Semangat anak - anak muda ini memang patut diacungi jempol. Mereka tak lelah membagikan brosur di lampu merah setiap hari. Juga baliho - baliho mini di sepanjang jalan.
Semenjak peresmiannya, ‘EO’ tidak sepi, tapi juga tidak terlalu ramai. Theo berpikir keras bagaimana caranya agar ‘EO’ lebih dikenal banyak orang dan semakin ramai. Sehingga Papa bisa lebih senang.
“Udah lah cukup ... mau sampai kapan kalian nyebar brosur setiap hari?” Itu lah sambutan Papa ketika Theo, Chico dan Yulia datang.
“Makan dulu, Dek. Udah Papa siapin khusus buat kalian.” Papa menunjuk tudung saji di atas meja makan.
“Oke, Pa. Tapi Theo bakal tetep nyebar brosur tiap hari, sampai ‘EO’ benar - benar dikenal masyarakat luas. Sampai Papa kewalahan melayani pelanggan, sehingga Papa bisa rekrut karyawan.”
“Iya Papa ngerti. Tapi juga jangan berlebihan. Kalian fokus aja belajar. Urusan ‘EO’, serahkan pada Papa. Papa yakin ‘EO’ suatu saat akan sukses. Asal Papa mau terus kerja keras dan bertahan, bener kan?”
“Iya, Papa ...,” jawab mereka serentak seperti anak TK yang menjawab pertanyaan Bu Guru baik hati.
Papa menatap Theo yang berjalan bersama Chico dan Yulia menuju meja makan. Ia teringat masa lalu. Hanya tak pernah menyangka bahwa Theo benar - benar akan mewujudkan keinginannya, yang saat itu hanya dianggap sebagai mimpi polos seorang anak kecil. Jangan ditanya seberapa besar rasa bangganya pada Theo.
Sudah seminggu Theo tidak mau menerima job menari dari café lain. Jadi ceritanya ini adalah salah satu strategi pemasaran baru yang lumayan cerdik. Theo mengedit sedikit brosur ‘EO’ yang biasanya, menambahkan foto dirinya sebagai si Artistic Zorro yang melegenda itu.
Terang saja, semenjak ia menari di sini, pengunjung meningkat drastis. Bahkan banyak di antara mereka yang rela membawa tikar dari rumah, karena tidak kebagian tempat duduk. Mereka rela ‘ngafe’ lesehan asalkan bisa melihat penari misterius itu beraksi.
Awalnya mereka ragu apakah Artistic Zorro benar - benar akan menari di café kecil seperti ini. Dan buktinya ia benar -bbenar muncul saat mereka datang.
Kabar tentang Artistic Zorro yang selama seminggu terus menari di ‘EO’ menyebar dengan begitu cepat. Pengunjung mereka semain banyak setiap harinya. Sesuai harapan, saat ini mereka sudah merekrut 3 karyawan baru untuk membantu melayani pembeli.
*** I Love You Tante - Sheilanda Khoirunnisa ***
Theo tergesa - gesa sekali mengendarai mobilnya menuju ke Rumah Sakit. Ia langsung berangkat begitu mendengar kabar bahwa Tante Ali - nya akan segera melahirkan. Ia panik setengah mati. Lagaknya sudah seperti seorang suami yang mendengar berita bahwa anaknya mau lahir. Padahal kenyataannya, yang akan segera lahir itu adalah anak orang lain.
Theo hanya bisa menunggu di luar bersama keluarga besar Alila dan Jo. Ingin ikut masuk ke dalam? Tidak mungkin lah. Apa haknya? Di sini posisinya hanya sebagai kerabat. Meskipun sesungguhnya ia ingin sekali menemani perjuangan Tante Ali - nya.
Bayi itu akhirnya lahir. Laki - laki. Harapan Alila pupus sudah untuk memiliki anak perempuan. Namun tak apa, asal anaknnya sehat dan lahir dengan selamat, ia sudah cukup. Theo sibuk menoel pipi bayi mungil, yang baru melihat dunia setengah jam yang lalu, yang saat ini terlihat anteng dalam pelukan Mommy - nya.
“Jangan ditoel-toel!” gertak Jo.
“Lo kenapa sih? Pelit banget.” Theo ngeyel.
Bayi itu mewarisi kulit eksotis ayahnya, tapi wajahnya persis seperti ibunya. Mukanya jauh menyimpang dari Dio. Tidak mirip sama sekali. Karena muka Dio adalah perpaduan antara kedua orang tuanya, dengan kulit putih seperti ibunya. Dio terlihat sangat bahagia melihat adiknya akhirnya lahir. Ia tidak sendirian lagi dan punya teman main mulai sekarang.
*** I Love You Tante - Sheilanda Khoirunnisa ***
Kebahagiaan mereka semakin lengkap kala mendengar kabar bahwa Luna positif hamil. Theo akan segera punya keponakan. Kabar bahagia kedua, karena kehamilannya ini, permintaan Luna untuk dipindah tugaskan pada cabang perusahaan yang ada di sini, dikabulkan.
Jadi dengan cepat ia bisa kembali pindah dan tinggal bersama di rumah ini. Ifan pun terlihat begitu bahagia karena ia tidak harus LDR lagi dengan istrinya. Ia sudah lelah hanya bertemu istrinya sebulan sekali. Kadang Luna yang pulang ke sini, atau kadang dirinya yang terbang ke Inggris.
Theo lagi - lagi menjadi orang pertama yang berjingkrak kegirangan atas kebahagiaan Luna. Memaksa semua orang untuk mengomel padanya, memintanya untuk tidak bergerak berlebihan.
Semenjak koma panjangnya dulu, memang keadaan Theo tak pernah benar - benar sehat. Hanya saja ia bersikap seolah dirinya baik - baik saja. Tetap melakukan apapun seperti biasa, sekolah, membantu Papa di ‘EO’, menerima job menari, bahkan ia ikut tes SBMPTN juga.
Tapi Theo tidak pernah memaksakan dirinya. Ia akan istirahat jika tubuhnya sudah letih. Ia tidak mau kembali pingsan dan membuat khawatir semua orang. Theo berhasil bekerja sama dengan penyakitnya sejauh ini.
Sayangnya akhir - akhir ini kondisinya semakin memburuk. Tiga hari yang lalu kondisinya benar - benar drop. Ia sempat tidak sadar selama setengah hari. Saat sadar pun ia hanya bisa berbaring karena tubuhnya terlalu lemah. Ia bahkan kesulitan bernapas sehingga harus memakai selang oksigen.
Luna dan saudaranya yang lain senantiasa menemaninya sepanjang hari. Sengaja meluangkan waktu lebih, mengantisipasi jika kemungkinan terburuk terjadi.
“Kok belum tidur, Mas?” tanya Mama begitu masuk ke kamar Theo. Suara lantunan ayat suci menyambut kedatangannya.
“Belum ngantuk, Ma.”
Mama mendekat, kemudian duduk di sampingnya. Menggenggam jemarinya dengan hati - hati, takut menyenggol jarum infus di pergelangan tangan Theo.
Rumah ini menjelma menjadi rumah sakit pribadi untuk Theo. Setelah diskusi panjang dengan pihak rumah sakit, permintaan orang tua Theo untuk merawat anaknya di rumah dikabulkan. Orang tua Theo pun bergerak cepat mempersiapkan segala hal yang diperlukan.
“Mau Mama melakukan sesuatu biar Mas cepet bisa tidur?” goda Mama. Theo tertawa dibuatnya.
“Boleh," jawabnya.
“Okay. Mau Mama nyanyiin Nina Bobo?”
“Mama pikir Theo balita?”
Mama menggeleng. “Bukan balita, hanya sedikit mirip aja.”
Theo terkikik lagi mendengarnya.
“Ma.”
“Hm ....”
“Apa selama ini Mama bahagia?”
Pertanyaan itu membuat sang Mama memandang Theo untuk beberapa saat. “Tentu saja bahagia.”
“Benar - benar bahagia?” Theo mengulangi pertanyaannya.
Mama mengangguk. Dibalas sebuah lengkungan kecil di bibir Theo. “Bagus lah kalau itu benar. Karena Mama memang harus bahagia.”
“Tentu saja Mama harus bahagia. Semua orang berhak untuk bahagia kan, Sayang?”
“Ya.”
Mama mengelus surai putranya. “Tidur lah. Ini sudah malam.”
“Berjanji lah Mama akan selalu bahagia!”
Mama mengalihkan pandangannya ke arah lain. Tak mau Theo melihat air matanya yang menetes, meskipun ia tahu Theo mengetahui hal itu. Ia segera menghapus air matanya. Kembali memandang wajah putranya, mengelus rambutnya dengan penuh kasih sayang. “Mama janji.”
Theo kembali tersenyum, namun Mama melihat kilatan bening yang meluncur dari sudut mata Theo.
“Theo juga bahagia, Ma. Sangat. Terima kasih untuk semuanya.”
Mama hanya menjawab dengan anggukan. Kali ini ia tidak bisa menyembunyikan tangisnya lagi.
Bohong bila tadi Theo bilang ia belum mengantuk. Matanya bahkan sudah sangat berat semenjak tadi sore, saat semua orang masih terjaga. Saat Luna dan Namira masih menjaganya di sini. Hingga mereka memutuskan untuk pergi tidur beberapa jam yang lalu. Alasan Theo belum tidur adalah, karena ia memiliki firasat bahwa dirinya tak akan melihat hari esok lagi.
Semenjak dulu ia ingin sekali menanyakan pertanyaan - pertanyaan itu pada Mama. Hanya saja ia belum pernah berani. Satu hal yang membuat Theo merasa begitu bersalah pada Mama, ia belum sempat memberikan apapun pada wanita yang sudah melahirkannya itu. Namun Theo sudah cukup lega dengan mengetahui bahwa Mamanya merasa bahagia. Karena itulah yang terpenting.
Dan sebenarnya bukan tanpa alasan Mama tiba - tiba masuk ke mari.
Entah kenapa perasaannya begitu tak enak, hingga ia tak bisa tidur. Seakan ada yang menuntun langkahnya. Memberinya petunjuk tentang suatu hal. Ia turun dari ranjang dengan amat pelan, lalu pergi ke kamar Theo. Keinginannya untuk bersama dengan Theo begitu besar malam ini.
Dan semua pertanyaan Theo padanya barusan, memperjelas segalanya.
Theo mulai memejamkan matanya. Membiarkan Mama mengelus rambutnya, menidurkannya. Theo tersenyum mendengar wanita itu mulai melantunkan sebuah lagu. Sebuah nyanyian pengantar tidur yang indah.
Waktu hujan turun, rintik perlahan
Bintang pun menepi, awan menebal
Kutimang si buyung belaian sayang
Anakku seorang, tidurlah tidur ….
Mama berhenti bernyanyi ketika Theo sudah tertidur. Ia mengeratkan genggamannya di jemari Theo, memandangi wajah tirus putranya. Suara alunan ayat - ayat suci kembali merajai suasana.
Segala hal yang terjadi dalam hidup Theo selama ini, memang sudah tertulis. Theo mempercayainya. Diatur sedemikian rupa oleh Tuhan. Rupanya skenario Tuhan tidaklah kejam. Tergantung bagaimana sikap yang diambil oleh pelaku kehidupan yang menjalaninya. Dan semua akan menjadi indah pada waktunya.
Theo tak pernah menyesali apapun yang terjadi dalam hidupnya. Hanya rasa syukur yang besar. Keluarga yang bahagia, teman - teman yang baik, dan begitu banyak orang yang menyayanginya. Apa lagi yang kurang? Meskipun segalanya terasa begitu singkat, namun semuanya sepadan dengan kebahagiaan yang Theo rasakan.
Malam itu, Tuhan memanggil Theo dalam tidurnya.
*** I Love You Tante - Sheilanda Khoirunnisa ***
Masih banyak orang yang bertahan di sana, bahkan setelah jasad Theo dikebumikan. Gerimis kecil mewarnai suasana pemakaman. Semua orang menangis, mengantarkan Theo pada peristirahatan terakhirnya.
Mama terlihat dipapah oleh suaminya menuju ke mobil. Mama sudah beberapa kali jatuh pingsan. Ayah hanya tak ingin wanita itu kembali mengalaminya, sehingga ia memilih untuk segera membawanya pulang. Meski pun sang istri menolak, namun ia memaksa. Karena ini demi kebaikannya sendiri.
Papa melirik kepergian mereka sekilas, kemudian kembali fokus memanjatkan doa untuk putranya.
Lintang, Dion dan Kian berdiri bersama. Juga memanjatkan doa dalam hati mereka masing - masing.
“Asal lo tahu saja, kita bertiga lulus SBMPTN!” Lirih Chico di belakang sana. Yulia berdiri di sampingnya, masih menangisi kergian sahabatnya, berusaha menenangkan dirinya sendiri.
Alila dan Jo berdiri berdampingan, saling menguatkan satu sama lain. Theo begitu banyak membawa kenangan dalam hidup mereka. Karena kehadiran Theo, musuh kecil Jo, dan anak baru bagi Alila, keluarga mereka yang dulunya datar, berubah menjadi sebuah keluarga yang penuh cinta. Theo telah membuat mereka merasakan kebahagiaan sebuah keluarga yang sesungguhnya.
Luna memandangi pusara adiknya yang masih merah, dengan Ifan di sampingnya senantiasa merangkulnya. Pandangan Luna beralih pada foto sang adik yang disandarkan pada batu nisan. Foto Theo yang sedang tersenyum menatapnya. Tanpa sadar Luna ikut melengkungkan bibirnya. Meski pun di saat bersamaan air matanya menetes. Luna hancur ketika mendengar kabar kepergian Theo. Tapi ia tak mau berlarut-larut dalam kesedihan.
“Terima kasih udah nepatin janji lo buat lihat gue sukses, Dek.”
Hanya itu yang Luna katakana. Ia tak mau lagi menuntut terlalu banyak keajaiban dari Tuhan. Karena Luna sadar, bahwa ternyata Theo sendiri lah wujud dari keajaiban itu. Keajaiban yang sudah Tuhan titipkan semenjak lama pada dirinya.
Dan kini Tuhan telah mengambil milik - Nya kembali. Mengembalikan Theo ke tempat dimana seharusnya ia berada. Tentu hal ini yang terbaik untuk Theo. Karena pada akhirnya ia tak lagi harus menanggung sakitnya.
Luna begitu bangga dengan Theo. Adiknya itu sudah berhasil meninggalkan banyak sekali kenangan manis untuk semua orang. Adiknya yang selalu tahu bagaimana harus membahagiakan orang lain, dengan caranya sendiri.
Adiknya yang merupakan seorang pejuang hebat sampai akhir. Yang perlu Luna lakukan saat ini hanyalah, hidup dengan baik. Mempertakankan dan semakin memperbaiki apa yang sudah dicapainya. Seperti apa yang Theo inginkan.
*** I Love You Tante - Sheilanda Khoirunnisa ***
-- T B C --