Setiap malam Luna tidak bisa tidur dengan nyenyak. Memikirkan dua sisi kehidupannya. Memilih untuk mengambil beasiswanya dan meninggalkan Theo, atau kuliah di sini dan menjaga Theo. Dan pilihannya jatuh pada opsi kedua. Namun Theo melarang keras Luna untuk memilih opsi itu.
Semuanya tidak lah mudah. Hingga akhirnya Luna tetap berangkat ke London. Mengejar mimpinya. Butuh perjuangan saat Luna akhirnya meninggalkan Theo. Dan Luna mempercayakan Theo pada Ifan.
Semenjak kepergian Luna, masa tersulit dalam hidup Theo semakin menjadi. Kehilangan satu - satunya pegangannya. Kehilangan orang terdekatnya. Hingga ia merasa trauma dengan rasa kehilangan itu. Dan tak mau jika harus merasakannya lagi nanti. Ia pun menutup diri dari dunia sosial.
Memasuki SMA, Theo memberanikan diri untuk meminta izin pada keluarganya. Ia ingin tinggal sendiri di apartemen.
“Mas Lintang, Mas Dion dan Mas Kian dulu juga mulai tinggal di Apartemen saat sudah SMA.” Itu lah alasan yang diutarakannya.
Meski pun sebenarnya bukan itu alasan yang sesungguhnya. Theo hanya ingin lebih leluasa dalam proses pengobatannya. Melawan sakitnya tanpa harus sembunyi - sembunyi. Juga ia akan lebih leluasa dengan kehidupan pribadinya. Tanpa merasa canggung dengan siapa pun.
Suatu malam Ifan menerima telepon dari Theo. Ifan buru - buru menuju apartemen Theo dan menemukan Theo kesakitan di atas ranjangnya. Keadaannya tiba - tiba memburuk. Malam itu juga Theo menjalani operasi besar. Gastrectomy, operasi pemotongan sebagian lambung . Hal ini dilakukan untuk memperlambat metastasis tumor ke organ lain. Dan anak itu hanya sendiri. Hanya ditemani doa dan dukungan Luna dari jauh. Ifan sebagai wali baru Theo menjaganya setiap waktu. Ia tak ingin mengecewakan Luna yang menitipkan Theo padanya.
Ifan lega sekali saat akhirnya Theo sadar di pagi hari. Theo segera memberikannya sebuah senyuman nakal. Sebuah pengakuan dosa, Ifan tahu itu.
“Jangan bilang lo nggak makan lagi semalem?”
“Gue capek banget sepulang sekolah, terus ketiduran. Gue nggak sengaja ngelewatin makan malam. Jadi jangan marah!”
Ifan tidak marah. Ia hanya khawatir. Hubungan mereka sudah lebih dari sekedar dokter dan pasien. Ifan sudah menganggap Theo sebagai adiknya.
Ifan pun senantiasa menemani Theo melewati segalanya. Kala Theo mulai belajar makan pasca operasi. Semuanya tidaklah mudah. Dengan lambung hanya tersisa setengah, dan langsung terhubung dengan usus 12 jari. Butuh penyesuaian yang tidak sebentar. Belum lagi luka bekas operasi yang mempersulit semuanya.
“Nggak apa - apa kalo lo nangis, jangan ditahan.”
Theo hanya menggeleng. Ia tidak akan menangis. Meskipun setiap makan rasanya sangat sakit. Ia juga selalu mual sesaat setelah habis makan. Seakan tak cukup, beberapa jam setelah makan, ia selalu berkeringat banyak. Badannya lemas dan kepalanya terasa seperti hilang saking pusingnya. Ifan kerap meminta Theo untuk tidak menahan apa yang dirasakannya.
Menangis kalau ingin menangis. Berteriak kalau sakit. Tapi sekali lagi, Theo tak pernah melakukannya. Theo bukannya tak menghargai semua kebaikan Ifan selama ini. Tapi traumanya akan rasa kehilangan sangatlah besar. Ia tak ingin bergantung pada Ifan.
Seberapa sulit pun hidupnya. Seberapa sakit yang dirasakannya. Theo akan memperjuangkan semuanya. Masih banyak hal yang belum dicapainya termasuk mimpi - mimpi kecilnya. Ia tidak akan menyerah.
*** I Love You Tante - Sheilanda Khoirunnisa ***
Seorang lelaki paruh baya berperawakan tinggi kurus tengah menghirup aroma Espresso panas - nya. Aroma ini selalu mengingatkannya akan masa lalu. Ketika keluarganya masih utuh dan sempurna.
Jika dulu ia dapat setiap saat menikmati kopi favoritnya itu, kini hanya bisa sesekali saja. Contohnya malam ini saat atasannya tiba - tiba mengajaknya keluar.
Atasannya itu memang berbeda dengan kebanyakan orang kaya pada umumnya. Ia rendah hati dan baik. Sering mengajak bawahan - bawahannya untuk keluar bersama. Jika sudah di luar jam kerja seperti ini, ia bahkan menganggap mereka semua adalah teman.
Café ini sangat mewah dan mahal. Orang sekelas si pecinta Espresso itu tak akan memilih masuk ke sini hanya untuk minum kopi. Karena harga satu cup - nya saja bisa setara dengan jatah makan seminggunya. Meski pun rasanya memang harus diakui, berbeda sekali dengan café biasa.
“Setelah liburan nanti, cepat lah kembali. Kamu tahu sendiri kan aku ini susah percaya sama orang. Dan kamu sudah menjadi salah satu dari orang kepercayaanku.” Si atasan kembali mengucapkan kalimat yang sama.
“Tentu saya akan kembali. Saya cuman merindukan mereka. Sudah lama sekali kami nggak ketemu.”
“Kamu harus bersyukur karena sudah dikaruniai 2 anak yang baik. Aku berani sumpah, hidupmu akan lebih hampa jika nggak punya mereka.”
“Bukan nggak, tapi belum. Suatu saat Tuhan akan mempercayakan seorang anak pada anda, Sir. Percaya lah.”
Sang atasan hanya tersenyum. Inilah salah satu alasan kenapa dirinya suka dengan bawahan yang satu ini. Ia selalu punya kata yang tepat untuk menjawab keluh kesahnya. Membuatnya merasa tenang. Meski pun sampai sekarang ia tetap belum dikaruniai anak, tapi dengan mengungkapkan isi hatinya pada orang yang tepat, membuatnya merasa jauh lebih baik.
Obrolan mereka terhenti karena bunyi ponsel. Rupanya ponsel si bawahan.
“Maaf, ini dari anakku, Sir. Boleh saya mengangkatnya sekarang?” Ia meminta izin pada sang atasan. Sebagai rasa hormatnya, meski pun ini sudah di luar jam kerja.
“Tentu saja boleh. Angkat lah!”
Ia segera menggeser tombol panggilan ke kanan. “Luna … apa kabar, Nak?” Ia tak bisa menyembunyikan ekspresi bahagianya. Sang atasan ikut tersenyum dibuatnya.
“Baik, Pa.” Lelaki itu awalnya begitu bahagia karena putrinya menelepon. Tapi kini ia mengeryit, ada yang aneh dari suara Luna. Ia seperti sedang menangis. Apa terjadi sesuatu? Tapi tidak, lelaki itu tidak mau berpikiran negatif.
“Kamu udah denger dari Theo bahwa Papa akan segera pulang kan?”
“Iya, Pa.”
“Papa bener - bener udah nggak sabar. Papa kangen sekali.”
Sederet kalimat kerinduan terucap dari bibir lelaki yang awet muda itu. Benar kata atasannya, bahwa ia harus bersyukur memiliki anak - anak seperti Luna dan Theo. Sehingga ia masih memiliki alasan untuk hidup dengan baik setelah segala yang sudah dilaluinya.
Lelaki itu kembali mengeryit kala mendengar suara isakan. Apa Luna benar - benar sedang menangis? Jadi perasaan tak enaknya tadi adalah benar.
“Kenapa, Nak?”
“Papa ….”
“Kenapa kamu nangis?”
“Papa ,… Theo.”
“Theo kenapa?”
Melihat orang kepercayaannya terlihat panik sekaligus sedih, sang atasan berusaha bertanya. Ia penasaran apa yang terjadi. Dan akhirnya ia tahu semuanya setelah bawahannya selesai bicara di telepon.
“Sepertinya saya harus segera pulang ke Indonesia, Sir.”
~~~ I Love You Tante - Sheilanda Khoirunnisa ~~~
-- T B C --