Misi pertama Zen sebagai paraNORMAL pun akhirnya dimulai. Namun, Zen tidak pernah mengira jika situasinya akan menjadi seperti saat ini.
"Zen! Kan sudah aku bilang. Bagaimana jika aku tidak ke sini, tadi?" gerutu Runa yang kini menarik paksa Zen dan membuatnya terpojok di dinding kamar mandi.
"Runa, i-ini kan di toilet pria?" ujar Zen resah terbata-bata.
"Jangankan toilet pria. Ke alam baka pun akan aku kejar, jika memang itu yang dibutuhkan," tegas Runa tanpa sedikitpun terdengar rasa gentar dari ucapannya.
"Jangan jauh-jauh dari aku. Kan, sudah berapa kali aku bilang, kita harus selalu bersama Zen," imbuh Runa lagi dengan tatapan yang penuh tekad.
"T-tapi ..." Zen memandang lekat Runa yang kini tepat berada di hadapannya, "I-ini sih, terlalu dekat!" gumamnya dalam hati.
Semua ini bermula saat Zen dan Runa mengambil misi pertama mereka. Klien pertama mereka adalah seorang kepala sekolah yang secara diam-diam meminta Aliansi paraNORMAL untuk menangani kasus siswa yang hilang dari sekolahnya.
"Ingat jangan bicara apapun mengenai Aliansi paraNORMAL saat kita menangani kasus nanti. Kali ini, perhatikan saja aku. Jangan sekalipun mengungkit paraNORMAL. Mengerti!" peringatan keras di lontarkan oleh Runa pada Zen. Tepat saat mereka akan menemui kepala sekolah yang menjadi klien mereka.
"Saya sudah dengar dari tuan Guntur jika akan ada yang datang membantu kasus di sekolah kami," sambut kepala sekolah begitu Zen dan Runa tiba di ruang kepala sekolah tersebut.
"Bapak kenal tuan Guntur kami?" tanya Zen dengan wajahnya yang berseri-seri. Runa langsung menyenggol lengan Zen dan mendelik tajam. Tanda jika ia harus menutup mulutnya saat itu juga.
"Ha-ha-ha.. iya saya dan tuan Guntur adalah kenalan lama saya," tawa kepala sekolah tersebut melihat tingkah Zen dan Runa.
"Eheeem.. iya pak.. saya Runa dan ini Zeno. Kami yang akan membantu bapak dalam kasus kali ini." Runa mengalihkan pembicaraan dengan memperkenalkan dirinya dan juga Zen pada kepala sekolah tersebut.
"Saya sudah dengar dari Tuan Guntur. Ia bilang kalian juga akan membantu kami mencari Linda. Siswa sekolah kami yang saat ini melarikan diri dari rumahnya."
"Kali ini kami benar-benar sudah kerepotan dengan orangtua siswa yang terus-menerus menekan pihak sekolah. Selama ini sudah ada sembilan siswa yang mengalami kasus serupa, dan Linda adalah kasus serupa yang ke sembilan." Kepala sekolah tersebut mencoba menjelaskan.
"Apa pihak sekolah sudah menyelidikinya terlebih dahulu? Mungkin jika memang tidak ada kasus bullying bisa saja ada pihak guru yang terlalu menekan siswa dan peraturan sekolah yang terlampau ketat membuat tingkat stress siswa meningkat," Zen kini membuka suaranya, penasaran.
"Pihak kami sudah lama menyelidikinya terlebih dahulu, namun tidak ada kasus bullying atau kasus di mana siswa dan guru yang bersiteru di sekolah kami. Pihak orangtua juga mengatakan hal serupa, mereka menyangkal jika mendidik anaknya terlalu keras di rumah. Mereka juga mengatakan anak-anak mereka sebelumnya adalah anak yang rajin, ceria dan ramah. Kami sudah kehabisan cara menghadapi kasus kali ini, orangtua siswa sudah benar-benar menekan kami," sambung kepala sekolah tersebut.
"Hmmm.. jika ini adalah kasus yang ke sembilan. Bagaimana dengan kasus-kasus sebelumnya? Apakah ada siswa yang masih tidak ditemukan? atau ada yang kembali pulang?" tanya Zen lagi penuh rasa penasaran.
"Mereka semua kembali pulang. Hanya saja, orangtua mereka memindahkan anak-anaknya dari sekolah ini atas keinginan orangtuanya dengan alasan tidak mempercayai sekolah ini." Kepala sekolah tersebut bangkit dan mengambil suatu berkas dari meja kerjanya.
Sambil menyodorkan tumpukan berkas tersebut pada Zen dan Runa kepala sekolah itu pun berkata, "Ini data siswa yang juga mengalami kasus melarikan diri dari sekolah. Untuk detail kejadian juga sudah saya lampirkan di sana."
"Baiklah pak, jika memang demikian. Kami, kan menyelidiki lebih lanjut kasus ini. Boleh kah, kami untuk berkeliling sekolah dan memeriksa kembali lingkungan sekolah ini?" Runa mengambil berkas tersebut dan meminta izin untuk berkeliling sekolah.
Setelah kepala sekolah tersebut mengiyakan. Runa tanpa basa-basi lagi langsung pamit untuk menjalankan penyelidikannya.
"Ehem.. ehem.. bagaimana?" Zen menatap Runa penuh harap begitu mereka keluar dari ruangan kepala sekolah.
"Apa?" ketus Runa yang fokus membaca berkas yang diberikan kepala sekolah padanya.
Tatapan Zen terus menusuk tajam, "Apa ia ingin dipuji atas kinerjanya kali ini?" benak Runa yang mendapati tatapan penuh arti dari Zen yang hanya tertuju padanya.
"Iya, kamu sudah melakukannya dengan baik" puji Runa seraya tersenyum hangat.
Senyum lebar terlihat jelas di wajah Zen. Ia bangga atas pencapaian pertamanya. Selain saat ia menanyakan kepala sekolah yang juga mengenal tuan Guntur.
Melihat Zen dengan senyumannya yang lebar namun sedikit memudar. Runa dengan mudah mengetahui apa yang tengah dipikirkan Zen.
"Itu bukan salah mu, aku yang belum menjelaskannya," kata Runa yang jelas menarik perhatian Zen.
"Semua misi yang ada di aplikasi ini berdasarkan atas permintaan seseorang dan juga atas penyelidikan para penyidik yang di sebar oleh Aliansi paraNORMAL. Sebagian besar dari klien kita adalah kenalan Tuan Guntur dan berlangsung dari mulut ke mulut melalui klien yang sukses di tangani oleh Aliansi paraNORMAL. Dana kita juga sebagian besar terkumpul dari bisnis ini. Dari para klien yang meminta untuk menyelidiki suatu kasus sebelum melaporkan secara resmi ke pihak kepolisian. Tentu saja secara rahasia. Kamu tahu kan, tidak banyak yang percaya adanya makhluk gaib." Runa menjelaskan dengan hati-hati.
Setelah merasa Zen memahami hal tersebut, Runa menyodorkan berkas yang telah ia baca. "Coba kamu baca juga, sambil kita berkeliling. Kita harus memeriksa sekolah ini baik-baik," kata Runa yang sudah menyodorkan berkas tersebut.
Memakan waktu tiga puluh menit hingga mereka selesai melihat sekeliling sekolah. Hingga waktu istirahat siswa pun dimulai. Bell istirahat berbunyi. Disambut suara riuh para siswa yang bergegas keluar dari ruang kelas mereka. Zen dan Runa sepakat jika mereka akan menanyakan tentang Linda pada teman sekelasnya terlebih dahulu sebelum menanyai wali kelas Linda.
"Linda itu, cantik. Meski begitu dia tidak sombong. Linda tidak pernah pilih-pilih teman. Linda juga anaknya supel, ramah, sering membantu teman dan juga memiliki banyak pria yang tertarik padanya," Zen menjelaskan apa yang telah ia dapatkan dari penyelidikannya.
Begitu juga dengan Runa. Ia langsung sepakat dengan apa yang diucapkan Zen. "Menurut siswa wanita dia juga begitu. Linda bukanlah anak yang nakal. Ia anak yang rupawan dengan hati yang juga menawan."
Tak ada hasil yang memuaskan bagi Zen dan Runa pula saat mereka menanyai wali kelas Linda. Linda benar-benar anak yang rajin, berprestasi dan juga ceria.
"Benar-benar bukan ciri anak yang bermasalah hingga berani melarikan diri dari rumah?" tutur Runa yang belum mendapati titik terang dalam kasus kali ini.
Penyelidikan pun beralih kepada orangtua Linda. Linda tampaknya berasal dari keluarga yang harmonis. Rumahnya yang besar menandakan jika ia juga tidak kekurangan dalam segi ekonomi. Orangtua Linda mengaku jika mereka selalu memberikan apapun yang diinginkan dibutuhkan anak-anaknya. Linda dan adiknya Yuni biasanya selalu akur.
Kepergian Linda bermula dari pertengkaran kecil dengan adiknya. Linda yang berteriak keras dan membanting barang-barang di kamarnya kemudian mengemas beberapa pakaian lalu pergi begitu saja dengan membanting pintu.
Yuni yang juga sedang di selimuti emosi tidak mencegahnya, sedangkan kedua orang tua Linda sedang tidak ada di rumah saat kejadian itu tiba. Meski begitu orangtua Linda mengakui jika gelagat aneh putrinya dirasakan sejak dua Minggu yang lalu.
Sekitar dua Minggu yang lalu saat itu suasana riuh terdengar nyaris di setiap sudut ruang kelas. Tawa dan canda menghiasi jam istirahat di sebuah Sekolah Menengah Atas.
Linda adalah salah satu murid di Sekolah Menengah Atas tersebut tengah asyik menatap cermin di genggaman tangannya. Linda sedang memperbaiki dandanannya.
"Lin! Kamu tidak bosan apa, dandan terus?" Risa meledek teman sebangkunya tersebut, yang tidak bisa lepas dari cermin di tangannya.
"Aduh Ris yang namanya wanita ya, harus cantik dong. Cantik itu, jelas harus dandan lah." Linda berdalih seraya tersenyum dengan manis.
Melihat Linda dan Risa yang asyik membahas dandanan. Hari yang duduk di bangku belakang mereka ikut buka suara. Sambil memegang pundak Linda dan Risa. Hari berkata, "Eh, kalian tahu tidak? Kalau bercermin itu hati-hati loh! Kita tidak boleh menatap ke dua mata kita yang terpantul di cermin. Apa lagi di saat sendirian. Tahu tidak kenapa?"
Linda dan Risa saling berbalas tatapan. Merekapun menggenggam tangan nakal Hari yang ada di pundak mereka dengan serentak.
"HARI" dengan serempak Linda dan Risa berteriak seraya melepaskan tangan nakal Hari dari pundak mereka.
Hari terkekeh geli. Ia seolah berhasil menakuti kedua gadis tersebut. Hari pun tanpa pikir panjang langsung kabur dari kursinya dan menuju kantin bersama teman-temannya yang lain.
"Apaan sih, Hari. Nakutin orang di siang bolong begini," gerutu Risa yang memang sedikit penakut.
"Ya ampun Ris, tidak usah dipercaya ucapan Hari yang asal ceplos itu. Seperti tidak tahu dia saja."
"Tapi, Lin. Kalau diingat-ingat kayaknya, memang tidak pernah, kan! menatap kedua mata kita sendiri di cermin dengan seksama begitu. Kalau cari bulu mata yang bikin kelilipan, sih.. pernah. Tapi tidak pernah benar-benar dengan serius memperhatikan kedua mata seperti itu," sambung Risa yang merasa perkataan Hari juga ada benarnya.
"Iya juga ya, aku juga tidak pernah segitunya menatap bayangan mataku yang terpantul di cermin. Ada apa ya?" Linda kembali meraih cermin yang ada di mejanya.
Linda mengangkat cermin tersebut dan menatap kedua matanya. Ia memperhatikan dengan seksama kedua bulu matanya yang lentik. Softlens yang membuat matanya terlihat lebih besar dan indah. Dengan penuh percaya diri Linda pun berkata, "Cantik" sambil mengedipkan kedua matanya lalu tersenyum dengan lebar.
"Yeeeee..." Risa menyipitkan matanya melihat tingkah teman sebangkunya yang terlampau percaya diri tersebut. Membuat rasa takut dan penasarannya hilang seketika.
Linda terkekeh geli melihat reaksi temannya tersebut. Risa pun ikut tertawa dengan candaan Linda.
"Kalau bukan diri sendiri yang memuji lantas siapa lagi? Kita juga, sah aja kok memuji diri sediri. Mengapresiasi diri kita" kata bijak tiba-tiba saja terucap dari bibir mungil Linda yang di balut lip tint berwarna baby pink yang merona lembut.
"Iya deh, tuan putri ..." Risa tersenyum cerah mengiyakan ucapan Linda.
Paras Linda yang rupawan membuat Linda sering menjadi pusat perhatian. Tentu saja hal tersebut membuat Linda secara otomatis selalu menjaga penampilannya.
Sepulang sekolah siang itu, seperti biasa Linda akan mampir ke toilet terlebih dahulu untuk memperbaiki penampilannya. Linda merapihkan pakaiannya dan tatanan rambut serta dandanannya yang tidak luput dari perhatian Linda.
"Wah, Eyeliner ku ...." Linda mengusap lembut tepi matanya dengan tisu begitu mendapati eyeliner yang sedikit berantakan.
Selang beberapa waktu, usai Linda memperbaiki riasan matanya Linda kembali teringat akan ucapan Hari "Tidak boleh menatap kedua mata," ucapnya mengulangi perkataan Hari yang membekas di benaknya.
Suasana sepi toilet sepulang sekolah menambah tatapan Linda yang semakin dalam menatap bayangan matanya sendiri di cermin.
"Cantik" kata tersebut keluar dari bibir mungilnya.
Ia pun semakin larut dalam tatapan matanya yang terpantul di cermin tersebut. Linda seakan tenggelam dalam pesona tatapan matanya sendiri. Ia merasa jika bayangan matanya dengan lekat sedang mengagumi dirinya sendiri.
"Kamu benar-benar cantik" sekali lagi kata pujian keluar dari mulutnya.
Kini Linda benar-benar terhanyut dalam tatapannya sendiri. Tenggelam dalam bayangan cermin yang terpantul. Hingga ia mendapati jika dirinya kini benar-benar seperti menatap tubuhnya dari dalam cermin.
"Lin, ayo cepat!" Risa yang tiba-tiba masuk ke dalam toilet menarik paksa Linda.
"Eh, looh ...." Linda bingung begitu ia melihat tubuhnya yang berlalu pergi di tarik Risa. Sedangkan ia merasa masih berdiri di toilet sekolah.
"Tidak.. Tunggu.. Risa.. Tunggu.." teriak Linda yang kini sudah terjebak di dalam cermin.
Berkali-kali Linda memukul cermin yang menghalanginya. Senyuman yang ia lihat dari tubuhnya saat di tarik Risa membuatnya bergidik ngeri.
"Tidak bisa keluar, bagaimana ini?" air mata kini membasahi pipinya.
"Siapa saja, keluarkan aku dari sini!" lagi teriak Linda yang sudah terjebak di dalam cermin.
Keesokan harinya Linda masih berteriak begitu melihat seseorang yang juga sedang bercermin. Namun, tak ada yang mendengarkan dirinya.
Tangisan Linda pecah saat ia melihat Risa di kamar mandi tersebut.
"Risa, aku di sini Risa! Aku di sini!"
Sejak saat itu, kepribadian Linda seakan berubah drastis. Sesuai pernyataan orang tua Linda. Yuni sang adik juga mengiyakan perubahan drastis kakaknya tersebut.
"Ia jadi sering marah jika aku masuk ke kamarnya tanpa mengetuk pintu. Kak Linda biasanya tidak masalah jika aku masuk begitu saja."
"Kak Linda bahkan hendak memukulku saat aku memakai jepit rambutnya"
"Kakak juga jadi lebih sering mengurung diri di kamarnya daripada bermain dengan ku lagi."
Tangisan Yuni memecahkan suasana hening rumah tersebut. Kesimpulannya diawali pertengkaran kecil kemudian mengakar kemana-mana. Hingga akhirnya Linda menghilang begitu saja tanpa bisa di hubungi.
"Bukankah, jika begitu masalahnya berarti ada di rumah?" tanya Zen dengan serius.
Runa menampik hal tersebut, "Justru hal tersebut memang lumrah terjadi. Pertengkaran kecil di antara saudara memang sering adanya. Namun tidak mungkin masalah tersebut bisa memicu perubahan emosi Linda yang seolah seperti orang lain. Pasti ada penyebab lainnya!"
"Run, aku penasaran nih! Bagaimana jika ada klien yang meminta bantuan Aliansi paraNORMAL namun ternyata kasus tersebut tidak ada hubungan dengan makhluk gaib sama sekali?" tanya Zen yang semakin penasaran setelah mengikuti penyelidikan bersama Runa seharian.
"Beberapa kasus ada yang seperti itu. Tapi tidak masalah. Selama kasus terpecahkan kita tetap mendapatkan bayarannya," jawab Runa singkat.
Penyelidikan yang masih terus berlangsung membawa mereka kembali ke sekolah. Runa yang kini terpisah dengan Zen sudah mendapatkan sedikit titik terang dalam kasus kali ini.
"Tidak.. jangan bilang dia ada di sana!"
"Semoga Zen tidak benar-benar sedang di toilet." Runa langsung berlari ke arah toilet dengan segera.
Pintu kamar mandi itu pun di buka oleh Runa dengan kuat. Sesuai dengan apa yang menjadi dugaannya.
Zen, kini tengah menatap tajam ke arah cermin dihadapannya. Bak tenggelam dalam pikirannya yang dalam. Zen hanya terdiam dan terus menatap bayangannya di cermin.
"Zen.. Zeno.. Zen.. Zen.." Panggilan Runa pun tak terdengar lagi oleh Zen.
Tanpa pikir panjang lagi, Runa menarik paksa Zen membawanya menjauh dari cermin tersebut. Zen terpojok di sudut kamar mandi. Tatapan matanya yang nanar kini mulai terlihat bias cahaya dan menatap lekat dirinya.
"Zen! Kan sudah aku bilang. Bagaimana jika aku tadi tidak ke sini, tadi?" Runa menggerutu kesal. Ia tak mungkin harus terus menjaga Zen.
"Runa, i-ini kan di toilet pria?" kata yang terbata keluar dari bibir Zen membuat dirinya semakin gugup.
"Jangankan toilet pria. Ke alam baka pun akan aku kejar jika memang di butuhkan," tegas Runa yang sudah sangat kesal.
"Jangan jauh-jauh dari aku. Kan sudah di bilang kita harus selalu bersama!" imbuh Runa lagi.
"T-tapi ..." Zen memandang lekat Runa yang kini tepat berada di hadapannya, "Ini sih, terlalu dekat!" gumamnya dalam hati dengan jantungnya yang semakin berdetak kencang.
"Lihat itu... Bisa bahaya jika tadi kamu ikut terseret ke dalam sana!" Runa menunjuk ke arah cermin di dekat mereka.
Mata Zen terpaku, tenggorokannya terasa tercekat. Ia kembali mengusap matanya namun apa yang di lihatnya masih membuatnya tercengang.
Bruuuuk
Zen pingsan, ia terjatuh ke lantai kamar mandi yang dingin. Benar-benar pengalaman pertama Zen sebagai paraNORMAL yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya.