JANGAN KELUAR!

1087 Words
“Mama... Jangan gituin papa. Mama... Papa mau masuk, biarin papa masuk ma.” Rengekan yang dibarengi isakan tangis anak perempuan delapan tahun itu terdengar pilu. Menyembah sujud sambil memeluk kedua kaki ibunya demi pengampunan kepada ayahnya. Wanita yang dipanggil mama itu menundukkan kepala, melihat ke arah anak perempuan yang menangis sejadi-jadinya itu dengan ekspresi dingin. Hatinya sama sekali tidak tersentuh dengan penderitaan anaknya sendiri. Sama sekali tidak tersentuh dengan tangisan yang mengiba agar kedua orangtua yang semestinya melindungi dan mengasihinya itu agar mau berkepala dingin. Di tangan wanita itu menggenggam pisau kecil, mulai gemetaran karena terprovokasi tangisan yang menurutnya sangat bising. “Diam! Atau ku hajar ayahmu!” Ancam wanita itu dengan tawa kerasnya yang menakutkan. Dan ketika tangannya mengarahkan pisau ke atas, teriakan anak perempuan yang menggigil ketakutan itupun terpekik. “Tidaaaaaaaak!” *** “Aaarrggghhh! Tidaaakk!” Jennie bangun dengan suara pekikan yang nyaring, nafasnya tidak beraturan bahkan mengembang kempiskan rongga dadanya dengan cepat. Beberapa detik pertama ia seperti orang linglung yang sulit mengenali waktu dan tempat ia berada saat ini. Mimpi buruk itu lagi-lagi menerornya. Jennie menjambak pelan rambutnya, ia bisa merasakan ujung kelopak matanya yang sembab, masih tergantung genangan tetes bening di bagian itu. Gadis itu mengusap kasar wajahnya, sekuat hati menetralkan debaran jantung yang cepat dan sisa rasa takut yang terbawa dari alam mimpi. Pandangannya lurus menatap langit-langit ruangan yang ia tempati, perlahan kesadarannya mulai mengingatkan di mana keberadaannya kini. Jennie tersenyum masam, tubuh kelewat rampingnya yang nyaris setipis papan itu masih terbaring mapan di atas sofa. Ia tidak tahu jam berapa sekarang dan sudah berapa lama ia tertidur, yang ia tahu rasa kantuk dan bibirnya masih terasa perih, apalagi saat dipakai untuk bicara. Jennie meraba sudut bibirnya, merasakan bagian yang terluka ini mulai mengering. Barulah ingatannya mulai jelas mengingat siapa pahlawan yang mengobatinya. Ia bergegas bangun dan mengedarkan pandangan ke sekeliling, berusaha mencari sosok pria itu. “Levin? Kamu masih di sini kan?” Teriak Jennie walau harus mengorbankan bibirnya terasa berkedut nyeri. Ia meringis kemudian menempelkan satu tangannya pada bagian yang bermasalah itu, hangatnya tangan yang tersalur ke bagian yang perih itu sedikit memberi efek nyaman. Setidaknya nyerinya mulai berkurang dan bisa membuat Jennie tak berfokus pada pusat itu. Sepasang mata lentiknya menyipit saat melihat selembar kertas putih tergeletak di atas meja. Jennie menjulurkan tangannya berusaha menggapai benda yang membuatnya penasaran itu. “Aku pulang dulu, udah ku masakin bubur. Nanti kalau mau makan jangan lupa dipanasin dulu. Obati lukamu dengan salep, dan jangan cari gara-gara lagi hari ini kalau tidak mau lebamnya berbekas!” Jennie berdecak setelah membaca tulisan tangan Levin, tak habis pikir dengan niat pria muda itu yang kelewat rajin. Dia bisa saja pergi tanpa repot menyiapkan makanan, toh Jennie tidak akan mati kelaparan hanya karena makan sehari sekali. Pandangannya teralihkan pada salep yang dimaksud Levin dalam pesannya. Andai tidak kesulitan memfungsikan mulutnya, sudah pasti Jennie melontarkan kata-kata seakan bicara sendiri. Sebuah kebiasaan yang kadang ia lakukan tanpa sadar, saking sepinya hari yang ia lalui tanpa bisa leluasa berinteraksi dengan orang lain. Ia terlalu introvert dan menganggap rumah besar yang ditempatinya ini adalah tempat isolasi yang pas bagi orang sepertinya. Jennie beranjak dari sofa setelah menyingkirkan selimut yang menghalanginya. Levin tak hanya menunjukkan perhatian dengan mencemaskan perutnya tapi juga memikirkan tubuhnya yang terancam kedinginan tidur di sofa sampai hari berganti. Ia berjalan pelan menuju dapur, perutnya memang sudah keroncongan dan harus ia akui bubur buatan Levin adalah pertolongan pertamanya kali ini. Tanpa bersabar harus memanaskan lagi, Jennie langsung melahap bubur itu dari panci dengan menggunakan sendok sup. “Ng... Enak.” Puji Jennie lalu kembali bersemangat melahap bubur yang berisi potongan wortel dan suwiran ayam itu. Antara kelaparan atau memang enak, Jennie tidak bisa membedakannya lagi. Yang ia tahu harus segera memakan sesuatu sebelum perutnya konser. Ponselnya berdering nyaring hingga ia menengadahkan kepalanya, mencari sumber bunyi yang ia yakini berasal dari ruang tamu. Dengan modal satu suapan bubur ke dalam mulutnya, Jennie berlari untuk menyelamatkan panggilan masuk itu sebelum terputus sia-sia. Tas yang dipakainya tadi malam menjadi sasaran utama, ia yakin ponselnya belum dari sana sejak pemakaian terakhir. Ia bernafas lega saat jemarinya dengan lincah menekan layar yang bergambar telpon hijau , panggilan itupun terhubungkan. “Ini lagi makan bubur.” Ujar Jennie yang melewatkan sapaan basa-basi, ia sudah hapal apa yang akan ditanyakan Levin. “Ha ha ha... Kok tahu aku mau tanya itu sih?” Celetuk Levin dari seberang. Jennie kembali menempelkan tubuhnya di atas sofa, menyandarkan punggungnya pada busa empuk itu. “Ya tahu lah, udah basi kali. Btw thanks ya nggak gosong dan nggak keasinan buburnya.” Ujar Jennie sambil memilin rambut panjangnya yang belum bertemu sisir. “Tapi pasti kamu nggak panasin sebelum makan kan?” Glek! Jennie menelan salivanya, ia menatap ke sekeliling seolah mencari spot yang memungkinkan untuk menyembunyikan CCTV. Kenapa pria itu kebetulan sekali menghubunginya di saat ia melakukan dosa kecil? Kenapa pas saat ia tengah lahap memakannya? “Nggak dijawab berarti iya kan?” Celetuk Levin lagi, menghakimi sepihak. Jennie berdehem canggung dan memperbaiki posisi tubuh agar lebih tegak, seakan benar-benar disoroti kamera pengintai yang mengharuskan ia bersikap jaim. “Ehem, ya kan nggak racun juga makan bubur dingin. Menghemat waktu makan, nggak perlu ditiup lagi.” Kilah Jennie mencari pembenaran. “Bilang aja kamu malas. Awas aja perutmu kembung.” Jennie diam, mencoba berkonsentrasi pada perutnya dan yakin di dalam sana semua organnya baik-baik saja. “Iya deh ntar aku panasi, bawel.” “Jen, nanti jangan keluar ya!” Ekspresi wajah Jennie berubah total dari santai menjad serius. Tidak biasanya Levin mengurusi hal remeh seperti itu, membuat Jennie berpikiran aneh. “Kenapa?” “Pokoknya jangan, kalau nggak mendesak mending di rumah aja. Tapi kalau kamu tetap nekad, jangan lupa pakai kacamata hitam dan masker.” Perintah pria di seberang sana. “Ya tapi kenapa? Alasannya apa? Emang aku buronan sampe harus nyamar segala?” Gerutu Jennie yang mulai tersulut ketidak sabaran. Helaan nafas kasar malah terdengar di seberang sana, Levin sungguh enggan memberikan pernyataan sedetail mungkin pada Jennie. “Pokoknya nurut aja, aku mau lanjut kerja lagi. Kalau kamu perlu apa, chat aja ntar aku bawain. Udah ya, bye.” Sampai panggilan itu berakhir, Jennie masih menempelkan benda pipih itu di daun telinganya. Semakin dilarang tanpa alasan semakin memancing rasa ingin tahunya. Gadis yang usianya sudah kepala dua itu segera bangkit dari duduknya dan berlari menuju lantai dua. Lebih baik bergegas merapikan diri dan keluar, ia tidak mau mati penasaran di dalam rumah jika di luar sana entah apa yang tengah terlarang untuknya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD