Ingin Egois

1035 Words
Alila menyeka sisa makanan yang menempel di pipi Dio. Dio tersenyum padanya. Kemudian melompat dari duduknya, kembali bermain bersama teman - temannya. Tingkah laku anak - anak itu membuat Alila sesekali tertawa geli. Beberapa ibu - ibu di sana bercengkerama masalah rumah tangga, ataupun tentang adegan sinetron semalam. Rupanya Alila sedang tidak berselera untuk ikut bergabung. Ia hanya tersenyum dan bicara seperlunya. Sudah seminggu, semenjak ia meminta Theo untuk tidak menghubunginya lagi. Tapi Theo tak pernah mematuhinya. Ia masih saja menelepon dan mengirim SMS. Bahkan Theo masih sering mengirim cerita lucu dan unik di Line. Karena hal itu, ia sudah tak mengaktifkan nomornya selama tiga hari ini. Agar Theo berhenti menghubunginya. Alila juga tak pernah datang ke taman. Menghindari kemungkinan dirinya bertemu dengan Theo lagi di sana. Intinya sama sekali tak ada komunikasi antara mereka. Alila sempat mengira bahwa tanpa Theo, hidupnya akan kembali seperti dulu. Dulu saat ia merasa hidupnya begitu sempurna dengan suami baik seperti Jo, dan anak yang begitu tampan seperti Dio. Nyatanya tidak. Ada kekosongan yang kentara. Pagi tadi Alila sudah tidak tahan. Ia mengaktifkan nomornya kembali. Seketika puluhan SMS dari Theo muncul. Membuat wanita itu menangis membaca tiap kalimatnya. Sedari tadi Alila membaca kembali ratusan percakapan SMS yang mereka lakukan dulu. Ia tersenyum membaca beberapa bagian yang menurutnya lucu. Jam 12 siang, akhirnya Jo datang menjemput. Ia membukakan pintu mobil untuk Alila. Memperlakukannya bak tuan putri. Ia menggendong Dio, membawanya untuk duduk di car seat khusus. Jo benar - benar gambaran suami sempurna. Jo melirik Alila di sampingnya. Ia terus terdiam sepanjang perjalanan. Jo tahu persis apa yang sedang Alila pikirkan. "Dia benar - benar nggak muncul lagi?" tanya Jo. Alila cukup terkejut ketika Jo tiba - tiba bicara padanya. Masalah Theo pula. Alila memaksakan sebuah senyuman. "Nggak sama sekali. Aku yakin dia udah ngerti dengan keputusan ini, karena dia juga sudah besar." Jo mengangguk mengerti. Alila terlihat begitu sedih. Meskipun ia berusaha menutupinya dari Jo. Layar ponsel Alila menyala. Diikuti dengan suara getaran yang menyertai. Mata Alila membulat melihat nama peneleponnya. Ia tidak mau mengangkat panggilan masuk itu. Tapi di sisi lain ia juga sangat ingin menerimanya. Alila menatap Jo bingung. "Siapa? Theo?" tanya Jo lagi. Alila mengangguk. Jo menghela napas. "Sepertinya dia belum besar seperti yang kamu katakan tadi." Jo menanggapi dengan sedikit candaan. Jo lega melihat senyum Alila setelah ia melontarkan candaan garing itu. Sedikit mencairkan suasana yang masih sering canggung di antara mereka. Karena siapa lagi kalau bukan Theo. "Angkat lah. Barang kali ada sesuatu yang penting ingin disampaikannya," ucap Jo. Alila terkejut. Binar bahagia di matanya terlihat jelas. Namun kemudian ia tersadar. Kenapa Jo mengizinkannya? Alila takut Jo kembali sakit hati. "T - tapi ..." "Angkat lah sekarang, sebelum aku berubah pikiran." Alila menggigit bibir bawahnya. Masih ragu, namun jemarinya bergerak menggeser tombol panggilan ke kanan. "Halo." Lama tidak ada suara yang menanggapi. Alila masih bertahan menempelkan ponselnya pada telinga. "Theo?" ucapnya lagi. "N - Nona!" Akhirnya Theo menanggapi. "Iya." Alila senang mendengar suara Theo lagi. Caranya memanggil Nona sungguh sangat disukai oleh Alila. "Maaf aku meneleponmu." Alila menatap Jo di sampingnya. Jo terlihat konsentrasi menyetir. Meski Alila tahu Jo sebenarnya mendengarkan obrolan mereka, karena suara Theo terdengar cukup keras. Alila juga mengawasi Dio di belakang melalui kaca spion. Anak itu terlihat menikmati pemandangan di luar. "Aku janji ini yang terakhir," tambah Theo. Alila tidak menjawab apapun. Ia hanya mendengarkan. Jika saja tak ada Jo di sini, Alila akan bebas mengatakan apapun yang ingin dikatakannya. Ia merasa tak enak pada Jo tentu saja. Ditambah lagi ia sudah terikat oleh janjinya bersama Jo. "Nona, maafkan aku yang muncul di antara kebahagiaan keluargamu. Terima kasih atas segalanya." "Theo ...". Alila mendengar nada sambungan yang terputus. "Ditutup?" tanya Jo. Alila mengangguk. Jo melihat kegelisahan di mata istrinya. Ia berusaha mengabaikannya. Pura - pura tak tahu. Sesekali mungkin boleh ia mengedepankan egonya. ~~~~~ I Love You Tante - Sheilanda Khoirunnisa ~~~~~ Mobil itu berkurang kecepatannya ketika memasuki area perumahan elit tempat tinggal pemiliknya. Berjalan pelan menuju kediaman mereka. Hingga akhirnya benar - benar berhenti di pelataran rumah. Jo sudah melepas sabuk pengamannya. Hendak beranjak. Pandangannya beralih pada sang istri. "Kamu nggak turun?" Alila hanya menatapnya. Kegelisahan itu masih kentara di matanya. Perasaannya tidak enak. Ia merasa ada yang tidak beres dengan Theo. "Dio tidur. Angkatlah ke kamar, nanti lehernya sakit." Alila beralih menatap putranya yang tertidur pulas di belakang. Berusaha menyembunyikan wajah gelisahnya. "Kamu mau aku anter ke sana?" Ya. Jo kalah. Rupanya ia memang tak bisa egois. Ia tak bisa mengedepankan dirinya sendiri atas orang lain. Alila terdiam. "Maksudnya?" "Ke apartemen Theo. Selesaikan urusan kalian. Janjilah ini yang terakhir." Alila masih terdiam. Hatinya cukup lega. Namun ia kembali merasa tak enak pada Jo. Jo kembali memakai sabuk pengamannya. Mobil itu akhirnya melaju lagi. Jo memacu gasnya dengan kencang. Bersaing kencang dengan degub jantung Alila. ~~~ I Love You Tante - Sheilanda Khoirunnisa ~~~ Jo menggendong Dio, membuntut di belakang istrinya yang berlari cukup kencang. Jo menahan sakit hatinya. Berusaha lebih bersabar. Terkadang ia juga membenci dirinya sendiri yang suka mengalah. Yang suka tidak tegaan. Padahal ialah yang paling tersakiti di sini. Alila memencet lantai 10. Mereka hanya saling berpandangan begitu di dalam lift. Lift akhirnya sampai tujuan. Alila kembali berlari seakan sedang dikejar setan. Padahal tidak ada yang mengejarnya. Selain Jo tentunya. Dio sampai terbangun karena goncangan lari Jo yang mengikuti istrinya. Bel dipencet berulang kali. Tapi tidak dibuka. Gelisah Alila semakin berlebihan. Semakin membuat Jo jengkel juga. "Mungkin dia nggak di rumah," ucap Jo. Alila memasukkan password apartemen. Tidak ada salahnya mencoba dulu. Siapa tahu masih sama. Dan ... berhasil. Pintu terbuka. Alila lega sekali. Menyisakan Jo yang hanya bisa menahan rasa cemburunya yang semakin mengembang. Istrinya bahkan tahu dan hafal password apartemen ini di luar kepala. Jo menatap wajah kusut Dio dengan prihatin. Anaknya ini pasti sering diajak ke sini juga. Jo ngeri membayangkan apa saja kira - kira yang dilakukan Alila dan Theo di dalam sini. Tidak. Jo yakin Alila bisa menjaga perasaannya. Ia adalah istri yang baik. Jo terus berusaha berpikir positif. Alila pasti tak melakukan sesuatu yang tidak - tidak, seperti yang dipikirkannya. ~~~ I Love You Tante - Sheilanda Khoirunnisa ~~~ -- T B C --
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD