Milk

1136 Words
Mega bangun lebih awal, dia mencoba untuk membuat makanan untuk suaminya. Mega yang selama ini liar, pulang larut malam bersama geng motornya, kini harus terbangun di waktu dirinya biasa baru pulang. Mega tidak ingin mengecewakan Radit, dia ingin menjadi istri yang sempurna untuk suamiya sehingga Radit tidak akan pernag berpaling darinya. Mega tahu ini sulit dan akan sangat rumit, tapi dia ingin membuktikan kalau cintanya itu nyata. Kalau dia benar benar menginginkan Radit sebagai belahan jiwanya. Setelah mencuci wajah, Mega membuka beberapa resep untuk melihat apa yang bisa dia masak. Maklum, yang Mega bisa lakukan hanya memakan makanan cepat saji. Menyeduh mie, yang mana tinggal menuangkan air panas. Membuat sereal yang mana hanya tinggal menuangkan s**u, atau makanan dingin yang tinggal dimasukan ke dalam microwave. Tapi Mega ingin suaminya sehat, jadi dia akan belajar memasak. Saat membuka ponsel, Mega sadar ada satu panggilan tidak terjawab di sana, yang mana membuatnya tersenyum. Itu adalah panggilan dari sahabatnya, salah satu temannya dalam geng motor. Dia adalah pria bernama Ricco, orang yang mengajari Mega banyak hal termasuk dalam menghempaskan stress. Saat hendak menelpon balik, Ricco lebih dulu menghubungi Mega. “Hallo? Mau apa lu telpon gue?” tanya Mega yang kesal karena terganggu, dia menggunakan nada sinisnya. “Mau apa?” “Biasa aje kali, mentang mentang pengantin baru.” “Nah, kan lu pada tau gua udah kawin kemaren, ngapain ganggu? Kepo kegiatan gue tadi malem apa? Sorry, gak bakalan gue kasih tau, mahalllllll lah.” “Tega lu, Mega. Kenapa gak undang undang kita, Meg?” “Diundang juga kalian kagak datang, gue tau kalian lagi ngapain. Daripada undangan gue abis gak guna, mending gak usah sekalian. Lumayan lah satu undangan lima belas ribu, kalian ada puluhan. Daripada dibikinin undangan terus gak datang mending dipake beli bakso Mang Asep,” ucap Mega cerewed. Yang begitulah dia, meskipun wajahnya jutek dan kata katanya terkesan dingin, tapi jika sudah bersama dengan orang yang tepat makan akan sangat menjadi cerewed. Temannya tertawa di sana. “Seru tau, kita touring pake moge, eh elu kagak ikutan.” “Ya masa gue kawin di jalan, Oon.” “Biasa aja, jangan ngegas.” “Mau apa lu? Bilang to the point ajalah.” Ricco berdehem. “Bulan depan lu mau ikut touring?” “Enggak, gue mau urus laki.” “Serius? Kan lu ditunjuk jadi penanggung jawab buat next touring.” “Gue serahin aja sama lu, lu kan tau gue punya laki. Gak sebebas dulu lagi.” “Tapi gak akan jadi kucing rumahan terus kan lu?” goda temannya itu. Membuat Mega yang mendengarnya tertawa. “Ya kagak lah, nanti kali kali juga gue keluar.” “Ajak laki lu.” “Bukan type kayak gitu dia.” “Oh pantesan lu sering buat onar. Abang lu kutu buku?” “Diem lu, bacooot terus.” Ricco tertawa. “Yaudah, kalau mau main ya main aja ke basecamp, kita open terus kalau buat lu. Jangan lupa bawa makanan yo, mereka ngamuk gak lu undang. Kasian anjiiir, bawa bawa bakso mercon atau seblak kalau ke sini.” “Yoi, gue pasti kali kali ke sana lah. Rindu kebut kebutan di jalan.” “Sip, gue tunggu.” Setelah menutup telpon, Mega kembali focus pada makanan makanan yang akan dia buat. Dia menarik napas dalam, mencari sesuatu yang pastinya akan disukai suaminya. Sayangnya Radit menyukai makanan makanan khas Indonesia, berbeda dengannya yang lebih suka makanan barat. “Masak apa nih? Goreng tempe?” tanya pada dirinya sendiri. Meminta bantuan pada mamanya pun tidak akan berhasil, mamanya sering membuatkan makanan barat untuk mereka. Yang mana membuat Radit selalu memesan makanan dari luar. “Bodo amat ah, masak yang ada aja.” Dan saat membuka kulkas, di sana masih kosong. “Lah, masak apaan ini? Es batu?” ************** Radit mengerutkan keningnya saat dia mencium aroma gosong, seketika dia membuka matanya. “Mega?!” teriaknya memastikan istrinya tidak berulah. “Mega?!” “Udah kena air kok, gosong dikit,” ucapnya dengan nada kesal, bahkan terkesan datar. Seketika Radit bangkit dari tidurnya dan melihat apa yang sedang terjadi. dan saat di sana, Radit melihat Mega yang sedang merendam wajan. “Itu kenapa?” tanya Radit. “Gosong, lagi goreng telur.” Kemudian tatapan Radit beralih pada telur gosong di atas piring, dia melihatnya sangat horror. Apalagi telur itu benar benar hitam pekat. “Kamu mau aku makan ini?” tanya Radit dengan kening berkerut. Mega yang sarkatis dan punya jiwa bar bar segera berucap, “Gila aja aku suruh kamu makan itu. Kak, secinta cintanya aku sama kamu gak akan biarin kamu tersakiti, termasuk tenggorokan kakak itu.” Radit mengerjap, tidak menyangka mendapat jawaban seperti itu. Ternyata begini rasanya dicintai sangat dalam oleh seseorang. “dapet dari mana bahan ini?” “Dari bawah, kan ada itu……., apa namanya? Swalayan kecil yang di lobi apartemen.” “Belum buka kali, ini baru jam enam,” ucap Radit yang mengambil gelas untuk menghilangkan dahaganya. “Emang, aku suruh mereka buka paksa. Tenang, aku bayar dua kali lipat kok. Tapi disana gak lengkap, kebanyakan cemilan. Jadi aku juga beli roti, jaga jaga kalau kayak ini,” ucap Mega yang focus pada wajan gosong. “Mau bikin roti bakar?” “Biar aku aja.” “Aku lah,” ucap Mega dengan nada suara tinggi. “Aku yang bikin. Kakak focus kerja aja, cari uang yang banyak. Perbanyak link, perkuat cabang, biar nanti anak kita gak miskin.” Radit kembali mengerjap mendapatkan jawaban seperti itu. Ini baru jam enam, dia masih mengantuk. “Bikinin kopi ya.” “Siap.” Dengan ragu, Radit meninggalkan Mega di sana. Dia mencuci wajahnnya dan menatap dirinya sendiri dalam pantulan kaca. Dia melihat Mega bekerja keras untuk dirinya, tapi Radit masih belum bisa menerima keberadaannya. Ketika keluar dari kamar mandi, Radit menyalakan laptop untuk mengecek beberapa jadwal hari ini. Karena sang ayah kini telah menyerahkan semua padanya, maka Sekretaris Kim kini menjadi tangan kanannya. “Ini,” ucap Mega menyimpan gelas di depan suaminya. “Terima kasih,” ucap Radit tanpa mengalihkan pandangan. Namun, ketika dia hendak meminumnya, baru dia sadar itu sesuatu yang berbeda. “Mega?” “Ya?” “Ini s**u, bukan kopi.” “Kak, kopi untuk usia kakak tidak sehat. Lebih baik minum s**u untuk memperkuat tulang.” Radit menatap Mega heran, bagaimana dia bisa minum s**u padahal dirinya tidak pernah menyukainya. “Kamu tau aku tidak suka s**u, Mega.” Mega mengangguk, dia membalas tatapan Radit. “Bagaimana kalau belajar menyukai s**u?” “Ini sulit, kau melihatnya sendiri aku beberapa kali memuntahkan ini saat kecil.” “Makannya ayo belajar.” “Belajar bagaimana?” tanya Radit dengan kening berkerut. Dan tanpa malu Mega menatap dadanya. “Dari yang asli?” Saat itu pula radit mengambil gelas miliknya. “Aku akan meminumnya.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD