itu oleh gadis yang sudah menjadi mantan pacarnya itu. Sella mengamati penampilan cewek di depannya, di mulai dari ujung kaki sampai ujung kepala. Seketika bibirnya terangkat sebelah. Bahkan sedikit menggumamkan suara iuuuuh dari dalam mulutnya. “Gw justru syukurannya tujuh hari tujuh malem gegara diputusin sama tuh bebek item. Karena apa? Karena sebenarnya gw udah dari dulu pingin putus, tapi gak berani mutusin duluan karena gw orangnya gak tegaan.” “Hallaah, ngeles aja lo.” Sella memutar bola matanya malas. “Seterah Nyai aja.” “Tio! Tio! Tio!” “Lea! Lea! Lea!” Percakapan mereka terputus saat teriakan dari para pendukung kembali terdengar bertumpang-tindih. Karena saat ini mereka berdua masih berkejaran sementara gerbang finish sudah dekat—hanya tersisa dua belokan lagi. Tio sekarang sejajar dengan Lea. Bibirnya berkedut penuh siasat. Dalam otaknya hanya satu tujuan, yaitu menang dan menjadikan gadis sombong sok suci ini menjadi pacarnya. “Sial!” umpat Lea saat Leo dengan sengaja memepet motornya. Lea tersenyum miring. Cara yang basi! Tentu saja dia tahu jika pemuda lapyboy ini sedang mencoba menjatuhkannya. Fokus Lea kembali ke arena, dia semakin mengencangkan setirnya dan tentu langsung diikuti oleh Tio. Belokan terakhir sudah dekat. 1. 2. 3! Ckiiiit! Brakk! Satu motor tiba-tiba hilang kendali, terseok dan akhirnya terjatuh dan terlempar lumayan jauh. Lea tersenyum penuh ejek, sambil melewati motor Tio yang kini sudah terkapar di aspal, dia menyempatkan diri untuk mengangkat telunjuk tengahnya dan diarahkan pada pemuda itu. "Argh, sialan!" amuk Tio seraya menendang motornya yang tak lama disusul oleh beberapa orangnya. Dengan mulus, Lea menyeberangi jalur finish tanpa hambatan. Sella dan Yessy lari sambil terus berteriak bangga. Lea membuka helm full face-nya dan tersenyum ke arah dua gadis itu. “Aaaa! Gw selalu percaya lo yang terbaik, Ea.” Sella terus melompat-lompat sambil memeluk sahabatnya. “Thanks karena sudah membunuh harga diri si kutu kuvret itu.” “Apapun demi sahabat gw. Lo juga harus menepati janji lo untuk move on.” “Off crush, Babe. Gw mending pacaran sama lo aja. Mau 'kan lo jadi imam gw, Ea?” “An-Najsu!” “Hahaha.” Ketiga sahabat itu terus tertawa, sementara Tio menatapnya dengan penuh dendam pada Lea. Dia benar-benar tidak terima sudah dipermalukan dan dikalahkan oleh seorang cewek mungil seperti sahabat mantan pacarnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD