Episode 8 : Kekhawatiran

1342 Words
"Wow hari ini kau terlihat berbeda." ujar Denias begitu melihat Nada. "Apanya yang berbeda? Apa matamu sedang sakit?" ejek Nada. "Benar yang dikatakan Denias, hari ini kau tampak berbeda. Dari tadi aku ingin mengatakannya tapi takut kau tersinggung." tambah panji. "Apaan sih? Memangnya apa yang berbeda?" tanya Nada penasaran. "Kau benar-benar tidak menyadarinya?" tanya Panji. "Kau pakai make-up kan?" tanya Denias. Seketika wajah Nada memerah. Nada buru-buru memalingkan muka dan mengambil ponsel untuk melihat wajahnya. "Apa sangat jelas?" tanya Nada panik. "Tidak juga sih. Tapi untuk ukuran wanita yang tidak pernah berdandan, kau terlihat cukup mencolok." jawab Panji. "Ah sial! Harusnya aku tidak menggunakan benda itu meskipun mama yang memberinya." maki Nada. "Tapi tidak buruk kok. Kau cantik." puji Denias. "Denias benar. Karena kau tidak pernah berdandan, kau justru terlihat sangat cantik. Apa kau berencana menggoda seseorang?" goda Panji. Nada sudah akan menutup mulut Panji saat Dita menghampiri mereka. Denias yang melihat kedatangan Dita, langsung merapikan penampilannya. "Ah Denias, apa hari ini kita bisa duduk bersebelahan? Aku kesulitan memahami mata kuliah Bu Fatma. Jika kau tidak keberatan, apa kau bisa mengajariku?" tanya Dita. "Tentu saja. Kau bisa duduk disini atau kalau kau tidak nyaman kau bisa menentukan tempat duduknya." jawab Denias semangat. "Aku terbiasa duduk disitu." tunjuk Dita ke arah pojok depan. "Kalau begitu aku yang akan pindah." "Kau sangat baik. Terimakasih ya." puji Dita dengan wajah berseri-seri. Setelah Dita menjauh, Denias bergegas membereskan buku miliknya dan duduk di sebelah Dita. Diam-diam Panji menggenggam tangan Nada. Panji tau, meskipun diam saja, Nada pasti terluka. Raut wajah Nada memang tidak menunjukkan apapun. Tapi Panji yakin, hati Nada pasti sangat hancur. "Aku baik-baik saja. Kau tidak perlu berlebihan." ujar Nada. "Aku tidak berlebihan. Aku hanya ingin menyemangati." "Cih kau membuatku terlihat seperti wanita yang begitu malang." Nada menarik tangannya dari genggaman Panji. Tak berapa lama ketua kelas mengumumkan kalau dosen mereka akan terlambat satu jam karena ada urusan mendesak. Kesempatan tersebut dimanfaatkan Nada untuk menghirup udara segar. Nada dengan tegas menolak saat Panji berinisiatif untuk menemaninya. Satu-satunya tempat yang bisa membuat Nada merasa lebih tenang adalah perpustakaan. Selain karena tempatnya sepi, Nada juga bisa mengalihkan segala pikiran dengan membaca buku. Saat sibuk memilih buku, samar-samar Nada mendengar seorang wanita sedang mengutarakan perasaannya. Tanpa sadar Nada menguping sekaligus mengintip apa yang terjadi. Nada penasaran laki-laki seperti apa yang disukai perempuan tersebut. Nada melongo saat tau laki-laki yang sedang diajak pacaran oleh perempuan itu adalah Rama. "Aku merasa ini tidak adil. Dulu kau bilang kau menyukaiku. Aku menolak karena tau kau pasti membuangku setelah pacaran beberapa bulan. Aku tidak ingin hubungan yang seperti itu. Aku ingin hubungan yang hangat dan berlangsung lama." Nada menahan napas. Berada diposisi wanita itu pasti sangat menyakitkan. "Kalau kau sudah tau, harusnya kau pergi. Jika kau seperti ini, sama saja kau tengah menyakiti diri sendiri. Kau bilang saat itu kau menolak karena tidak ingin terluka. Sekarang kau datang dan mengatakan siap terluka asalkan bisa pacaran meski cuma beberapa bulan. Pendirian yang gampang sekali goyah." ejek Rama. "Aku tidak goyah. Dari dulu aku tau aku hanya menyukaimu." Rama membuang muka. Saat itulah tak sengaja Rama menangkap sosok Nada yang tengah menguping. "Saat ini aku tidak tertarik untuk pacaran. Terimakasih karena sudah mencintaiku. Tapi maaf, sepertinya kita hanya bisa berteman." tolak Rama. Wanita itu terdiam. Tangisnya tertahan. Nada menghela napas panjang seolah dirinya juga baru saja di tolak. Nada duduk bersandar pada rak buku dengan pandangan menerawang. Jika dia punya keberanian, Nada juga ingin mengungkapkan perasaannya pada Denias. Walaupun ditolak, walaupun sakit, setidaknya Denias tau seperti apa perasaannya. Tanpa sadar Nada kembali menghela napas panjang. "Apa yang kau pikirkan sampai-sampai menghela napas panjang seperti itu?" tanya Rama. Nada hampir berteriak saat melihat Rama sudah duduk disampingnya. "Kau muncul seperti hantu. Sejak kapan kau duduk disini? Bukankah tadi kau sedang bicara..." "Ternyata kau menguping pembicaraan kami." potong Rama. Nada memalingkan muka karena kepergok tengah melakukan hal yang tidak sepantasnya. "Awalnya tidak sengaja. Tapi kemudian aku penasaran." jujur Nada. "Apapun alasannya, menguping pembicaraan orang adalah hal yang tidak baik. Apa mungkin kau berencana membocorkan pembicaraan kami pada orang-orang?" selidik Rama. Nada mendengus. "Apa aku terlihat seperti wanita yang suka bergosip?" "Bukankah kau juga tau tentangku dari gosip?" "Walaupun aku mendengarnya dari wanita-wanita yang suka bergosip tentangmu, bukan berarti aku juga ikut bergosip. Astaga kau pandai sekali membuat orang terlihat bersalah." geram Nada. "Jadi kau tidak merasa bersalah sudah menguping pembicaraan orang lain?" serang Rama. Nada tampak frustasi. "Oke aku bersalah. Maaf untuk yang tadi. Sumpah awalnya aku tidak sengaja. Kesalahanku hanyalah karena tertarik untuk tau kelanjutannya. Soal gosip yang kau takutkan, tenang saja, aku orang yang pandai menjaga rahasia." Rama tersenyum penuh kemenangan. Laki-laki itu tampak puas sudah membuat Nada bicara panjang lebar. Nada mendelik dan mengumpat sebelum akhirnya meninggalkan Rama. Niat hati ingin menenangkan diri, Nada justru semakin pusing karena bertemu Rama. "Dia manis sekali." ujar Rama setelah Nada tidak terlihat. *** "Akhirnya kesempatan itu datang juga." pekik Denias. Panji dan Nada yang sudah lebih dulu duduk di kantin, tampak terkejut mendengar kedatangan Denias. "Kesempatan apa sih? Woy jangan lebay, ini masih siang." seru Panji. "Dita mengajakku jalan minggu ini sebagai ucapan terimakasih. Astaga aku masih tidak percaya. Sepertinya Dita mulai luluh melihat usahaku." ujar Denias semangat. Panji berdecak malas. Sekilas Panji menoleh ke arah Nada. Nada masih makan dengan tenang. Gadis itu belum mengatakan sepatah katapun. "Aku tidak bisa berkata-kata. Untuk ucapan selamat, aku akan menundanya sampai kau dan Dita benar-benar jadian." "Sama." tambah Nada singkat. "Kenapa kalian terlihat tidak senang? Bukankah kalian yang lebih tau kalau aku benar-benar menunggu hari-hari seperti ini." ujar Denias. Daripada menjawab, Nada memilih pura-pura terkejut dan langsung menghabiskan makanannya. "Ah aku lupa kalau hari ini aku punya janji. Sorry sepertinya aku tidak jadi pergi dengan kalian." bohong Nada. Saat Denias ingin bertanya, Nada dengan cepat meninggalkan mereka setelah menitipkan uang 50 ribu pada Panji. "Dia kenapa? Dia punya janji dengan siapa?" tanya Denias penasaran. "Siapa yang tau. Bisa jadi diam-diam Nada punya pacar." tebak Panji asal-asalan. Panji tau Nada pergi karena tidak nyaman mendengar ucapan Denias soal Dita. Denias yang tidak peka, tentu saja tidak merasakan apapun. "Padahal banyak sekali yang ingin ku ceritakan soal Dita. Menurutmu Dita suka tempat yang seperti apa? Aku ingin menanyakannya pada Nada. Tapi sepertinya janji Nada sangat penting." keluh Denias. "Jangan bicara soal Dita di depan Nada. Kau tau mereka tidak dekat. Soal Dita, kau bisa mencari tau dari teman dekatnya. Dita itu punya banyak teman." usul Panji. Denias tersenyum senang. "Kau memang sahabat terbaik." Panji menyingkirkan tangan Denias saat laki-laki itu merangkul pundaknya. Melihat betapa Denias sangat bersemangat tentang Dita, Panji justru merasa bersalah pada Nada. *** Nada mematung mendapati ban motornya kempes. Gadis itu menendang motor kesayangannya dengan kesal. "Apa ini? Padahal pagi tadi masih baik-baik saja." omel Nada. "Kakimu tidak sakit?" tanya Rama yang sudah berdiri di belakang Nada. "Oh ayolah ini bukan saat yang tepat untuk berdebat dengan playboy menyebalkan itu." gumam Nada tanpa berbalik. Mendengar suaranya saja Nada sudah tau kalau orang yang kini sedang menghampirinya adalah Rama. Rama tertawa. Meskipun pelan, Rama masih bisa mendengar gumaman Nada. "Aku ingin tersinggung. Tapi kau terlalu menggemaskan hingga tidak bisa membuatku marah." canda Rama. "Jika kau tidak ingin membantu sebaiknya kau pergi. Aku tidak punya tenaga untuk berdebat denganmu." ujar Nada. Nada berusaha mendorong motornya ke bengkel terdekat. Kebetulan di seberang kampus ada bengkel yang beroperasi. Rama memanggil temannya dan meminta orang itu membawa motor Nada. Awalnya Nada ingin menolak, tapi melihat cuaca yang sangat panas, Nada merelakan motornya dengan pasrah. "Motormu tidak akan hilang, aku berani jamin." ujar Rama. "Aku tidak khawatir motornya akan hilang. Yang sekarang membuatku khawatir adalah tatapan mereka-mereka yang penuh tanya pada kita." cecar Nada. Rama kembali tertawa. "Sepertinya kau sangat takut terkena skandal dengan Casanova kampus." "Aku hanya ingin kuliah dengan tenang." jawab Nada enteng. Tanpa basa-basi, Rama menyeret Nada menuju mobilnya dan memaksa Nada masuk. Tentu saja hal tersebut menjadi perhatian beberapa mahasiswa yang lewat. "Sekarang kau sedang dalam skandal Nada Pramudya Baskara." Rama menutup pintu mobil sebelum akhirnya menuju kursi kemudi. Nada cuma bisa menghela napas kesal. To be continue
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD