Bab.10 Batas Kesabaran Aksa

1127 Words
"Kamu baru pulang?" Langkah kaki Aksa terhenti saat temaram ruang tengah rumahnya berubah terang. Seseorang yang baru saja menyapanya itu melangkah keluar dari pintu dapur dengan segelas air putih di tangannya. Helaan nafas Aksa terdengar keras. Hampir satu bulan setelah tinggal bersama di rumah ini, mereka nyaris tidak pernah bertegur sapa. Lebih tepatnya dia lah yang memang enggan bicara dengannya. Setelah kehadiran mamanya disini suasana hangat yang biasanya dia lalui bersama Rena, Cello dan Naya kini sudah tidak ada lagi. Semua berubah canggung dan sama sekali tidak nyaman ketika harus tinggal satu atap lagi dengannya. "Aksa ..." Niat Aksa ingin segera masuk ke kamar kembali terhenti oleh panggilan itu lagi. Dia menggeram lelah, tidak bisakah mamanya memberi sedikit ruang untuknya sekedar bernafas. Setiap kali berada di dekatnya, Aksa merasa seperti ada tangan-tangan besar yang mencekik lehernya. Bahkan meski wanita itu hanya diam sekalipun, sudah lebih dari bisa membuatnya tersengal kesakitan. "Mama ingin bicara sebentar." "Aku lelah," sahut Aksa malas. "Sebentar saja Sa. Mau sampai kapan kamu akan terus menghindar dari Mama?" pintanya setengah memaksa. Aksa menghela nafas panjang, berusaha untuk tidak berteriak marah dan mengacaukan pertahanan kesabarannya selama sebulan ini. "Apa lagi sebenarnya yang Mama inginkan dariku? Tidak bisakah kita tetap begini saja? Tidak perlu saling bicara, karena hubungan kita memang tidak sedekat itu." ucapnya kesal dengan suara yang mulai meninggi. Aksa berbalik menatap datar mamanya yang berdiri kaku tak jauh dari hadapannya. Senyum getir yang mengambang di sudut bibir wanita itu sedikit membuatnya merasa bersalah. "Mama hanya ingin minta maaf." Aksa mendengus, baginya kata itu sudah terlanjur basi. "Buat apa? Permintaan maaf Mama tidak akan mengembalikan hidup kami yang sudah terlanjur hancur." "Mama tahu salah, Sa. Permintaan maaf Mama memang tidak akan bisa merubah apapun, tapi setidaknya beri Mama kesempatan untuk menebus kesalahan Mama pada kalian." "Kalau begitu cukup jangan membuat masalah lagi yang akan menyusahkan dan mempermalukan aku juga Rena. Tolong, jangan mengusik hidupku yang sudah tenang. Hanya itu yang aku harapkan dari Mama sekarang, bisa kan?!" Dengan gontai Aksa kemudian melangkah pergi. Maaf, enteng sekali mamanya mengucapkan itu setelah apa yang dia lakukan selama ini pada mereka. Bukannya durhaka, biar bagaimanapun dia tetaplah ibu yang telah mengandung dan melahirkannya. Karena itulah Aksa membiarkannya tinggal di sini dan menjamin hidupnya tidak akan kekurangan. Tapi kalau untuk menghormati layaknya seorang ibu, Aksa masih belum bisa. Karena dia sendiri juga tidak pernah memperlakukannya selayaknya seorang anak. "Bolehkah Mama menemui ibunya Sasha untuk minta maaf?" Tangan Aksa urung membuka pintu kamar. Amarahnya meluap begitu saja, bergemuruh membakar batas akhir kesabarannya. Dia kembali berbalik dan menatap marah mamanya yang masih berdiri di sana. "Jangan kira aku tidak tahu apa yang Mama pikirkan," sahut Aksa geram. "Mama hanya ingin minta maaf langsung ke ibunya Sasha," elaknya. Risti Pradipta sepertinya tidak sadar, hidupnya yang terbiasa dengan drama itu sudah membuat Aksa terlalu fasih membaca setiap kebohongan di matanya. "Dulu bahkan Mama lebih memilih berhadapan di pengadilan daripada memenuhi tuntutan Sasha untuk datang meminta maaf. Kenapa sekarang berubah pikiran?" Aksa mendengus melihat mamanya yang hanya diam membisu, padahal dulu dia suka kasar dan selalu berteriak memaki. "Kalau Mama mau menemui Bunda Ambar, silahkan! Tapi jangan sekali-kali mendatangi rumah mereka, karena ada Cello di sana." ucapnya penuh peringatan. "Kenapa kamu tidak mengijinkan Mama bertemu Cello? Dia kan juga cucu Mama, Sa." Sedetik kemudian wanita itu terlonjak kaget saat kepalan tangan anaknya menghantam keras lemari hias di sampingnya. Suara teriakan Aksa menggelegar di seisi rumah bersamaan dengan kepingan pecahan kaca yang berhamburan di lantai. Habis sudah kesabaran Aksa. Kalau sudah begini entah siapa yang harus disalahkan. Di saat Aksa berusaha sebisa mungkin menjauh dari mamanya agar tidak saling menyakiti, Risti Pradipta justru sengaja mengejar kemarahannya. Rena yang tergopoh keluar dari kamarnya hanya tercengang mendapati kekacauan di sana. Seumur-umur baru sekali ini dia melihat kakaknya lepas kendali. "Cucu?! Cucu mana yang Mama maksud? Cucu yang Mama anggap sebagai aib keluarga Pradipta, pembawa sial dan anak haram itukah?!" ucap Aksa ketus. "Jangan pura-pura lupa! Mama sendiri yang mendatangi mereka di rumah sakit, memberikan cek dan menyuruh Sasha menggugurkan kandungannya. Atas dasar apa sekarang Mama merasa berhak mengakui Cello sebagai cucu? Cello benar-benar sial punya nenek seperti Mama!" Tanpa sadar Aksa berteriak. Belum pernah dia sekurang ajar ini pada mamanya meski semarah apapun dulu. Dia benar-benar sudah lelah. Hanya Cello satu-satunya yang tersisa dari hidupnya sekarang dan kehadiran mamanya membuat Aksa ketakutan akan kehilangan semuanya lagi. "Kak Aksa ngomongnya sudah keterlaluan!" sahut Rena yang merasa kasihan melihat mamanya diam tercengang. Tangannya yang menggenggam gelas berisi air putih itu tampak jelas gemetar. "Kalau begitu beritahu aku bagian mana yang keterlaluan? Tidak tahu malu juga ada batasnya. Harusnya mama sedikit tahu diri setelah semua perlakuan jahatnya pada Cello, Sasha dan Bunda Ambar dulu. Itu bahkan belum semuanya, apa perlu aku sebutkan lagi satu persatu?!" ujar Aksa dengan mata berkilat tak bergeming menatap tajam mamanya. "Tapi itu dulu, Mama sekarang sudah menyesali kesalahannya Kak." ucap Rena yang masih ngotot membela mamanya. "Dengar! Terserah apapun yang ingin Mama lakukan, aku tidak peduli. Tapi jangan sekali-kali mendekati anakku. Jangan pernah!" Rena dan Risti Pradipta menatap Aksa gamang. Berkali-kali mereka mencoba mendekat, tapi urung karena melihatnya yang semakin dibakar emosi. "Tanganmu berdarah Sa. Mama minta maaf sudah membuatmu marah, tapi biarkan kami obati dulu lukamu." bujuk Risti Pradipta cemas melihat darah terus mengalir dari luka di tangan anaknya. Namun Aksa justru seperti orang gila yang tertawa terbahak melihat tangannya berlumuran darah. Apalah arti sakit di tangannya, jika dibanding dadanya yang sesak serasa mau meledak. "Tolong jangan seperti ini Kak! Biarkan aku obati dulu tangan Kak Aksa." "Tidak usah! Aku tidak akan mati hanya karena luka kecil ini," sahut Aksa ketus. Pergi, itu satu-satunya cara yang terpikir oleh Aksa supaya dia bisa tetap waras. Kalau bukan karena Rena dan Naya, sudah sejak sebulan yang lalu dia angkat kaki dari rumahnya. "Kamu mau kemana dengan luka separah itu Sa?" seru Risti Pradipta panik melihat anaknya melangkah hendak pergi dari sana. "Sudah aku bilang jangan mengusikku lagi! Berhentilah bersikap seolah-olah peduli padaku, itu sangat memuakkan!" teriak Aksa geram. "Aksa ..." "Kenapa harus memaksaku jadi sejahat ini? Kurang sabar apa aku selama ini? Aku sudah tidak punya apa-apa lagi selain anakku, Ma. Tolong jangan hancurkan satu-satunya kebahagian terakhir yang aku miliki sekarang." Aksa menatap mamanya tajam, wajah khawatir wanita itu justru membuat emosinya semakin menjadi. Dulu walaupun dirinya mati, Aksa yakin dia tidak akan pernah peduli. "Jangan pernah coba-coba menemui Cello tanpa seizinku! Aku tidak akan memaafkan Mama kalau sampai membuatku kehilangan dia lagi." ucap Aksa sebelum meraih gagang pintu. "Kak Aksa mau kemana? Tangan Kakak harus segera diobati," teriak Rena berusaha menghentikan kakaknya. Tanpa menoleh lagi Aksa bergegas melangkah keluar. Tidak peduli Rena dan mama yang terus berteriak memanggilnya untuk kembali. Bagaimana mungkin dia akan tetap tinggal, sedang rasanya sudah hampir mati tercekik di dalam sana.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD