Menertawai Kekonyolan

1495 Words
Jo harus rela libur akhir minggu pertamanya dihabiskan di rumah sakit. Anggap saja ini studi banding karena rumah sakit ini adalah saingan utama rumah sakit tempatnya bekerja. Malam sudah larut. Istrinya belum mau diajak pulang. Jo tak mau terlalu memaksakan kehendak kali ini. Tidak apa Alila menunggui bocah itu. Karena memang sedang dibutuhkan. Bukan untuk bersenang - senang. Lagi pula Jo tidak setega itu pada Theo. Di hati kecilnya ia merasakan iba mendalam pada Theo. Jo ingat ketika tadi istrinya menangis setelah Jo memberitahunya tentang penyakit Theo. "Dia memang sering sakit, tapi aku tidak pernah curiga tentang penyakitnya itu." Itu lah yang diucapkannya berulang - ulang. Dari situ Jo bisa mengerti bahwa Theo tak ingin membebani siapa pun, dengan merasahasiakan penyakitnya. Jo terhanyut dalam pikirannya. 'Mungkin selama ini bocah itu hanya kurang perhatian.' Jo menggendong Dio yang terbangun dari tidurnya. Mereka mencari udara segar di luar, karena sudah terlalu lama menghirup aroma antiseptik dari dalam kamar Theo. Alila tertidur dalam duduknya berkali - kali. Ia segera terbangun lagi sesaat setelah tertidur. Hingga akhirnya rasa kantuknya menghilang, saat Theo akhirnya terbangun. Matanya perlahan terbuka. Menyesuaikan diri dengan suasana di sekitarnya. "Theo!" Suara Alila. Theo masih terlihat lemah. Seakan masih berat sekali untuk membuka matanya. "Nona." Suaranya hampir tak terdengar. "Iya ini Mbak. Kamu ada di rumah sakit. Apa yang kamu rasain sekarang, hm?" Theo tidak menjawab. Matanya kembali terpejam. Alila menggenggam jemari Theo dengan erat. Merasa khawatir. "Theo!" Theo membuka matanya lagi meski pun sulit. Pandangannya lurus ke depan, kosong. Sepertinya ia masih belum sadar sepenuhnya. Alila memutuskan untuk memanggil suaminya keluar. Jo segera masuk dan menurunkan Dio. Jo melakukan beberapa pemeriksaan pada Theo. "Apa yang kamu rasain sekarang?" "Gue ngantuk." Suara Theo parau. Kerongkongannya terasa kering dan aneh. Theo bahkan masih bisa mencium anyir darah yang tersisa di sana. "Ya sudah, tidur lah lagi," ucap Jo. Dari pemeriksaan luar yang dilakukannya barusan, Theo sudah bisa menanggapi rangsang dengan baik. Denyut nadinya juga mulai normal. Theo hanya masih dalam pengaruh obat tidur. Dan Jo rasa tak perlu memanggil Ifan untuk ini. Jo dan Alila hanya diam sampai Theo kembali tertidur. Alila menyentuh pelan memar kebiruan di sudut mata kiri Theo. Pasti bekas pukulan Chico tadi siang. "Sayang!" seru Jo. "Hm ...." "Pulang, yuk," ajak Jo akhirnya. "Tapi ...." "Besok aku antar ke sini lagi. Kasihan Dio." Jo mengelus rambut putranya yang menyandar lesu dalam pelukan Alila. Seharian ini Dio pasti kelelahan. Alila merasa bersalah pada putranya itu. Ia pun mengambil tasnya di nakas, menurut untuk pulang. Sebelum pergi dari sana, Jo memastikan keadaan Theo sekali lagi. Jo terlihat meninggikan posisi selimut Theo. Memperhatikan Theo dari ujung kepala sampai kaki, memastikan semua baik - baik saja. Alila tersenyum melihat pemandangan di hadapannya. Entahlah. Lucu saja rasanya. Sungguh langka melihat seorang suami memperhatikan pria lain, yang terang - terangan sudah menggoda istrinya. ~~~ I Love You Tante - Sheilanda Khoirunnisa ~~~ Tiga hari berlalu, keadaan Theo sudah jauh lebih baik. Meski pun ia masih diharuskan bed rest, belum boleh turun dari ranjang sama sekali. Theo melihat Jo memasuki kamarnya. Pria itu sudah rapi dengan jubah dokternya. Theo mulai terbiasa dengan kedatangannya setiap hari ke sini. Ia sama sekali tak keberatan. Justru ia sangat senang. Karena kedatangan Jo membawa berkah tersendiri untuknya. Aktivitas baru Jo setiap pagi, sebelum berangkat kerja ke rumah sakitnya, Mengantar istrinya untuk menunggui Theo di sini. Sekali lagi, mengantar istrinya. Ya. Istrinya. Dan Istri Jo lah yang dianggap berkah tersendiri oleh Theo. Seperti yang disebut di atas tadi. "Nona mana?" tanya Theo begitu Jo masuk. "Beli sarapan buat gue di luar. Kan gara - gara lo dia jadi nggak pernah sempet masak." Jo memang sudah mengubah konteks bicaranya dengan Theo. Theo saja yang lebih muda bicara dengannya dengan menyebut Lo Gue. Makanya Jo menyesuaikan saja. Lagipula mana sudi dia diperlakukan tidak sopan oleh anak kecil. Theo hanya mencebik. Dia kan tidak minta, bukankah mereka datang karena kemauan mereka sendiri? Lalu kenapa kasus tidak sempat masaknya Tante Ali untuk Jo adalah salahnya? Jo iseng mengintip menu sarapan Theo yang masih utuh di nakas. Menunya masih sama saja. "Kenapa buburnya masih utuh?" Tak menanggapi pertanyaan Jo barusan, Theo justru menanyakan hal lain. "Lo biarin istri lo nemenin gue selama berhari - hari, jadi lo udah merasa kalah?" Jo kesal mendengarnya. "Apa maksudnya itu?" "Ya lo bakal ikhlasin istri lo buat gue." Theo mengakhiri kata - katanya dengan tertawa menyebalkan. "Enak aja!" Perdebatan tak biasa ala Theo dan Jo. Alila hanya bisa mengelus d**a setiap kali dua orang lelaki berbeda usia itu mulai berdebat seperti ini. Tapi meskipun setiap kali bertemu mereka selalu berdebat tentang dirinya, Alila tahu bahwa suaminya menyayangi anak malang itu. Jo yang awalnya begitu ingin menyingkirkan Theo, kini justru menjadi salah satu orang yang paling mempedulikannya. Jo ingin semua berakhir manis. Untuknya dan keluarga kecilnya. Dan juga untuk Theo dan keluarga besarnya. Jo terlihat kesal dengan kata - kata terakhir Theo. Kalau saja Alila tidak tiba - tiba masuk, Jo pasti sudah memukul kepala Theo. "Kalian lagi asyik banget sepertinya. Lagi ngobrolin apa?" Alila bermain sarkasme. "Asyik apanya? Yang ada aku bisa mati muda kalau kebanyakan ngobrol sama dia," protes Jo. Theo lagi - lagi tertawa. Suara tertawanya ... benar - benar menyebalkan. Dio yang sudah rapi dengan seragam play group - nya terlihat naik ke sofa panjang dan duduk manis di sana. Sebagai kode pada ibunya, bahwa ia sudah luar biasa lapar dan tidak bisa menunggu lagi. Alila mengerti kode itu, mengikuti anaknya duduk di sana. Dio mulai disuapi ibunya dan makan dengan lahap. Theo meliriknya dari atas ranjang dengan tampang berharap. "Jangan terlalu ngarep! Nih makan sendiri!" Jo memberikan nampan bubur di nakas tadi kepada Theo. Kalau saja Jo tega, ia pasti sudah merekam wajah kesal Theo saat ini. Tapi hanya dengan berhasil membuat Theo kesal pagi - pagi buta begini, Jo sudah merasa menang. *** I Love You Tante -  Sheilanda Khoirunnisa ~~~ Kebanyakan acara TV siang - siang begini hanya gosip. Alila sebenarnya ingin nonton itu. Maklum lah, wanita apa lagi ibu - ibu, kebanyakan suka gossip. Ia beradu argumen dengan Theo cukup lama, sebelum akhirnya memilih mengalah. Rupanya tidak ada bedanya antara mengasuh Dio dan menunggui Theo di sini. Ia tetap terpaksa menonton kartun animasi. Kata Theo lebih baik nonton itu daripada gosip. Tiba - tiba perhatian mereka teralih pada pintu masuk. Pintu itu memang jarang ditutup, agar sirkulasi udara lancar. Chico dan Yulia berdiri di sana. Chico membawa keranjang buah dan Yulia membawa buket bunga. "Eh, kalian!" sapa Alila. Ia segera mempersilakan mereka masuk. Gestur penuh kecanggungan mereka terlihat begitu jelas. Theo sebenarnya juga ingin menyambut kedatangan mereka. Tapi kenyataannya ia cuma diam. Bingung harus bagaimana. "Silakan duduk." Alila menggeser dua kursi plastik dari balik nakas. Meletakkannya di sisi ranjang Theo. Bahkan cara duduk mereka pun juga canggung. Alila tertawa geli dalam hati. Meskipun ia bisa merasakan kecanggungan luar biasa antara mereka bertiga, tapi bukannya ini urusan mereka? Jadi Alila membiarkan mereka menyelesaikannya sendiri. "Kebetulan kalian dateng. Gantiin Mbak sebentar, ya, Mbak mau makan siang dulu." Itulah alasan Alila agar bisa meninggalkan mereka. "Tapi Nona ...." Theo berusaha mencegahnya. Terlambat. Alila sudah pergi secepat kilat. Tersisa mereka bertiga yang masih saling diam satu sama lain. Theo yang merasa tak enak mendiamkan tamu, akhirnya hanya tersenyum. Karena kecanggungan yang ada, senyumnya justru terlihat aneh. "G - gimana keadaan lo?" Yulia buka suara. "Jauh lebih baik," jawab Theo super singkat. Yulia menyenggol Chico cukup keras. Chico gelagapan. Matanya memejam rapat, meratapi ketidak beraniannya. Theo juga terang - terangan menatap Chico sekarang. Chico menarik napas dalam. Memberanikan dirinya. Meskipun sangat gugup. Ia kemudian menundukkan kepalanya, meremas keranjang buah malang yang masih berada di pangkuannya. "Gue minta maaf," ucapnya tulus. Kalau saja Theo tak menghargai usaha dan keberanian Chico, ia pasti sudah tertawa sekarang. Karena sungguh Chico terlihat lucu sekali. Si tiang listrik itu seperti sedang ingin sungkem pada orang tuanya saat lebaran, ditambah keranjang buah yang memperkeruh suasana. Yulia di sebelahnya mati - matian menahan tertawa. "Angkat kepala lo!" titah Theo. Chico menurutinya. Sekarang mereka saling berhadapan. "Gue juga minta maaf," kata Theo akhirnya. "Atas segalanya selama ini. Gue bener - bener minta maaf." "Gue juga minta maaf gara - gara mukulin lo." Chico melanjutkan. "Ini?" Theo menunjuk memarnya. "Ini udah hampir ilang biru - birunya. Pukulan lo nggak sakit - sakit amat kok." "Oh, jadi lo mau yang sakit?" "Aishh ... udah ... jangan mulai lagi!" Yulia sudah jengah. Mereka betiga justru tertawa geli setelahnya. Untuk pertama kalinya semenjak mereka kenal, akhirnya mereka bisa bersama - sama menertawai kekonyolan mereka sendiri. Kejadian yang beberapa hari lalu mereka anggap tragedi, kini sudah berubah menjadi sebuah kekonyolan besar yang menggelikan. Theo mengulurkan telapak tangan kanannya. Chico hanya menatap uluran tangan itu pada awalnya. Begitu menangkap apa maksud Theo, ia segera menjabatnya dengan semangat. Mulai hari ini, Chico dan Theo benar - benar akan menjadi sepasang sahabat yang saling melengkapi. Dan jangan lupakan Yulia juga.  ~~~ I Love You Tante - Sheilanda Khoirunnisa ~~~ -- T B C --
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD