Semua ini bemula dari titik terang yang didapatkan oleh Runa. Saat Zen dan Runa sekali lagi membaca dan membahas mengenai para korban dari berkas yang telah diberikan oleh kepala sekolah.
Semua siswa tersebut rata-rata terlihat aneh usai sepulang sekolah. Begitulah pengakuan orangtua dari para siswa tersebut. Hal tersebut terdengar ganjil. Jika memang demikian berarti memang ada sesuatu yang aneh di sekolah.
"Kita harus kembali ke sekolah," pekik Runa yang kini merasa semakin yakin, "Pasti ada sesuatu yang telah kita lewatkan." Mengingat sebelumnya mereka tidak bisa memeriksa keadaan di dalam kelas karena masih adanya jam pelajaran yang berlangsung, dan hanya mewawancarai siswa saat jam istirahat.
Mereka akhirnya kembali ke sekolah. Kali ini jam belajar mengajar telah usai. Sekolah menjadi sangat sepi. Waktu semakin larut dan matahari kian meredup.
Sekolah yang sepi membuat suasana semakin mencekam. Runa dan Zen memutuskan untuk berkeliling sekali lagi. Kali ini ia juga memutuskan untuk masuk ke dalam kelas-kelas yang sebelumnya tidak bisa mereka lakukan sebab masih jam pelajaran sekolah.
"Kita berpencar di setiap kelas, kalau ada apa-apa teriak ya!" perintah Runa menunjuk kelas sebelah yang saat ini juga kosong melompong.
Kelas demi kelas mereka selidiki. Mulai dari laci di meja-meja belajar hingga lemari dan loker siswa. Mereka menggali semua yang sekiranya mencurigakan dan memicu emosi seorang anak bergejolak.
Hingga Runa menemukan sebuah cermin lipat di sebuah laci meja. Tertulis nama Linda di atas cermin tersebut.
"Cermin," ucap Runa.
"Runa, kenapa tidak kepikiran sih!" Runa pun berlari keluar dari ruangan kelas tersebut. Ia berteriak memanggil Zen.
"Zeno.. Zen.. aku tahu apa masalahnya," teriak Runa. Namun Zen tidak ada di ruang kelas lain yang diperintahkkan untuk memeriksanya.
"Kemana dia?"
"Tidak.. jangan bilang dia ada di sana!"
"Semoga Zen tidak benar-benar sedang di toilet." Runa langsung berlari ke arah toilet dengan segera.
Sesuai dengan apa yang menjadi dugaan Runa. Zen tengah berada di kamar mandi. Ia menatap dalam kedua matanya.
"Ah, mata ini.. berkat mata ini, aku menjadi anggota Aliansi paraNORMAL. Baru kali ini aku menyukai mata ini," Zen menyentuh kedua matanya. Ia pun semakin dalam menatap matanya yang terpantul di cermin.
"Aku benar-benar suka mata ini," senyuman lebar Zen ikut terlihat dari cermin tersebut.
Bak tenggelam dalam pujian, Zen pun mulai menyukai seluruh pesona yang ada di matanya. Kini ia benar-benar seperti melihat mata seseorang bukan lagi bayangan mata yang terlihat di layar cermin.
"Zen.. Zeno.. Zen.. Zen.." suara panggilan Runa pun terdengar samar olehnya. Ia melihat Runa sedang berdiri di belakangnya.
"Kenapa? Kenapa Runa panik seperti itu?" gumam Zen yang merasa aneh dengan tingkah Runa.
Tiba-tiba saja, tarikan kuat dari Runa membuatnya seolah ikut keluar dari cermin tersebut dan menabrak tubuhnya.
"Eh, kok.. Aku kok keluar dari sini?" Zen bingung ia yang kini sudah terpojok oleh Runa semakin bingung.
Ia keluar dari dalam cermin dan menabrak tubuhnya begitu Runa menarik tubuhnya, "Bagaimana bisa?"
"Lihat itu... Bisa bahaya jika tadi kamu ikut terseret ke dalam sana!" Runa menunjuk ke arah cermin di dekat mereka.
Mata Zen terpaku, tenggorokannya terasa tercekat. Ia kembali mengusap matanya namun apa yang di lihatnya masih membuatnya tercengang.
Bruuuuk
Zen pingsan, ia terjatuh ke lantai kamar mandi yang dingin.
"Zen, bangun.. Zen.." Runa menghampiri Zen yang terbaring telungkup di lantai.
Runa menggoyangkan tubuh Zen yang terbaring di lantai tersebut. Runa pun mengernyitkan dahinya. "Zen, bangun.."
"Zen ..."
"Tiga.. dua.. sa ...." Runa yang menghitung mundur tersebut terhenti begitu Zen tersenyum lebar dan langsung bangkit dari lantai tersebut.
"He.. he.. he.." kekeh Zen dengan senyumannya yang semakin lebar.
"Runaaaaa" rengek Zen yang kini justru bersembunyi di balik tubuh Runa.
Runa menghembuskan nafasnya. "Baiklah, mari kita mulai!"
"Zen, kali ini, tunggu dan perhatikan semuanya baik-baik!" Runu menatap lurus ke depan. Ia mengeluarkan pisau kecil yang selalu di bawanya dari balik jaketnya.
"T-tapi Run .... " Runa masuk ke dalam cermin tersebut dan Zen hanya bisa melihatnya dari balik cermin.
Senyum merekah terlihat dari wajah Runa. Ia pisau di tangannya kini semakin banyak dan melayang mengelilingi Runa.
Pisau tersebut melayang dan menyayat tubuh makhluk tersebut. Tanpa memakan waktu yang lama. Runa berhasil membasmi makhluk tersebut. Makhluk itu pun hilang bagai debu yang lenyap begitu saja.
Cermin tersebut bergetar. Zen panik sebab Runa masih ada di dalam sana. Ia berkali-kali memanggil nama Runa. Akan tetapi, Runa tidak bergeming dan terus menatap jauh di dalam cermin tersebut.
Bak sebuah lorong yang memanggilnya. Runa hanya diam. Getaran cermin tersebut semakin kuat.
Craack.. Creeeck.. Craack..
Perlahan cermin pun mulai retak di beberapa sisinya. Sedangkan Runa masih saja diam tak bergeming. Meski Zen terus berteriak memanggil namanya.
"Runa... Runa... Run.. sadarlah!" Zen yang terus berteriak seraya menahan cermin yang mulai retak.
Creeetek.. Clang.. Clang..
Tampa bisa di tahan lagi oleh Zen. Cermin tersebut kini pecah dan hancur lebur. Zen tercekat pun menundukkan kepalanya, "Runa" ucapnya lirih setengah berbisik.
"Kenapa?" tanya Runa santai.
Mendengar suara yang tak asing itu. Zen yakin jika itu adalah suara Runa. Ia pun mengangkat kepalanya dan menatap Runa yang sedang bersandar santai di westafel kamar mandi tersebut.
"Runaaaaa!" jerit Zen sambil menatap Runa dengan mata yang berkaca-kaca.
"Apa sih?" Runa risih dengan dengan Zen yang kini menempel padanya mendorong jauh tubuh Zen.
"Tadi itu ..."
"Itu hantu cermin" jawab Runa sebelum Zen menyelesaikan ucapannya.
"Hantu cermin ... yang tadi itu benar-benar hantu cermin? Bukan siluman? Tapi hantu?"
"Iya Zen. Itu hantu cermin." Runa menegaskan.
Jika ada sosok hantu yang paling menyeramkan yang pernah ia lihat, mungkin Zen akan mengatakan jika hantu cermin adalah hantu yang paling menyeramkan untuknya.
Bukan karena wujudnya yang membuat orang bergidik ngeri, atau suaranya yang berbisik dan menghasut lembut. Bukan pula karena tatapan matanya yang seakan-akan siap menenggelamkan siapapun yang menatapnya. Tapi karena sosok tersebut sangat mirip dengan dirimu sendiri. Wujud, suara, serta gestur tubuhnya. Sosok yang seakan-akan adalah dirimu yang sesungguhnya tanpa sedikitpun kepalsuan.
Bayangkan jika kamu di hadapkan pada dirimu sendiri. Itulah yang dirasakan oleh Zen saat menghadapi hantu cermin tersebut. Rasanya seluruh isi hatinya yang ia bendung terungkap begitu saja. Segala emosi dihatinya terpancar tanpa kepalsuan dari sosok tersebut. Sosok dimana ia memperlihatkan dirimu yang sesungguhnya. Sungguh mengerikan jika benar-benar berhadapan dengan dirimu sendiri.
"Apa kamu sudah memperhatikan dengan baik saat aku bertarung dengannya?" tanya Runa lagi.
"Ehmm... emm.. itu ..." Zen tampak gugup menjawabnya.
Sementara Runa menghadapi sosok yang indentik dengan dirinya tersebut dengan santai. Ia membasmi makhluk tersebut tanpa sedikitpun emosi yang terlihat di wajahnya. "Bak membunuh dirimu sendiri," begitulah rasanya jika ia dihadapkan dengan makhluk tersebut. Tapi Runa bisa dengan santai menyayat sosok tersebut.
"Huft.. sudah aku duga!" Runa menghela nafas panjangnya.
"Yuk.. kita harus cari Linda. Kali ini kamu yang harus menghadapi hantu cermin tersebut," ucap Runa santai sambil menarik lengan kemeja Zen.
"Eh, loh.. kok ..." Zen bingung ia mencoba menahan langkahnya di tengah kebingungan.
"Kenapa? Takut? Bukannya yang kamu takuti itu siluman seperti waktu itu?"
"Sudah, tenanglah. Itu hanya hantu cermin biasa!"
"Kamu bilang itu hantu biasa?" langkah Zen berhasil terhenti tepat di depan pintu kamar mandi.
"Ya tuhan. Berhenti bersikap manja Zen. Kamu sekarang adalah paraNORMAL. Kamu tidak usah khawatir. Tugas kita sebagai paraNORMAL mengembalikan mereka ke alamnya dan berhenti bermain-main di dunia manusia. Kita tidak benar-benar membunuh mereka kok! Ingat Zen, kita hanya membuat mereka tidak mengganggu di dunia manusia. Kita memulangkan mereka ke asalnya. Mengerti!"
Melihat anggukan dari Zen. Runa merasa kini ia sudah berhasil meyakinkan Zen. Runa langsung membawanya ke dalam kamar mandi wanita.
"Nah, sekarang giliran kamu. Biar aku lihat bagaimana cara mu menghadapi hantu cermin itu. Tanyakan juga dimana Linda saat ini" Runa tersenyum lebar.
"Tapi, kan tadi kamu sudah membasmi hantunya Run" Zen masih ragu-ragu. Ia terlalu takut tadi dan benar-benar tidak bisa memperhatikan bagaimana Runa membasmi hantu tersebut.
Mata Runa pun mendelik tajam. Tanda jika tidak ada lagi bantahan yang bisa Zen berikan sebagai alasan. Zen menarik nafasnya dengan dalam.
"Mereka itu biasanya berkelompok. Kamu tidak usah takut. Jika sesuatu terjadi aku akan menolong mu lagi!" Runa mendorong tubuh Zen dan kini ia masuk di dalam kamar mandi wanita. Jelas disana juga ada cermin yang besar.
Zen menatap cermin tersebut kali ini hantu tersebut sudah muncul tanpa diam-diam menghasut lagi. Hantu yang jelas-jelas sangat mirip dengan Zen. Seluruhnya benar-benar identik. Zen melirik sedikit ke arah Runa dan Runa hanya mengangguk. Namun, Zen juga sedikit terkejut. Runa tidak memiliki bayangannya di cermin tersebut. Zen menunjuk ke arah cermin seraya terus menatap Runa.
"Itu karena disana hanya ada satu hantu Zen. Bukannya tadi kamu juga menungguku di luar cermin tanpa melihat bayangan tubuhmu" jelas Runa yang mendapati Zen tengah kebingungan.
"Cepatlah, masuk ke dalam dan tanya dimana Linda." Runa memberikan perintah.
Dengan perlahan Zen menyentuh cermin di hadapannya dan seketika ia pun masuk ke dalam dunia cermin tersebut.
Sosok yang ada di hadapannya membuatnya bergidik ngeri, "Inilah alasanku pura-pura pingsan tadi!" gumam Zen yang melihat senyuman menyeringai dari makhluk di hadapannya.
Ia bisa melihat seluruh emosi yang sebelumnya di pendam. Kini Zen paham salah satu sisi yang membuatnya merasa benar-benar seorang manusia. Mengontrol emosi ternyata benar-benar mencerminkan manusia.
Meski kita tidak suka kita akan tetap tersenyum sebagai basa-basi, atau memuji bahkan jika kita tidak terlalu menyukainya. Apa jadinya jika sisi kemanusiaan itu tidak ada. Kita akan menanamkan rasa benci dimana-mana. Ketika kita tidak suka makanan kita di rebut, ketika kita tidak bisa membuka tutup botol, bahkan jika kita terlalu menyukai seseorang. Tanpa kontrol emosi. Kita benar-benar hanya akan menjadi gila dan penuh obsesi.
"D-di mana Linda?" tanya Zen tanpa basa-basi pada makhluk di hadapannya.
Bagaimana pun Zen tak berani menatap mata makhluk tersebut. "Ayo katakan. Di mana Linda?" teriak Zen lagi dengan mencurahkan segala keberaniannya.
"Hahahaha...." makhluk itu tertawa lebar. Ari liurnya menetes kemana-mana. Suara tawanya yang juga mirip dengan tawa Zen membuatnya semakin bergidik ngeri.
"Kamu tidak akan bisa menemukannya" ucap makhluk tersebut yang kini senyumannya semakin lebar.
"Katakan dimana Linda. Kamu tidak tahu siapa aku. Aku paraNORMAL," teriak Zen sambil menyodorkan simbol di tangannya.
Tawa makhluk tersebut semakin besar. Suaranya kian menggelar hingga mulutnya pun sobek akibat tertawa.
Zen sudah mulai ketakutan. Ia mundur selangkah dan mendekati Runa. Namun Runa hanya diam tanpa mengatakan apapun dan tak terlihat akan membantunya.
"Dia akan membiarkan aku sampai aku sekarat?" ketus Zen yang melihat Runa masih santai menatap mereka berdua.
"Dia punya senjata itu. Aku tidak di berikan senjata apapun. Tidak di ajarkan teknik apapun. Lalu tiba-tiba di suruh membasmi hantu cermin yang mengerikan itu begitu saja." Zen pun menggerutu di dalam hatinya.
Ia memutar otaknya dan akhirnya satu-satunya yang bisa ia lakukan adalah berkomunikasi dengan hantu.
"Katakan saja padaku dimana Linda. Ini peringatan terakhir ku. Jika tidak, paraNORMAL yang ada di sana akan membunuh mu."
Melihat reaksi dari makhluk tersebut yang kini diam dan mendekatkan wajahnya pada Zen. Jelas jika makhluk tersebut mulai tertarik akan apa yang di katakan oleh Zen. "Kena kamu, ini kesempatan ku," benak Zen yang merasa rencananya akan berhasil.
"Jika kamu mengatakan di mana Linda. Aku akan membiarkanmu pergi dari sini," ucap Zen seraya melirik ke arah Runa.
Makhluk tersebut terlihat bingung. Jelas jika ia sedang mempertimbangkan tawaran Zen. Zen mengambil celah tersebut dengan baik. Ia mengangkat tangannya seolah akan memanggil Runa. "Ru ..." ucapnya yang masih terpotong.
Seketika makhluk tersebut menutup mulut Zen. "Linda ada padaku. Dia di dalam sana," makhluk itu menunjuk ke suatu arah. Zen pun mengangguk mengartikan jika ia paham maksud makhluk tersebut.
Negosiasi Zen pun berhasil. Zen bergegas ke arah tempat yang di tunjuk oleh makhluk tersebut dan mendapati tubuh Linda yang sudah terkulai lemas dan mengecek tubuhnya.
"Syukurlah, Linda masih hidup," begitu Zen mendapati detak nadi di leher Linda.
"Sudah, kan! Kamu tidak akan membunuhku sesuai dengan janji mu?" makhluk itu menatap tajam Zen yang di sambut anggukan Zen. makhluk itu pun meleburkan dirinya begitu saja bak debu yang tertiup angin.
Penuh rasa bangga, seraya menggendong Linda. Zen pun mendekati Runa. Ia dengan bangga menunjukkan Linda yang ada di gendongannya pada Runa.
"Aku berhasil, kan!" Zen tersenyum penuh kebanggaan.
Runa terpaku dan diam seribu bahasa. Ia tahu jika hantu cermin bukanlah hantu yang kuat. Ia bisa membasminya dengan mudah hanya dengan beberapa sayatan. Tapi, apa yang Zen lakukan benar-benar di luar batas seorang paraNORMAL.
Zen menyingkirkan makhluk itu tanpa pertempuran. Makhluk itu sukarela melebur dan kembali ke alamnya.
"K-kerja bagus Zen" puji Runa dengan suara terbata-bata.
Segera Runa dan Zen keluar dari cermin tersebut dan cermin itu pecah berkeping-keping selayaknya cermin di kamar mandi pria.
"Kita berhasil Run.." ucap Zen penuh rasa bangga.
"Iya kita berhasil!"
"Hmmm ... lihatlah Zen..." Runa menunjuk ke arah cermin.
Betapa terkejutnya Zen, cermin yang sudah hancur lebur itu. Entah sejak kapan utuh kembali. Bak tidak terjadi apapun. Cermin itu juga kini memantulkan bayangan mereka dengan normal.
"Bagaimana bisa?" ucap Zen spontan.
"Itu karena kita adalah paraNORMAL. Membuat dunia yang diganggu makhluk gaib kembali normal. Itulah tugas kita Zen."
Mata Zen mendelik. Kini ia paham apa yang terjadi sebelumnya setelah siluman di pabrik itu musnah. Saat keadaan kembali normal dan tampak seperti tidak pernah terjadi pertempuran hebat. Begitulah makna paraNORMAL.
Berbeda dari apa yang ia ketahui dari pandangan masyarakat dan juga kamus bahasa yang beredar. Dimana paraNORMAL diartikan sebagai suatu yang tidak dapat dijelaskan, atau istilah yang digunakan pada orang yang mempunyai kemampuan dalam memahami, mengetahui dan mempercayai hal-hal yang tidak dapat dijelaskan secara ilmiah.
paraNORMAL hanyalah sekumpulan orang-orang yang berusaha mengembalikan keadaan menjadi normal dengan kemampuan khusus mereka. Runa mengatakan jika itu terjadi begitu saja setiap manusia paraNORMAL membasmi makhluk gaib yang mengganggu.
Misi mereka pun ditutup, dengan rasa bangga yang menyelimuti Zen tentunya. Ia mendapatkan gaji pertamanya sebagai seorang paraNORMAL sejati.
Waktu kini semakin larut, malam itu Zen yang di ajak ke asrama paraNORMAL pun semakin berdebar-debar. Mobil barunya pun melaju dengan gagah.
"Bekerja sebagai paraNORMAL, mendapatkan gaji pertama, mobil yang cukup mewah, sekarang asrama," gumam Zen yang sungguh sudah tidak sabar melihat tempat tinggal barunya.