1. Tugas Mata-mata
"Benar, Om, cewek ini rumahnya di depan kosan, Syamil. Kenapa memangnya?"
"Bagus kalau begitu, saya minta tolong, kamu jadi mata-mata ya. Awasi saja dari kejauhan. Jangan perhatiin istri orang dari dekat, bisa repot nanti."
"Amit-amit, Om. Tipe saya bukan ibu-ibu, walaupun masih muda banget kayaknya, Om. Mungkin beda dua tahun saja dari saya. Lagian, bajunya seksi-seksi terus. Pahanya keliatan. Ketiaknya juga. Aduh, saya kalau lagi lihat cewek itu langsung istighfar."
"Istighfar, kemudian alhamdulillah ya, kan ha ha ha.... "
"Udah ya, Om, sekian laporan dari Syamil. Mau berangkat kampus dulu. Assalamu'alaikum."
"Wa'alaykumussalam, Hati-hati, Syamil. Ingat, istri orang cukup dilihat dari jauh saja, jangan dekat-dekat!"
Syamil segera mematikan ponselnya. Bicara dengan pria dewasa seperti calon kakak iparnya memang sangat menguras emosi, tapi tak apalah, demi uang wifi yang akan ia dapatkan setiap bulan dari Om Didin, ia rela menjadi mata-mata Hani.
Pemuda itu turun dari lantai dua kamarnya sambil menenteng sepatu sneakers bertali. Kos-kosan besar yang letaknya tidak jauh dari kampus, sekitar lima ratus meter saja dari kosannya adalah pilihan Syamil tinggal sampai empat tahun ke depan hingga kuliahnya selesai.
Di punggungnya sudah ada ransel besar yang berisi aneka perlengkapan Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus atau yang biasa kita sebut Ospek. Ospek sendiri bertujuan untuk mememperkenalkan lingkungan kampus dan dunia perkuliahan bagi mahasiswa baru. Tentu saja Syamil begitu semangat untuk mengikuti Ospek hari pertama. Setelah memastikan Tali sepatu terikat dengan benar, Syamil pun segera keluar dari area kosan dengan mendorong pintu gerbang.
"Berangkat, Sya," tegur Hani yang kebetulan sedang menyapu teras rumah dengan pakaian seksinya.
Syamil dan Hani memang sudah saling kenal, saat keduanya berada di dalam bus yang sama menuju Bandung.
"Eh, iya, Mbak Hani." Syamil menjawab tanpa menoleh. Ekor matanya sempat melirik sekilas pakaian yang Hani kenakan dan pemuda itu tidak mau matanya ternoda. Masih pagi, pahala salat dhuhanya tadi bisa habis gara-gara melototin pakaian Hani yang seksi.
"Berangkat ke mana emangnya?" tanya Hani lagi dengan seringainya. Wanita muda itu tahu Syamil akan berangkat ke kampus, ia hanya sedang menggodanya saja.
"Saya mau ke sawah, Mbak, cari janda." Ucapan Syamil yang sekenanya membuat Hani tertawa terpingkal-pingkal. Pemuda itu meneruskan langkahnya tanpa mau menoleh ke belakang lagi. Samar-samar telinganya masih mendengar teriakan Hani, tetapi ia memilih mengabaikan dan mempercepat langkah menuju kampus tercinta.
"Syamil, tunggu!" Teriakan seseorang menghentikan langkah pemuda itu yang sudah tiba di gerbang kampus. Pemuda yang berlari menyusulnya itu adalah Joko Suseno. Satu angkatan mahasiswa baru, tetapi beda fakultas. Jika Syamil fakultas Ekonomi, maka Joko di fakultas sastra Inggris. Mereka tinggal di kos yang sama dengan jarak kamar beda dua pintu saja.
"Kenapa, Ko?" tanya Syamil. Joko merangkul pundak Syamil agar mereka bisa berjalan bersama dan nampak akrab.
"Gak papa, biar bareng aja jalannya!" Jawab Joko sambil tersenyum, tetapi Syamil tahu, ada maksud lain di balik senyuman teman kosnya itu.
"Oh, iya, Sya, cewek cantik yang seksi depan kosan itu, sodara lu ya? Barusan gue lihat, tuh cewek negur lu duluan!" Tanya Joko antusias. Benar tebakan Syamil, ada batu di balik udang. Karena sebelumnya Joko tidak pernah menegurnya saat mereka berpapasan di kos, paling hanya saling melempar senyum saja, tetapi pagi ini Joko bersikap sangat manis. Ternyata ada maunya.
"Bukan sodara gue. Kenal di bus waktu itu. Eh, malah jadi tetangga," jawab Syamil santai.
"Kuliah juga? Umurnya berapa? Jomlo gak?" cecar Joko penasaran. Syamil menghentikan langkahnya, menatap Joko dengan iba.
"Sudah punya suami itu cewek, Ko. Lagi hamil. Karena badannya kecil dan selalu pakai baju longgar, makanya gak keliatan. Lu salah alamat kalau lu mau PDKT. Udah ah, gue ke lapangan samping, mau registrasi." Pemuda seumuran Syamil itu mengerutkan kening tidak percaya dengan pernyataan Syamil yang bisa saja berbohong. Ia akan mencari tahu sendiri setelah pulang kuliah nanti.
Sementara itu, Hani sudah kembali masuk ke dalam rumah setelah berbelanja sayuran di tukang sayur gerobak yang lewat di depan rumahnya. Awalnya ia ingin masak ayam goreng dengan sambal matah, tetapi mood-nya turun lagi dan saat ini hanya berdiam diri menonton televisi.
Jika ingin jujur, ingin sekali dirinya menelepon Arif; sang Suami yang merupakan salah satu dosen di tempat ia menuntut ilmu. Namun, Arif sepertinya sedang asik dengan Grace; istri pertamanya, sehingga ia pun terlupakan.
Hingga sore, Hani tidak melakukan apapun selain berbaring malas-malasan. Makanan yang masuk ke dalam perutnya adalah lauk kemarin yang masih enak dimakan karena sudah ia panaskan. Bosan berbaring bolak-balik di ranjang, Hani pun bangun, membuka pintu rumahnya dengan lebar.
Sore hari, tentu saja area tempat tinggalnya begitu ramai dengan lalu-lalang mahasiswa yang baru saja pulang kampus atau sekedar mencari makan sore. Mata wanita itu menyipit saat dari kejauhan melihat sosok pemuda yang sangat ia kenal. Di leher pemuda itu ada kalung yang menggantung, tapi bukan kalung emas atau kalung metal, tetapi kalung dari cabe.
"Hai, Syamil, baru pulang nih!" Sapa Hani ramah sambil tersenyum. Bajunya masih baju tadi pagi yang ia pakai.
"Eh, iya, Mbak," jawab Syamil tak semangat karena ia lelah. Wajah lelahnya begitu jelas terlihat di mata Hani.
"Kalung cabenya buat saya saja sini!" Hani menunjuk kalung Syamil. Pemuda itu pun baru sadar kalau kalung cabainya masih melingkar di leher. Tanpa komentar, Syamil memberikan kalung itu untuk Hani. Ia hanya melirik sekilas saat menyebrang jalan. Hani sudah tersenyum menunggu kalung cabai di depan rumahnya.
"Ini." Syamil langsung berbalik karena ketika Hani keliatan. Ia sungguh tidak mau mata polosnya ternoda.
"Makasih, Syamil!" Seru Hani sembari tersenyum. Jika Syamil langsung masuk pintu gerbang kos, tidak dengan Hani yang masih berdiri di depan rumahnya. Wanita itu ingin memastikan di mana letak kamar Syamil. Saat Syamil sudah masuk ke kamar, disitulah Hani tersenyum. Wanita itu merasa beruntung memiliki teman kecil seperti Syamil, walau pemuda itu tidak banyak bicara. Ia jadi tidak keras begitu asing karena tidak mengenal siapapun.
Suit! Suit!
Siulan dari jauh membuat Hani menoleh ke kanan dan ke kiri, mencari siapa pelakunya, tetapi ia tidak bisa mencurigai siapapun karena lingkungan tempat tinggalnya selalu padat. Hani pun bergegas masuk ke dalam rumah untuk memasak, kemudian mandi.
Pukul enam lebih sepuluh menit, Hani sudah berdiri di depan rumahnya untuk menunggu Syamil pulang dari masjid. Ia hapal kebiasaan pemuda solih itu yang selalu melaksanakan salat magrib dan juga subuh di masjid yang tidak jauh dari tempat tinggal mereka. Namun hingga pukul sepuluh menit berlalu, Syamil tidak kunjung muncul.
Hani memutuskan untuk menemui Syamil di kosannya. Kos-kosan yang bebas tamu, di bawah jam sembilan malam. Hani naik ke lantai dua dan sudah berdiri di depan pintu kamar Syamil.
Tok! Tok!
"Syamil," panggil Hani. Pintu terbuka dan Syamil terlihat tidak sehat.
"Eh, Mbak Hani, ada apa?" kali ini Syamil mau melihat Hani karena bajunya lumayan tertutup. Bagian paha dan ketiaknya tidak kelihatan.
"Pantas saja aku tunggu kamu lewat depan rumah, tidak ada
Rupanya sedang sakit ya." Syamil mengangguk tanpa semangat.
"Ini, saya buatkan nasi bakar ikan teri pakai sambal. Cabainya dari kalung yang kamu berikan pada saya tadi." Hani mengulurkan piring bermotif aja jago ke tangan Syamil. Baru saja tangan pemuda itu hendak menahan piring, perutnya bergolak ingin muntah. Syamil berlari menuju kamar mandi yang ada di ujung lorong lantai dua. Hani menaruh piring dengan cepat di dalam kamar Syamil, lalu pergi menyusul pemuda itu.
"Wah, kamu masuk angin ini. Sini, biar saya kerokin!" Kata Hani menawarkan bantuan.
"Gak usah, Mbak, saya gak papa. Uek! Uek!" Dengan setengah memaksa, Hani menarik tangan Syamil untuk kembali ke kamar. Ada minyak kayu putih di atas nakas, tanpa babibu lagi, Hani menarik kaus Syamil ke atas, lalu mulai mengerik punggung pemuda itu.
"Gak usah, Mbak. Saya gak papa!" Syamil mencoba menolak, tetapi karena mual dan kepala yang terasa berputar, membuat Syamil tidak bisa meneruskan keberatannya. Pemuda itu dikerik sampai pulas. Hani menurunkan baju kaus Syamil kembali, tepat disaat ponsel pemuda itu berbunyi.
"Halo, Syamil, assalamu'alaikum, Nak. Lagi apa anak solih, Ummi?"
"Halo, Bu, Syamilnya tidur, baru selesai saya kerik!"
"Hah? Apa? Dikerik? K-kamu siapa?"
"Mm... saya.... "
Bersambung