Pecundang Itu ... Aku

2243 Words
Terkadang ketika aku tidak menampik dari suara hatiku yang mengeluh Hendak sampai kapan aku bertahan? Jelas aku tahu bahwa perjuangan ini hanya berujung sia-sia Dia tidak pernah memandangku lebih dari sekedar sahabat Mungkin tidak akan lebih dari itu! Perih tetapi ini memang harus aku akui, bahwa aku tak lebih dari seorang pecundang yang mengharapkan dia merubah cara pandangnya terhadapku. Aku ingin menjadi satu-satunya pria yang bisa meraih hatinya. Kapankah itu berpihak kepadaku? _Suara hati Levin_ *** Dalam rumah yang sama, ada dua orang yang berada seatap namun memilih untuk menyendiri dengan membawa suka dan luka dari perasaan mereka masing-masing. Di saat yang satunya sedang menikmati sedikit kelegaan hati serta memendam perasaan terluka, yang satu lagi begitu miris memilih menyendiri, berharap bisa sedikit menahan luka yang perih dan tak berdarah itu lebih lama lagi. Pihak yang tengah merasakan kemirisan itu adalah pria yang sedang berupaya terbiasa dengan lukanya. Ya ... sudah terlalu lama ia memendam perasaan itu tanpa punya keberanian untuk meminta lebih, ia terlalu takut menerima konsekuensi rusaknya hubungan yang sudah terjalin selama belasan tahun itu hanya karena rasa yang telah berbeda. Jika ia mengungkapkannya, ia tak yakin persahabatan ini masih bisa sehangat sekarang. Ia sungguh tidak berani mengambil spekulasi itu. Levin memijit pelipisnya, sedikit merasa pusing meskipun ia sudah memposisikan dirinya dengan tiduran di sofa, tetap saja tak bisa menghilangkan penatnya beban yang menggerogoti pikirannya sekarang. Setelah perdebatan yang terjadi antara dirinya dan Jennie beberapa saat lalu, nyatanya ia tetap tidak berhasil mendapatkan jawaban dari Jennie, tentang identitas pria yang telah menolongnya secara pamrih itu. Jennie bahkan mengusirnya secara halus, tetapi Levin sengaja bersikap tidak tahu malu dan masih bersikukuh bertahan di sini. Walaupun harus bertahan di ruang tamu, menunggu entah sampai kapan. Levin memilih untuk menunggu dengan memejamkan matanya, berharap penantiannya tidak berujung sia-sia. Ia tidak akan beranjak dari sini sebelum berbaikan dengan Jennie. Setidaknya ia ingin sedikit menenangkan dirinya dari kekhwatiran ini. Dalam sepasang netra yang terpejam, sekelebat bayangan masa lalu kembali mengusik pikirannya. Levin membayangkan masa lalu, masa di mana ia masih sangat belia dan lemah, dalam kerapuhan itulah ia mengenal sosok Jennie, sang penyelamatnya. Flashback on .... “Lepaskan aku!” Pekikan Levin kecil yang meronta ketika kerah bajunya dicekik oleh rekannya yang bertubuh lebih besar. Tubuh kecil Levin kini diangkat, bukannya bersimpati pada permohonan untuk dilepaskan, si lawan justru semakin ketagihan untuk menyaksikan raut wajah penuh penderitaan dari korbannya yang tidak berdaya. “Kamu mau dilepasin? Gampang ... tapi syaratnya dulu! Bayar aku seratus ribu!” Ujar anak laki laki yang tubuhnya lebih bongsor sehingga memudahkan dirinya untuk menindas anak yang lebih lemah. Senyum seringainya melebar, sekecil itu saja dia sudah menikmati perasaan dari menindas orang tanpa rasa kasihan. Levin kecil yang tubuhnya masih terangkat itu berusaha menggapai pijakan. Sepasang kakinya bergerak, tetapi tangannya tidak bisa berbuat apa apa lagi lantaran rekan lainnya mendukung si penindas dengan mengikat tangannya ke belakang punggung. Ancaman itu jelas membuat ia shock, dilema serta semakin ketakutan. Dengan suara terbata-bata, ia berusaha memberikan jawaban. “Bagaimana aku bi ... sa mempunyai u ... ang se ... banyak itu ....” Jawab Levin yang tersendat karena nafasnya mulai tak beraturan. Posisi tubuhnya masih terangkat beberapa jengkal dari pijakan dan ia sudah sangat kepayahan. Suara tawa dari beberapa anak laki-laki yang merasa lucu melihat ketidak-berdayaan Levin namun belum bersimpati untuk menyudahi aksi brutalnya. “Kamu mau diturunkan? Uangnya dulu ....” Ujar anak laki laki bongsor itu seraya memperlihatkan wajah sinisnya. Pluk! Sebuah batu seukuran kepalan tangan mendarat tepat di punggung anak laki laki bertubuh bongsor itu, sontak membuat dia terkejut dan refleks tangan yang mencekal kerah baju Levin pun terlepas sehingga tubuh kecil itu terjatuh ke tanah. Anak laki-laki bertubuh bongsor itu menoleh ke belakang, hatinya dipenuhi amarah terhadap seseorang yang telah mengusik ketenangannya. Dengan sepasang tangan yang mengepal, ia bergegas membalikkan badan, hendak membuat perhitungan kepada siapapun yang ada di sana. “Siapa yang berani melempari aku!?” Geram anak laki laki itu. “Aku ... kenapa?” jawaban yang terdengar enteng itu sungguh membuat beberapa anak laki-laki itu tercengang, terutama laki-laki berbadan bonsor itu. Ekspektasinya yang mengira bahwa orang yang hendak mencari masalah dengannya adalah anak laki-laki sepantaran mereka, tapi ternyata orang yang berlagak jagoan itu mengenakan rok merah. Dia yang dengan enteng bertanya setelah melempar batu itu malah melipat tangan, sorot matanya begitu remeh, tak terlihat gentar sedikitpun. Sikap tenang dan angkuh itu justru menjadi pukulan bagi sekawanan anak laki-laki yang mencercanya. “Hei anak kecil jangan ikut campur urusan laki-laki!” Gerutu anak laki-laki bongsor itu, berharap dengan gertakan itu bisa menciutkan nyali perempuan di hadapannya. “Cih ... sok besar saja kalian! Apa kalian bukan anak kecil? Badan doang yang besar, lalu merasa hebat dan perlu menindas orang?” Cebik anak perempuan yang tak lain adalah Jennie itu kepada beberapa lawannya. Ia menyempatkan diri untuk melirik ke arah Levin, memastikan bahwa anak yang ditolongnya sudah dalam keadaan selamat. Lirikan itu berbalas ketika Levin kecil pun tengah menatapnya bahkan tak bisa melepaskan pandangan darinya. Jennie kecil menghindari tatapan itu dengan acuh lalu kembali fokus pada lawan yang sedang dihadapinya. “Hei perempuan! Segera menyingkir, jangan ikut campur yang bukan urusanmu!” Gertak laki-laki berbadan bongsor itu memberi peringatan. Jennie tak gentar, ia malah kembali melipat tangannya, bersikap menantang lawan yang tak sepadan dengannya. “Kalau aku tidak mau menyingkir, kamu mau apa? Ini sudah menjadi urusanku ketika aku melihatnya. Kalian menindas saudaraku, apa aku bisa diam? Akan aku laporkan kepada ayahku!” Seru Jennie yang dengan lantang menggertak balik. Levin kecil tercengang, pengakuan yang merupakan kebohongan besar itu bisa dilontarkan dengan enteng oleh seorang anak perempuan yang mengaku sebagai saudaranya, padahal ia baru saja bertemu dengannya dan belum mengetahui namanya. Keterkejutan yang sama pun terlihat dari sekawanan anak laki-laki yang membully Levin kecil tadi, sesaat skakmat dari Jennie kecil berhasil membungkam mereka hingga akhirnya kembali bersuara lagi. “Aku tidak percaya kalau dia saudaramu! Kamu bohong kan?” Jennie kecil mencebik, “Oh, jadi kamu mau menantangku? Baiklah, aku penuhi keinginanmu? Apa kita perlu berduel?” Ancam Jennie seraya mengangkat lengan seragam putihnya dan melangkahkan kakinya maju. Di saat bersamaan, rombongan anak laki-laki itu berjalan mundur, menghindari Jennie kecil. “Aku tidak mau memukul anak perempuan. Tetapi aku tetap tidak percaya kalau kamu adalah saudaranya. Jadi ... jangan salahkan aku jika memukulmu ketika aku berhasil menangkapmu!” Gertak anak laki-laki bongsor itu dengan senyum jahilnya. Levin kecil menyadari arti seringai itu kemudian dengan terburu-buru bangun dari posisi duduknya. Ia menyadari arti bahaya yang mengancam dirinya serta anak perempuan bernyali besar yang menolongnya itu. Levin kecil tidak bisa berdiam diri, ia harus melakukan sesuatu untuk membalas kebaikan penyelamatnya. Ia berhasil berdiri kemudian meraih tangan anak perempuan itu tanpa permisi. Begitu menyadari keterkejutan si pemilik tangan kecil yang digenggamnya itu, Levin segera mengatakan niatnya. “Ayo lari ....” Seru Levin kecil menarik tangan anak perempuan itu seraya mengambil langkah seribu. Jennie kecil menurut saja, membiarkan Levin kecil menariknya pergi. Dan serombongan anak laki-laki itu pun mengejar mereka .... *** Deru nafas dari dua anak kecil yang baru saja berhasil meloloskan diri dari kejaran segerombolan anak laki-laki itu masih terdengar ngos-ngosan. Tanpa Jennie kecil sadari, ia masih membiarkan tangannya digenggam oleh anak laki-laki yang ditolongnya. Ia melihat sosok anak laki-laki itu masih memasang mata awas mengamati sekeliling, seakan hendak meyakinkan bahwa persembunyian mereka saat ini sudah tepat. Setelah yakin bahwa mereka sudah aman, barulah Levin kecil menoleh ke belakang, mendapati raut wajah anak perempuan itu terlihat santai. Perlahan Ia pun tersenyum, mencoba menawarkan persahabatan kepada orang yang telah menolongnya itu. “Terima kasih sudah membantuku, namaku Levin, kamu siapa?” Ujar Levin sembari menyodorkan tangannya, menunggu uluran tangannya direspon oleh anak perempuan yang belum ia ketahui namanya itu. Jennie kecil tertegun melihat uluran tangan kecil yang menunggu sambutan hangatnya. Semula Jennie kecil ingin menolak untuk dikenali, tetapi begitu melihat raut wajah penuh harap serta senyuman lebar yang begitu polos, hati kecilnya pun tergerak. Perlahan ia menggerakkan tangannya untuk menerima jabat tangan itu. “Jennie.” Ucapnya datar, ia tidak bisa tersenyum selebar Levin. Dua tangan itu saling berpegangan dengan hangat sehingga Jennie kecil lah yang berinisiatif melepaskan dirinya. “Kamu sudah aman kan? Aku harus pergi sekarang.” Levin kecil terlihat tak ikhlas membiarkan teman barunya membalikkan badan hendak pergi, ia pun dengan cepat ingin mencegatnya. “Tunggu sebentar! Jangan pergi dulu!” Permintaannya dikabulkan, Jennie kecil menoleh ke arahnya lagi. Ketika Jennie kecil menatap ke arahnya, Levin kecil justru menjadi grogi. “Ng ... Aku ... Aku tidak mengerti mengapa kamu menolongku?” Tanya Levin kecil terbata-bata. Jennie kecil termangu diam sejenak kemudian menarik lekukan bibirnya hingga menampakkan senyum seringai. Ia jelas punya alasan mengapa harus ikut campur dengan urusan anak laki-laki yang yang sama sekali tidak dikenalnya namun cukup menggugah hati kecil. “Karena kamu terlihat sangat lemah. Anak laki-laki tidak boleh lemah!” Flashback off .... *** “Cih ... Sampai sekarang kamu tetap yang paling kuat, dan aku masih di posisi lemah.” Desis Levin yang mengakhiri kenangan masa kecilnya dengan nyengir kepada dirinya sendiri. Sejarah perkenalannya dengan Jennie yang begitu manis, dramatisir dan menjadi alasan utama ia begitu menyukai Jennie. Bisa disebut ia mulai suka pada gadis penyelamatnya sejak kesan pertama, keberanian Jennie yang datang menyelamatkannya, tak akan ia lupakan. Levin menyerah untuk mencoba tidur, sekeras apapun usahanya hingga memaksakan diri memejamkan mata, tetap saja ia menyerah dan membiarkan pikirannya menjelajah ke mana-mana. Pria muda itu bangun, merubah posisi tubuhnya menjadi duduk bersandar pada sofa. Kepalanya menatap ke atas langit-langit, menetralisir sedikit sisa emosi yang menggebu dalam hatinya. “Sepertinya aku memang harus kembali menahan diri.” Gumam Levin yang tidak punya pilihan lain sehingga mengambil keputusan ini lagi. Di saat yang bersamaan, sepasang kaki jenjang berjalan menuruni tangga dari lantai dua. Si pemilik kaki memperlambat langkahnya ketika berada dekat dengan lantai bawah. Jennie mengerutkan dahinya, refleks menghela nafas kasar lantaran masih mendapati sosok yang belum mau ditemuinya itu masih berada di rumahnya. Namun ia pun enggan mengelak terlalu lama, terlebih ia memang perlu untuk turun ke bawah. Jennie memilih melangkah turun lagi, perlahan tapi pasti sehingga kehadirannya disadari oleh Levin yang langsung berdiri ketika melihatnya. “Jennie ... kita perlu bicara ....” Pinta Levin dengan suara yang terdengar memelas. Jennie berdiri mematung, tak mencoba untuk kabur seperti sebelumnya. Ketika ia sudah tidur sejenak, suasana hatinya pun ikut membaik dan tidak terhasut emosi saat harus berhadapan dengan Levin. Ia pun cukup paham maksud Levin yang sebenarnya baik, mungkin saat itu mereka sama sama terlalu lelah hingga mudah terbawa emosi. Levin mendekati Jennie yang tak berkutik, keduanya pun saling bertatapan dengan jarak kurang lebih satu meter. “Aku menyesal ... tidak seharusnya aku keterlaluan mencampuri urusan pribadimu, apalagi sampai mengatur hidupmu.” Ujar Levin penuh sesal, ia bahkan menundukkan kepalanya, tak sanggup melihat ekspresi wajah Jennie yang tak bisa ia prediksi. Hatinya bersiap menerima penolakan untuk ke sekian kali. Jennie melihat sikap Levin yang cukup manis itu, ia hapal betul kebiasaan sahabatnya yang seringkali menundukkan kepala ketika ia menyembunyikan perasaan atau rasa takutnya. “Hmm ... aku bisa saja memaafkanmu, tapi ini tidak gratis.” Ledek Jennie yang merasa kasihan jika harus bersitegang kembali. Levin mendongakkan kepalanya, menatap ke arah Jennie seraya tersenyum sumingrah. “Katakan saja kamu mau apa, asalkan kamu memaafkan aku dan tidak marah lagi. Aku akan lakukan apapun!” Seru Levin bersemangat. Jennie tersenyum tipis seraya menggedikkan bahunya, “Aku belum tahu apa yang aku inginkan, anggap saja aku sedang berinvestasi satu permohonan padamu. Kamu berhutang satu permintaan dariku, okey.” Ujar Jennie yang sudah kembali seperti biasanya. Levin menganggukkan kepalanya dengan cepat, begitu optimis dan bersemangat. “Okey, aku tidak keberatan sama sekali. Kamu boleh menagihnya kapanpun.” Jennie tak menjawab lagi, ia memilih berjalan menuju sofa kemudian duduk santai di tempat yang sebelumnya dibuat rebahan oleh Levin. “Kamu tidak berencana menginap di sini lagi kan? Sofaku tidak disewakan sebagai tempat tidurmu.” Levin berdecak, raut wajahnya yang semula tegang, kini mulai bisa mengikuti alur yang dimainkan Jennie. “Aku bersedia menyewanya jika kamu mengijinkan. Apa kamu membuka lowonga satpam di rumah ini? Aku bisa part time di sini ketika pulang kerja.” Jennie tertawa kecil, “Jangan serakah, kerjaanmu saja sudah sangat menguras waktu dan tenaga. Rumah ini tidak akan ke mana-mana, lagian tidak ada yang bersedia datang ke rumah yang katanya sudah terkena kutukan.” Gumam Jennie, ketika mengatakan tentang rumah kutukan, ia merasakan kehampaan hatinya lagi. Levin melihat perubahan ekspresi wajah Jennie, tampak betul bahwa wanita itu mulai tertekan dengan masa yang tidak menyenangkan di masa lalu lagi. “Hmm ... Aku selalu datang, asalkan kamu bersedia membukakan pintu. Jadi jangan berpikir seperti itu, selama kamu membukakan pintu rumah dan pintu hati, akan ada yang bersedia datang dan masuk ke sini.” Ujar Levin yang sedikit menyilipkan ungkapan hatinya secara terselubung. Jennie mengelak dengan berdecak, “Jangan mencoba menghiburku, aku tidak sedang merasa sedih.” Levin hanya tersenyum tipis dan berpikir untuk mengalihkan pembicaraan, “Besok apa agendamu? Aku mendapat jatah libur, aku akan menemanimu seharianmu, terserah apa yang mau kamu lakukan.” Jennie dengan cepat menggelengkan kepalanya, menolak tawaran itu dengan tegas. “Tidak perlu, besok aku sudah ada janji.” “Bersama pria yang menyewamu? Benar begitu?” Levin terpancing lagi untuk mengorek privasi Jennie, saking terbawa perasaan cemburu dan kesal karena harus membayangkan Jennie bersama pria lain lagi, ia pun tak bisa menahan diri untuk tidak melontarkan pertanyaan yang berpotensi mengusik perasaan Jennie. Keadaan kembali hening dan tegang, haruskah Jennie meladeni pertanyaan itu? ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD