Tawaran yang kembali dilontarkan oleh Nelson, membuat Jennie terpaku, ia masih bergeming dalam dilema. Meskipun pria itu membuktikan kesanggupannya mengatasi masalah Jennie yang serius, video yang mencoreng wajahnya di muka umum itu hilang berkat perintah Nelson, namun Jennie masih ragu dan cemas sampai kapan video itu menghilang dari peredaran.
“Tuan, aku sangat berterima kasih atas bantuan anda. Tetapi, aku masih khawatir kalau itu tidak permanen.” Ujar Jennie dengan terbuka, ia perlu tahu apa tanggapan pria di depannya.
Nelson menaikkan satu alisnya, menyodorkan tatapan lekat pada Jennie. “Kamu meragukanku?”
Jennie kikuk, sepertinya sudah menyinggung perasaan bos muda itu. “Bukan begitu tuan, hanya saja....”
“Hasilnya tergantung dari kesepakatanmu. Bisa permanen atau sementara, semua tergantung dari kamu.” Timpal Nelson memotong pembicaraan Jennie.
Dahi Jennie mengerut, hatinya tak bisa tenang mendengar jawaban seperti itu. “Kamu mengancamku?” Tuding Jennie blak-blakan tanpa menghiraukan kata-katanya.
Nelson tersenyum tipis, “Aku tidak suka menekan orang, apalagi yang bukan tandinganku. Kamu yang lebih dulu meragukanku, jadi kalau kamu ingin video itu hanya hilang sementara, aku pun bisa mengembalikannya kapanpun kamu mau.”
“Jangan!” Pekik Jennie spontan. Ia saja sangat bersyukur aibnya tertutupi, untuk apa lagi menginginkan itu muncul kembali.
Nelson merubah posisi duduknya, teriakan Jennie tadi membuat ia makin tertarik. “Kamu sudah melihat kemampuanku, untuk apalagi harus cemas? Aku bukan pria itu yang tidak bisa menjaga keselamatan wanita yang sudah menolongnya. Aku akan bertanggungjawab penuh atas keselamatanmu.”
Pandangan Jennie tertunduk, berpikir keras dengan tawaran pria itu. Rejeki di depan mata, haruskah Jennie menolaknya begitu saja? Padahal Jennie sendiri yang menginginkan pekerjaan ini. Pria itu bahkan mengenalinya dari iklan yang dipasangnya.
Tatapan Jennie kembali tertuju pada Nelson, ingin menyelami lebih jauh bila perlu menembus ke dasar hatinya. “Aku tidak bisa memutuskan harus mengambil tawaran ini atau tidak, sebelum aku mendengarkan apa tugasku. Anda mau menyewa jasaku untuk apa tuan?”
Senyum tipis Nelson mengembang, harus ia akui bahwa wanita itu patut mendapatkan pujiannya. Semula ia berpikir Jennie sama saja dengan wanita sewaan di luar sana, gampang luluh hanya dengan disodori uang yang ia bebaskan untuk menyebut berapa maharnya. Ternyata yang wanita itu perlu ketahui adalah alasan, sebuah alasan dari Nelson yang akan dipertimbangkannya untuk menerima job ini atau tidak.
Nelson melipat kedua tangan di depan d**a, menyoroti lekat pada Jennie, seolah menyiratkan bahwa ia bersungguh-sungguh dengan ucapannya. “Apa kamu juga bertanya hal yang sama pada mantan klienmu? Hmm... Aku tidak memperkirakan kamu perlu prosedur rumit seperti ini. Baiklah jika itu yang kamu mau.” Gumam Nelson. Ia meraih ponselnya kemudian mengutak-atik alat komunikasi itu.
Jennie diam saja memperhatikan apa yang Nelson lakukan. Ia tak perlu berucap apapun untuk menanggapinya, hanya perlu mendengarkan apa yang akan pria itu utarakan kepadanya.
Nelson menyodorkan ponselnya dengan mendorong benda itu di atas meja menuju sudut yang terjangkau oleh tangan Jennie. Tanpa perlu disuruh pun, Jennie langsung mengambil benda itu dan melihat apa yang hendak pria itu tunjukkan.
“Dia istriku. Aku perlu bantuanmu untuk menyingkirkan dia.” Ujar Nelson dengan lantang dan mantap.
Jennie belum berkomentar, sibuk mengamati dan menilai dalam hati. Wanita yang sedang ia tatap fotonya itu tampak begitu cantik, sempurna, berkelas, dan jika dinilai dari segi fisik sangat serasi dengan pria yang menyebut status wanita itu sebagai istrinya. Sepasang alis Jennie melengkung ke atas seiring matanya yang membulat besar. Berasumsi sendiri tentang alasan bos muda yang ingin bercerai dengan campur tangan orang ketiga.
“Aku perlu alasan yang lebih untuk mempertimbangkan tawaranmu. Kenapa kamu mau bantuanku untuk bercerai? Bukankah dengan kuasamu, semua mudah kamu dapatkan?” Tanya Jennie seraya menyodorkan kembali ponsel itu ke arah pemiliknya.
Nelson tersenyum tipis, jawaban cerdas yang Jennie lontarkan menjadi nilai plus bagi wanita itu. ‘Ternyata tidak hanya bermodal cantik, tapi punya otak juga.’ Gumam Nelson dalam hatinya.
“Apa aku terlihat kejam karena ingin meninggalkan wanita itu? Apa kamu selalu bersimpati kepada istri para pria yang menyewamu? Lalu kenapa kamu menerima tawaran mereka kalau ternyata hatimu tergugah di pihak wanita?” Nelson malah balik bertanya, menyoroti manik mata Jennie yang binarnya tampak indah, jernih dan bisa melenakan lawannya jika ditatap terlalu lama.
Jennie terpaku diam, bertanya pada dirinya sendiri. Biasanya ia tidak terlalu cerewet atau menggali informasi sedemikian detailnya pada calon kliennya. Jika memang pria itu sanggup membayarnya dan merasa perceraian adalah jalan terbaik agar tidak saling menyakiti, Jennie pasti bersedia menerima job itu.
“Aku tidak mengatakan akan berpihak pada siapa, yang aku perlukan hanya sedikit alasan kenapa kamu harus menceraikan dia. Aku hanya bisa membantu orang yang memang pantas ditolong, kalau keinginanmu bercerai hanya karena masalah egomu, kamu tidak puas dengan dia, maaf sebaiknya kamu cari wanita lain saja. Aku tidak bersedia membantu.” Tegas Jennie.
Nelson mengangkat satu alisnya, ternyata wanita itu rumit juga. Tak seperti dalam bayangannya yang bisa disumpal dengan uang lalu menurut bagaikan kerbau. Wanita di depannya ini punya prinsip yang sepertinya sulit untuk digoyah. Nelson harus memilih antara jujur demi mendapatkan bantuannya, atau bungkam dan terancam gagal bekerjasama dengan wanita ini.
“Alasannya cukup rumit, intinya dia bukan orang sembarangan dan pernikahan kami bukan berdasarkan cinta. Dia punya kepentingan dan mencari cara untuk mengendalikan aku. Jangan berpikir dia punya cinta untukku, yang dia tahu adalah ingin mengakuisisi semua milikku. Aku harus bercerai resmi dari dia, dan dia tidak bisa ditumbangkan dengan cara biasa. Itulah sebabnya aku perlu bantuanmu.” Jelas Nelson, mencoba sedikit terbuka walau tidak sepenuhnya.
Jennie mengerutkan dahinya, “Hmm terdengar rumit dan aku tidak yakin bisa memenuhi keinginan anda. Tidak jaminan juga aku bisa berhasil membuatmu mendapatkan status cerai, jika memang istrimu sulit untuk ditaklukkan. Tuan, aku bersimpati dengan masalah anda tapi sepertinya aku tidak sanggup menerima pekerjaan ini.” Ujar Jennie menyuarakan penolakan dan sedikit membungkukkan badannya sebagai bentuk permintaan maaf.
Nelson mencondongkan badannya ke depan, tatapannya begitu tajam dan bisa terlihat jelas dari air mukanya bahwa ia tidak suka mendengar penolakan.
“Oh, seorang Jennie yang terkenal selalu berhasil menangani masalah klien, yang menjanjikan seratus persen keberhasilan dalam iklannya, ternyata bisa menciut nyalinya sebelum mencoba. Bahkan kamu belum memulainya tapi sudah mengatakan tidak sanggup. Apa kamu tidak merasa perlu mempertanggungjawabkan janjimu di iklan? Ternyata aku sudah salah menilai kemampuan orang dan bertingkah berlebihan menyelamatkan orang yang ternyata tak lebih dari seorang pengecut.” Decak Nelson, sengaja mencibir Jennie.
Jennie meremas ujung blazernya, sindiran Nelson barusan berhasil memanaskan telinganya. Ia sanggup berkata hebat di iklan yang dipajangnya, tapi ketika berhadapan dengan pria ini, ia kehilangan taringnya. “Tidak semua tawaran harus diterima kan, aku juga punya hak untuk menolak ketika aku bisa menebak apakah aku bisa menangani masalah klienku atau tidak. Aku tidak ingin gagal, maka aku berhak selektif!” Ujar Jennie membeberkan pembelaan diri.
Nelson berdecak, senyum miringnya terlihat jelas tengah menyindir Jennie. “Kalau begitu, jangan lupakan kebaikanku menyelamatkan mukamu, aku perlu menagih budi baik dari jasa menghapus videomu. Nona Jennie, aku memintamu dengan paksa, atas dasar hutang budimu, kamu tidak boleh menolak permintaanku!” Kecam Nelson, kata-katanya sukses membuat Jennie ternganga.
***