Radit keluar dari ruang kelas setelah jam pelajaran selesai, dia mengajar khusus bidang acara pidana pada anak anak semester empat.
“Pak, ini tugas minggu sebelumnya. Maaf kelompok kami telat,” ucap sang Ketua kelas yang tidak lain adalah Feyra.
“Kumpulkan semua yang belum. Hari ini terakhir, bawa ke ruangan saya.”
“Baik, Pak.”
Radit terdiam sesaat melihat Feyra berbalik dan kembali bergabung dengan teman temannya.
Radit membuka pintu yang terbuat dari kaca, dikhususkan untuk Dekan. Saat duduk di kursi, Radit tersenyum. Seorang mahasiswa menarik pikirannya akhir akhir ini. Membuat Radit membuka profil pribadinya.
“Feyra….. anak tunggal dari pasangan pengacara…. Menarik sekali…..”
Radit terus membaca di layar tablet. “Nilaimu bagus, Fey.”
“Permisi, Pak.”
Radit segera menutup tablet.
“Masuk.”
Feyra masuk dengan sopan. “Ini softfile dari kelompok saya dan kelompok Dita, Pak.”
“Bukankah ada tiga kelompok yang belum menyerahkan tugas mereka pada saya?”
“Eum.. Nina sakit, softfile kelompok tiga ada padanya.”
“Baik, tunggu sebentar. Saya copy kan dulu file nya.”
“Baik, Pak.”
Feyra duduk di sofa, diam diam dia juga menatap Radit yang fokus pada laptop. Membuat Feyra terpesona dengan wajahnya yang menawan, apalagi posisinya sekarang ini adalah Dekan.
“Minggu depan saya kemungkinan tidak masuk, Fey. Nanti saya kasih materi dan tugas sama kamu.”
“Bapak mau ke mana?”
Feyra menggigit bibirnya mengeluarkan pertanyaan tidak sopan. “Maaf, Pak.”
“Saya akan mengantar Papah saya berobat.”
“Ouh….” Feyra kebingungan. “Semoga lekas sembuh.”
“Terima kasih.” Radit mencabut flashdisck. “Tidak ada jadwal lagi?”
“Tidak, Pak. Bu Mitha tidak masuk, jadi langsung pulang.”
Feyra menerima flashdisck. “Terima kasih, Pak.”
Malu malu Feyra menerima dan keluar, jantungnya berdetak kencang mengingat pertemuannya dengan Radit. Jujur saja, ada ketertarikan di mata Feyra setiap melihat wajah tampan pria itu. Membuatnya menginginkan lebih seperti…. Memiliki. Siapa juga yang tidak menyukai pria tampan seperti Radit.
Radit tersenyum setelah kepergian Feyra, dia berusaha tidak memperlihatkan ketertarikannya. Banyak hal yang dipertimbangkan, termasuk mungkin saja Feyra sudah punya pacar, atau tidak etis seorang dosen sekaligus dekan menyukai mahasiswanya. Radit mencoba menekan rasa tertariknya meskipun itu adalah hal yang sulit dilakukannya setelah mengendalikan Mega.
Tidak ada jadwal lagi, Radit bergegas pulang.
Di luar hujan deras, beruntung parkiran khusus dosen memiliki atap yang membuatnya tidak kehujanan sama sekali.
Mengendarai mobil merahnya, Radit keluar dari area kampus. Hujan deras itu membuat pandangannya kabur. Sampai dia menepi karena melihat seorang yang dia kenal. Pandangannya tidak kabur untuk seseorang ini.
“Fey, kamu lagi ngapain?”
Feyra yang basah kuyup dan sedang berteduh di halte itu melongo. Matanya menyipit karena tidak bisa melihat dengan jelas. “Nunggu angkot, Pak.”
“Mobil kamu mana?”
“Mogok, saya tinggalin di sana.”
“Ayo masuk, saya antar kamu pulang.”
“Ga usah, Pak. Saya basah.”
“Angkot jarang kalau sore hari. Kamu mau diam di sana sampai malam? Di tengah hujan petir seperti ini?” tanya Radit dengan sedikit ancaman, jujur saja dia sangat khawatir dengan Feyra yang terlihat kedinginan itu.
Feyra yang memeluk dirinya sendiri menggeleng, dia segera masuk ke dalam mobil Radit. Dia sedikit malu memperlihatkan dirinya dalam tampilan seperti ini pada Radit.
***
Radit mematikan Ac saat melihat Feyra menggigil. Sesekali matanya melirik untuk menangkap sosok yang menarik perhatiannya itu, dia terlihat jelas kedinginan.
Radit berdehem sebelum mengatakan, “Di jok belakang ada jaket, pakai itu.”
Awalnya Feyra diam saja karena dia merasa malu, tapi hawa dingin yang menyengatnya membuatnya tidak tahan juga, dia menengok ke belakang melihat jaket itu.
“Pakai saja, ambil.”
“Iya, Pak.” Feyra memakai jaket itu.
“Di mana rumahmu?” tanya Radit.
Feyra segera mengaktifkan google maps kemudian menyimpan ponselnya di dashboard mobil. “Di sini, Pak.”
“Dekat pom,” gumam Radit. “Rumah orang tua atau kost?”
“Sama orangtua, Pak. Maklum anak satu satunya jadi dilarang sekolah jauh jauh. Kalau main aja gak boleh lebih dari jam sembilan malam.”
Radit mengangguk anggukan kepalanya paham. “Bagus itu, berarti orangtua kamu sayang sama kamu.”
Feyra gugup, dia kehabisan topik. Sampai sebuah ide muncul, “Bapak katanya pernah menjadi photographer lepas ya?”
“Kenapa? Kamu mau minta tolong fotoin?”
“Bu… bukan, Pak.”
Radit terkekeh melihat Feyra gugup malu. “Lebih tepatnya Photographer alam, dulu saya sering mempromosikan tempat wisata alam.”
“Wah, hebat… Oh ya, Pak. Kalau misalnya ada yang melanggar pas--”
“Kalau ingin bicara tentang materi, kita diskusi. Tapi jangan sekarang, liat sikon. Lagi menggigil seperti itu kok mau bahas pasal pasal.”
Feyra terkekeh malu. “Kalau diskusi di kelas suka kacau, Pak. Banyak anak yang memotong pembicaraan.”
“Kalau tidak ingin ada yang memotong, nanti malam saya jemput kamu,” ucap Radit bersamaan dengan berhentinya mobil di depan rumah Feyra yang besar, begitu megah menyaingi mansion besar milik keluarganya.
“Jemput…. Saya?”
“Ya, katanya mau diskusi.”
“Oh… itu…” Feyra gugup dan menelan ludahnya kasar.
“Tenang saja, nanti saya minta izin ke orangtua kamu. Itu juga jika kamu gak malam mingguan sama pacar kamu.”
“Saya belum punya pacar kok, Pak,” ucap Feyra malu malu.
Membuat Radit menahan sesuatu di dalam raut wajahnya.
“Nanti saya hubungi Bapak lagi.”
“Oke.”
“Jaketnya saya pinjam dulu ya, Pak.”
“Jangan lupa cuci.”
Feyra tertawa, dia keluar dari mobil dengan sambutan payung dari pembantunya.
Setelah Feyra menjauh, Radit tersenyum lebar. “Dia belum punya pacar.”
***
Mega segera turun dari lantai dua setelah mendapatkan teriakan dari Mila untuk makan malam.
“Kamu ngapain aja di atas sana? Nyampe lupa segala hal, belajar? Nggak kan? Ngapain di sana?” Tanya Tom kesal, dia sudah lama menunggu di meja makan.
“Nonton video dewasa lah.”
“Apa?!”
“Aw!” Teriak Mega menerima pentungan sendok dari Mamanya. “Mamah!”
“Jangan main main terus, kapan kamu mau kuliah? Udah setaun gak kuliah..” Tom mulai kesal dengan tingkah anaknya yang amuradul dan tidak mendapatkan pendidikan dengan benar.
“Ngomongnya pelan pelan dong, Mas. Jangan paksa anak kamu,” ucap Mila mencoba menahan amarah anaknya.
“Ke mana kakak, Mah?” tanya Mega dengan raut wajah nakalnya.
“Di apartemennya lah. Kakak kamu sekarang punya apartemen sendiri, biar gak kamu ganggu.”
“Di mana itu? Kasih tau dong, plisss… udah seminggu Kakak pindah aku gak dikasih tau. Jahat banget kalian.”
“Salah siapa yang kabur naik motor gak pulang pulang?” tanya Mila.
“Ya salah Mamah lah kenapa gak ngasih tau, kalau ngasih tau kan aku pulang. Dimana sih Mah apartemen Kakak? Kasih tau plis lah. Nanti dijajanin bakso,” ucap Mega. Walaupun dia memiliki sifat dingin, tapi tengil jika bersama dengan orang yang dia sukai.
“Mau apa? Kamu mau ngamuk kayak dulu lagi dan nyari nyari kakak kamu. Kadang mamah heran, kamu kesal sama kakak kamu karena perusahaan papah kamu mau dikasih ke dia, tapi kalau dia gak ada nyari nyari terus. Kamu itu kenapa sih? Belajar yang bener coba, contoh kakak kamu kalau mau perusahaan.”
Mega menelan ludah kasar, dulu dia bersikap seperti itu karena kesal perusahaan akan jatuh ke tangannya, apalagi dirinya tahu kalau Radit bukan anak kandung kedua orangtuanya. Tapi perlahan, Radit meluluhkan hati Mega dengan kelembutan dan kasih sayangnya, membuat Mega mengubah tujuan. Dia ingin perusahaan agar Radit tergantung padanya. Dia mencintai Radit, dan ingin bersama dengan pria itu selamanya.
“Tahun ini Mega mau kuliah kok, Mah,” ucap Mega pada akhirnya.
Mila dan Tom seketika menatap Mega. “Bilang apa? Dia bilang apa katanya, Mas?”
“Aku mau kuliah, Mah. Mega mau kuliah jurusan Hukum, tempat yang sama sama Kakak mengajar.”
“Gak beres nih, tujuan kamu apa? Biar bisa bikin kekacauan lagi? Kamu udah cukup buat Kakakmu kesal setiap saat, Dia udah capek sama sikapmu, Mega. Jangan nambah beban buat dia lagi, kasihan dia.” Mila mecoba menahan rasa kesalnya.
Mega menggeleng kuat. “Aku mau buktiin sama kalian semua kalau aku bisa melebihi Kakak, lagipula kakak kan cuma anak angkat buat mincing Mamah hamil. Iyakan, Mah?”
“Mega!” Tom memberikan tatapan tajam.
“Mas, udah. Jangan begitu.”
“Aku nggak salah kan?”
Tom memejamkan matanya sesaat. “Kalau kamu benar benar ingin memperbaiki diri, maka lakukan. Papa akan menyiapkan semuanya.”
“Mega mau Kakak yang ngurusin semuanya.”
“Berhenti mengganggu Kakakmu, Mega. Papah yang akan urus semuanya. “ Tom berucap kembali.
“Tidak apa, Mas. Radit tidak akan masalah, kamu sendiri tau bagaimana sifatnya.” Mila menatap Mega. “Nanti Mamah bicara dengan Kakakmu.”
Mega menyeringai, 'Kalau caraku membuat onar tidak lagi mempan, aku akan menempel pada Kakak kayak permen karet, awas aja Kakakku tersayangku.'