GEMAS

1201 Words
"Oh, untuk proses bayi tabung itu membutuhkan beberapa tahapan. Akan ada beberapa pemeriksaan termasuk, ehm, tahap persiapannya juga," agak ragu Teddy menjelaskan, bukan karena dia tak paham, tapi khawatir ada yang ingin disampaikan Rio dan dia salah menyampaikannya. Tapi karena Rio tak bicara, Teddy melanjutkan lagi. "Jadi saya rasa baru siap sekitar sebulan sampai dua bulan lagi dan itu pun masih harus saya pastikan. Karena semua tergantung dengan benihnya nanti. Berapa kali percobaan kita gak tahu." Dokter Teddy menatap Rio temannya, berharap pria itu mau membantunya menjelaskan ke istri barunya itu. "Dan kurasa Rio juga belum sempat bicara dengan istrinya, karena Christa masih ada di luar kota kan?" "Hmm, Ted, rasanya aku perlu bicara berdua dengan Dini." "Oke, kalau begitu aku permisi dulu, ya!" Lega rasa di hati dokter Teddy. Dia hanya seorang dokter. Tak ingin dia terseret dalam situasi sulit. Teddy yakin, hubungan mereka tak sederhana. Dia memberikan waktu untuk suami istri yang baru menikah sirih itu supaya mereka bisa leluasa bicara satu sama lain tanpa ada rasa canggung karena keberadaannya. "Jadi, masih lama waktunya kak Rio?" Dini berinisiatif bicara lebih dulu setelah pintu ditutup. Rasanya dia tidak mau berlama-lama, menyek-menyek di hadapn Rio. Inginnya bicara tegas saja dan langsung pada intinya. "Dini, aku memang sudah berencana mencari ibu pengganti yang akan melahirkan anakku dan Ita. Tapi memang prosesnya tidak mudah. Kami harus melakukan persemaian dulu dan ini nanti akan dilihat. Belum tentu satu kali persemaian ini akan berhasil. Butuh waktu, tapi ibunya sudah harus ada lebih dulu, karena kalau sudah berhasil maka harus ditempelkan. Dan ini juga harus disesuaikan dengan waktu menstruasimu karena dari waktu persemaian sampai bayinya siap jangan sampai kondisimu tidak siap," karena yang akan mengandung bukanlah ibu aslinya makanya memang agak sedikit ribet. "Iya aku mengerti kak Rio. Kalau begitu nanti Kakak bisa menemuiku saja kalau harus ada pemeriksaan macam-macam.” "Kamu pegang ini!" Rio tidak langsung menjawab pernyataan dari Dini, justru dia mengambil dompetnya dan mengeluarkan sesuatu dari sana. "Nggak usah, Kak!" "Kamu pegang ini, karena aku nggak selamanya ada di rumah sakit." Maunya Dini tidak terlalu intens dengan pria di sampingnya. Tapi kini mata mereka malah bertautan. Dua bola mata teduh yang juga membuat hatinya ringsek dan melayang pada memori masa lalu. Ini dibenci Dini. "Aku berjanji padamu akan membantu biaya untuk Anggia," dan kalau bukan karena putrinya, Dini tak akan melakukan hal gila ini. "Jadi kamu harus pegang ini karena kalau sewaktu-waktu kamu butuh uang di rumah sakit kamu bisa langsung bayar. Nggak perlu nungguin aku dulu dan lagi kamu juga di sini butuh makan, kan?" "Nggak usah mikirin masalah makanku. Kakak udah mau membantu untuk anakku saja aku sudah sangat berterima kasih." "Ya, tapi sekarang aku punya kewajiban juga karena kamu sudah menjadi istriku dan anakmu adalah anakku." "Tidak perlu dipikirkan terlalu dramatis, Kak Rio. Lagian aku kan cuma ibu pengganti dan ini hanya syarat dari rumah sakit saja makanya Kak Rio harus menikahiku. Tidak perlu memberikanku nafkah, karena kita sudah punya perjanjian." Rio tak tahu harus menangis atau tertawa mendengar ucapan Dini barusan. Dini juga tak tahu harus bahagia atau bersedih karena justru perhatian Rio membuat sedikit luka dalam hatinya. Tapi Dini tetap berusaha tegas karena memang mereka menikah karena satu keadaan yang mengharuskan. "Tetap kamu harus pegang ini. Anggia butuh makanan yang bergizi karena kondisi kesehatannya juga, Dini. Pegang saja ATM-nya demi Anggia!" tapi Rio memaksa dan dia sudah menarik telapak tangan wanita di sampingnya dan menaruh satu kartu itu di sana. "111290, itu pin-nya. Dan sekarang pinjamkan handphonemu." "Eh, buat apa, Kak?" Masih belum stabil perasaan Dini karena degupan rasa dalam hatinya karena terpaksa memegang kartu yang disodorkan pria di sisinya, dia sudah diberikan permintaan yang lain lagi. "Pinjamkan saja!" Bukan memberikan, wajahnya malah terlihat cemas dan justru menunduk. "Aku butuh untuk menghubungimu, Dini!" "Maaf Kak Rio. Tapi aku udah nggak punya handphone. Ehm, beberapa hari yang lalu aku harus jual itu soalnya aku harus masukin anakku ke rumah sakit." Perih, pedih, menyeruak rasa sakit itu di dalam hati Rio ketika mendengar ucapan Dini. Ingin rasanya dia membuka tangannya dan memeluk wanita itu membiarkannya berada di dalam dekapannya, tapi dia tahu Dini pasti akan menolaknya, akan kabur dan akan menimbulkan masalah baru untuknya. Memang Dini adalah istrinya, tapi ini kondisinya berbeda. "Kamu ikut aku dulu yuk. Biar nanti anakmu dijaga dulu sama perawat di sini dan--" "Kak Rio, maaf. Aku nggak bisa jalan sama Kak Rio. Kalau ada orang yang memperhatikan kita, aku khawatir nanti jadi masalah." Dini menolak halus. "Dini--" "Misal ada temannya Kak Rio yang mungkin akan menyampaikan ke istri Kak Rio, itu bisa jadi masalah untuk Kak Rio. Dan yang kedua aku juga tidak bisa jalan sama Kak Rio karena aku nggak bisa ninggalin putriku, lalu lihat pakaianku. Aku nggak pantas jalan sama Kak Rio!" Dini memilih menarik tangannya perlahan setelah selesai bicara. Canggung, tapi menurut Dini tanpa bersentuhan akan lebih baik bagi keduanya. "Makasih Kak. Aku simpan ini dan aku janji akan menggunakannya secara bertanggung jawab untuk kebutuhan-kebutuhan yang memang urgent untuk putriku." Dini justru menunjukkan kartu yang diterimanya beberapa saat lalu, untuk pengalihan pembicaraan. "Dan untukmu." Rio menambahkan. "Kamu bisa beli apapun dengan itu. Bukan hanya untuk kepentingan khusus!" Rio selepas bicara sudah merogoh sakunya lagi, mengambil handphonenya karena dia tahu tidak mungkin Dini yang sudah menolaknya itu mau melakukan yang diinginkannya. "Aku udah beli handphone dari e-commerce. Nanti datang dan aku minta diantar ke ruangan tempat Anggia dirawat." "Eh," tak menyangka Dini kalau Rio membuka handphonenya dan dia tadi melakukannya sangat cepat sekali membeli barang. Dipikir Dini hanya mengirim pesan pada seseorang. "Aku butuh supaya bisa berkomunikasi denganmu. Nanti kamu bisa aktifkan nomornya dan tolong hubungi nomorku ya!" "Kak Rio, maaf aku nggak mungkin bisa hubungin Kak Rio." "Masalahnya di mana lagi Dini?" Sampai gemas lagi Rio mendengar alasan wanita di sampingnya. Sudah ada handphone bukankah dengan mudah dia bisa menghubungi pria itu? "Sebetulnya harusnya aku bisa mengurus pengobatan putriku dengan JKN tapi aku nggak punya domisili, aku nggak punya KTP dan aku nggak bisa ngurus. Jadi semuanya cuman bisa dilakukan dengan biaya mandiri. Jadi aku gak bisa daftar kartu telepon karena gak ada KTP." "Dini! Aku rasa kamu harus menjelaskan semuanya padaku apa yang terjadi pada dirimu. Karena ini masalahnya sudah ribet banget sampai kamu nggak punya KTP!" Rio memang tidak mau memaksakan Dini untuk menceritakan masalah pribadinya karena dia khawatir Dini akan defense. Tapi ditahan juga tidak mungkin. Karena saat ini dia sudah gemas sangat dengan wanita itu. Rasa penasaran dan apa yang terjadi padanya ingin sekali Rio tahu. "Maaf Kak Rio tapi aku nggak bisa cerita," tapi Dini memang cukup keras. Tak mudah untuk Rio membuatnya melakukan sesuatu yang diinginkannya. "Dini, yang pertama aku adalah suamimu. Bukankah sepasang suami istri harus saling terbuka?" "Kak Rio aku tahu. Tapi kita punya special purpose dalam pernikahan kita!" "Aku tahu!" Rio menjelaskan lagi. "Tapi aku nggak tahan lihat kamu kayak gini. Aku tahu dulu kamu itu seperti apa. Dan apa yang terjadi padamu sampai seperti ini?" "Maaf Kak, aku nggak bisa jawab!" Tapi Dini memang tidak mau menceritakan apapun. Dia tidak mau membawa Rio masuk ke dalam masalahnya dan ini yang menggemaskan untuk pria itu. "Baiklah, begini saja. Kalau kamu nggak mau cerita aku akan putuskan aku nggak bisa lagi ngebantu pengobatan Anggia!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD