Pagi yang cerah disambut Arunika dengan wajah tertekuk. Matanya masih terlihat sembab. Ia masih tidak menyangka dengan ucapan Bisma yang ingin menikahi Alamanda di depan wajahnya sendiri. Baginya, Bisma adalah sosok laki-laki yang pengertian dan sangat menyayanginya. Mana mungkin, smeudah itu membuatnya sakit hati.
Pak Eko—Ayah Arunika—menyenggol tangan Bu Hani yang ada disebelahnya begitu Arunika datang ke ruang makan.
“Habis nangis kayaknya, Bu?” tanya Pak Eko.
Bu Hani mengangkat wajah. Tangan masih menyendok nasi. Beliau pun menyipitkan mata.
“Kenapa mata bengkak gitu?” tanya Bu Hani mulai menginterogasi putri keduanya.
“Habis nonton drama Korea.” Arunika menjawab asal. Ia lalu menyeret kursi untuk bersiap menyantap makan pagi.
Kebiasaan positif di rumah Pak Eko adalah rutinitas sarapan yang sudah siap jam enam pagi. Meskipun hanya nasi dan telor dadar, terpenting anggota keluarga tidak terlewatkan makan pagi. Arunika berangkat pukul enam lebih seperempat, Arjuna pukul setengah tujuh. Sedangkan Pak Eko yang membuka took perlatan listrik di pasar, berangkat pukul tujuh.
“Nggak malu nanti dilihatin anak-anak SD mata bengkak gitu?” tanya Pak Eko.
Arunika mengeluarkan kacamata dengan lensa photocromic atau anti radiasi yang bias berubah warna menjadi gelap saat terkena sinar matahari.
“Ada ini.” Arunika berucap datar. Ia kemudian menikmati sarapannya. “Arjuna mana, Bu?”
“Masih di kamarnya, baru selesai mandi.” Bu Hani mengarahkan dagu ke kamar yang terletak di sis kanan ruang makan.
“Juna! Cepatan, Dek!” Arunika memekik keras. Hal itu membuat Pak Eko dan Bu Hani tersentak.
“Nggak usah teriak gitu, Run.” Pak Eko mengingatkan putrinya.
“Lagi pingin teriak, Pak.” Arunika beranjak dari duduknya. “Juna cepetan, woi! Aku bias telat!”
Pak Eko menggelengkan kepala mendapati tingkah Arunika. “Kenapa anakmu, Bu? Cewek kok, teriak-teriak.”
“Anakmu juga, Pak.”
***
Arunika tiba di sekolah saat murid-murid sudah berdatangan. Ia turun dari motor yang dikendarai Arjuna.
“Jadi telat, kan?” Arunika berdecak kesal. Ia lalu menyerahkan helm pada adik bungsunya itu.
“Muridnya aja baru datang, Mbak.” Arjuna tidak mau disalahkan.
“Aku karyawan, bukan murid!” Arunika mendelik ke arah Arjuna, sehingga membuat sang adik tersentak. Ia segera berjalan cepat memasuki halaman sekolah.
“Haduh, kumat.” Arjuna menggaruk kepala yang tidak gatal. Ia segera menjalankan motor menuju kampus yang letaknya berlawanan arah dari tempat kerja kakaknya itu.
Arunika berjalan melewati jajaran guru dan kepala sekolah. Ia tersneyum canggung sambil sedikit membungkukkan badan. Beruntung, hari ini bukan jadwal piketnya. Ia tidak harus menyambut para dewan guru yang mempunyai tugas berjaga di depan lorong masuk sekolah.
“Bu Arunika.”
Panggilan yang menyebutkan namanya membuat langkah Arunika terhenti. Ia lalu menoleh ke belakang. Tampak Arzan yang menjabat sebagai wakil kepala sekolah berjalan menghampirinya.
“Iya, Pak? Ada apa?”
“Tolong siapkan berkas pelamar calon guru baru ke meja kerja saya.”
“Baik, Pak.”
Arunika segera berlalu menuju ruang TU. “Bu Elisa, maaf, ya. Saya terlambat.”
Elisa yang sduah bekerja di depan computer memalingkan wajah. Ia lalu mendongak ke arah Arunika. “Sakit mata?”
Arunika tersenyum canggung. Ia lalu menggelengkan kepala pelan. “Habis nangis semalam.”
Elisa tertawa kecil. “PAsti habis ngedrakor lagi, nih.”
Arunika manggut-manggut sambil terkekeh. Ia tidak ingin berbohong. Namun, jika sekitarnya menyangka mata sembab karena drama yang ditontonnya, itu lebih baik lagi.
“Pagi-pagi kamu dicari Pak Arzan. Nah, loh, bakal disidang.” Elisa mengabarai Arunika yang baru duduk di kursinya.
“Hah? Kenapa, Mbak?” tanya Arunika cemas. Ia paling segan dengan wakil kepala sekolah bagian kurikulum tersebut. Sosok laki-laki itu terlihat dingin sejak perkenalan pertama. Berbeda dengan Pak Fauzan—Kepala Sekolah—yang lebih ramah dan suka bercanda dengan bawahannya.
“Itu, minta berkas pelamar. Eh, udah kamu hubungi mereka?”
“Oh.” Arunika menghela napas lega. “Udah semua, Mbak.”
Arunika mengecek ponsel. Tidak ada pesan dari Bisma. Ia juga tidak ingin menghubungi terlebih dahulu. Permasalahan kali ini bukan disebabkan olehnya. Bagi Arunika, Bisma wajib mengabarinya terlebih dahulu. Ia menghela napas panjang, lalu berdecak lirih.
***
Arunika bergegas memakai sepati. Jam sudah menunjukkan pukul enam pagi. Ia harus tiba di sekolah lebih awal untuk menyiapkan berkas wawancara calon guru baru. Ia tidak sempat sarapan. Bu Hani sudah menyiapkan bekal untuk putrinya tersebut.
“Ingat, Run. Jangan ketinggalan lagi Tupperware Mama.” Bu Hani memperingatkan sang anak. Beliau sudah pernah kehilangan satu botol minum merk yang menjadi idola para ibu-ibu itu.
“Mama emang lebih saying Tupperware daripada anaknya sendiri.” Arunika bergumam lirih. Namun, ucapannya itu didengar oleh sang ibu.
“Heh! Ngomong apa?”
Arunika menggelengkan kepalnya. Ia segera menyambar tas bekal yang sudah disiapkan di atas meja makan. Setelah itu, ia pun berpamitan kepada Bu Hani dan Pak Eko.
Arunika mengendarai motornya sendiri. Ia sudah tidak meninggalkan kendaraan roda dua kesayangannya di sekolah.
Sepenjang perjalanan, beberapa kali Arunika kepikiran akan ucapan Bisma. Laki-laki itu belum mengabarinya kembali. Padahal, gadis itu sudah mencoba mengirim pesan.
“Pagi, Bu Arun. Piket, ya?” sapa Pak Joko—satpam SD.
“Pagi juga, Bapak. Enggak, mau nyiapin buat interview.”
Arunika segera memarkir kendaraan di tempat parker guru dan karyawan. Benar saja, baru dirinya sendiri yang datang. Karyawan TU itu pun membuka kantor.
Arunika segera menyalakan computer. Selanjutnya, ia mencetak berkas untuk penilaian calon guru baru. Saat merapikan berkas lamaran, Arunika kembali membaca biodata atas nama Haldis.
“Semoga aja bukan si kerempeng nyebelin itu.” Arunika kembali mengingat teman masa sekolahnya yang kerap mengejek postur tubuhnya saat itu.
“Wajahnya kayak mirip. Nama? Persis banget. Tapi gantengan ini.” Arunika terkikik pelan.
“Hayo … apa yang ganteng, nih?” Suara Elisa muncul dari belakang. Hal tersebut membuat Arunika tersentak kaget.
“Bu El … ngagetin aja,” rengek Arunika dengan gaya centilnya.
***
Wawancara akan dilakukan pukul sembilan pagi. Tepatnya tiga puluh menit lagi. Arunika sudah siap di meja depan ruang rapat. Ia bertugas menyambut calon guru baru untuk melakukan presensi. Akan ada tiga guru yang terpilih. Guru olah raga, bahasa arab, dan guru kelas.
“Assalammualaikum.”
Sapaan dari depan meja membuat Arunika mendongakkan kepala. Ia mengehntikan aktivitasnya yang sedang berselanjar di media social. Gadis itu segera memasukkan ponsel ke saku rok hitamnya.
“Waalaikum … salam.” Suara Arunika yanga walnya bersemangat, mendadadk melemah mendapati sosok laki-laki di hadapannya.
“Hei, kamu Arunika si gendut itu, kan?” tanya Haldis saat mendapati wajah Arunika.
Arunika mendesah kesal. Pertemuan kembali dengan mantan perundungnya sudah sangat menyebalkan.
“Silakan diisi presensinya, Kak.” Arunika tidak menanggapi pertanyaan Haldis. Ia bersikap cuek.
“Oke. Terima kasih.” Haldis segera membubuhkan tanda tangan di atas kertas putih tersebut. “Omong-omong, lemakmu hilang ke mana?”
Arunika membeliak mendengar ucapan Haldis. Ia berucap dengan nada tertahan, “Aku coret namamu di sini biar nggak ikut interview!”
Haldis mengangkat kedua tangannya. Ia lalu tersenyum manis seraya duduk di kursi yang ada di depan ruang rapat.
“Jangan sampai keterima di sini,” gumam Arunika.
Arunika menatap kesal ke arah Haldis. Paginya sudah dibuat berantakan. Tangannya lalu meraih pinsel di saku karena mendapati notifikasi pesan lewat getaran. Matanya terbuka lebar saat mendapati pesan dari Bisma.