Pengakuan Dosa

1391 Words
Rupanya toko itu adalah tempat pemesanan alat - alat elektronik modifikasi. Mesin apa pun bisa dibuat oleh pemilik sekaligus mekaniknya. Tinggal bilang keinginanmu, sang mekanik akan senang hati membuatkannya. Banyak pajangan mesin yang terlihat asing, tidak bisa dijumpai di tempat lain. Theo terlihat akrab dengan pemilik toko. Mereka asyik ngobrol sejak Theo sampai. Dio melihat ikan di akuarium besar di bagian depan toko. Alila menjaganya. Tapi juga memperhatikan setiap pembicaraan Theo dan pemilik toko. Alila sempat berkenalan dengannya tadi. Laki - laki seumuran suaminya itu bernama Rega. "Yakin lo mau lima kran sekaligus buat mesin Espresso - nya?" Ya. Theo ke sini untuk memesan mesin Espresso. Ini adalah bagian dari rencananya membuat sesuatu untuk Papa. Menurut pengakuan Theo, Ayah kandungnya itu sangat menyukai espresso. Theo akan membuatkan usaha kecil - kecilan untuknya. Semoga dengan begitu, Papa besedia pulang. Theo mengangguk menjawab pertanyaan Rega. "Bikin aja sesuai sama gambar yang gue kasih. Selesaikan secepat mungkin!" "Buru - buru banget." Rega heran karena Theo nampak tak sabaran. "Mumpung uang gue udah cukup. Nanti kalau terlalu lama keburu kepakai!" Theo menjawab dengan cepat. "Lo tuh ya ... uang ngalir selancar air terjun Sigura - gura ke rekening pribadi lo setiap bulan. Kenapa pake bingung terpakai buat yang lain?" Rega menggodanya. Theo tersenyum. Alila memperhatikan senyuman getir itu. Berarti Rega tidak tahu bahwa Theo membeli mesin itu dengan uang hasil kerjanya sendiri. Atau jangan - jangan memang hanya Alila yang tahu tentang itu. Ada sebuah rasa bangga tersendiri, menyadari mungkin dirinya adalah salah satu dari segelintir orang yang mengetahui siapa dan seperti apa Theo sebenarnya. "Pokoknya selesaikan dengan cepat. DP - nya udah gue kirim, kan, sisanya nanti kalau udah selesai." "Oke, deh." Menjelang sore. Mendung menutup sinar Matahari ke Bumi. Suasana gelap, namun justru sempurna untuk jalan - jalan sore. Dio tertidur di pangkuan mommy - nya. Mereka sudah bersiap pulang. Namun Theo tak kunjung menyalakan mesin mobil. "Nona." "Kenapa?" Theo diam lagi. Ia memilih memasang sabuk pengaman untuk mengalihkan gugup. Ia belum berani menatap Alila. Masih sambil menunduk, ia mulai bicara. "Bolehkah aku melakukan sebuah pengakuan dosa?" Alila semakin bingung dengan arah pembicaraan Theo. "Maksudnya?" "Nona ingat saat kita pertama bertemu?" Pikiran Alila menerawang. Ketika dompetnya terjatuh di taman dan Theo mengembalikannya. Entah kenapa hal itu begitu membekas sehingga ia mengingat setiap detailnya. "Tentu saja." "Mungkin memang benar saat itu pertama kalinya kita saling bertemu. Tapi sebenarnya saat itu bukan pertama kalinya aku melihat Nona." Alila diam mendengarkan kelanjutan penjelasan Theo. "Aku udah sering ngikutin Nona -- hampir tiap hari. Jauh sejak sebelum sore itu terjadi." Awalnya Alila merasa salah tingkah. Ia mulai mengerti ke mana tujuan kata - kata Theo. Namun Alila tak ingin terlalu percaya diri. Ia memutuskan untuk tertawa. Meskipun itu hanya sebuah kamuflase untuk menutupi perasaan yang sesungguhnya. "Jadi maksud kamu, kamu itu seperti fans - ku begitu?" Theo tersenyum sekilas. "Bisa dibilang begitu. Aku ngikutin Nona ke taman setiap hari, bahkan sore itu aku bohong padamu. Aku mengatakan bahwa aku datang dengan adik dan kakakku. Tapi kenyataannya aku datang sendirian. Karena aku ke sana memang hanya untuk melihatmu. "Baru akhir - akhir ini aku benar - benar membawa Namira. Agar aku tidak terus - terusan bohong pada Nona. Nona boleh menganggapku aneh." Theo terkekeh mengakhiri hal yang disebutnya dengan pengakuan dosa. Berbeda dengan Theo, Alila justru terdiam. Pemuda ini mengakui dosanya dengan begitu terus terang. Di mata Alila, perbuatan Theo barusan sangatlah patut dihargai. Di sisi lain ia juga merasa terbebani. Ia berharap Theo tak pernah mengatakannya. Karena hal itu membuat Alila merasa .... Entah lah. Jantungnya mendadak berdetak sangat cepat. "Nona ... mungkin ini salah. Tapi aku nggak bisa mengendalikannya. Aku langsung tertarik padamu saat pertama melihatmu. Aku ... aku suka sama Nona." "Theo ..." "Aku tahu Nona sudah punya suami. Juga sudah punya Dio. Aku hanya ingin mengatakan apa yang kurasakan." Theo buru - buru mengatakan itu. Ia takut ... ia takut bila Alila menolaknya. "Cukup seperti ini. Aku sudah merasa senang. Apa Nona merasakan hal yang sama?" Alila begitu gugup. Ia bingung harus menjawab apa. Jujur ia pun merasakan hal yang sama. Ia senang menjalani sejauh ini bersama Theo. Entah apa nama hubungan mereka. Bila dikatakan berteman, mereka terlalu intim. Tapi juga belum seintim sebuah hubungan kekasih. Dan jika benar hubungan itu menjurus pada sepasang kekasih, maka itu tidak boleh, karena Alila sudah menikah. Perlahan Theo mendekat. Wajah mereka berdekatan hingga hidung mereka hampir bersentuhan. Keduanya sama - sama gugup. Jantung mereka berdetak cepat sekali. Theo bergerak mendekat, hingga bibir mereka saling bersentuhan. Beberapa saat lamanya mereka saling menikmati dengan mata terpejam. Sekejap kemudian, Alila dengan cepat mundur. Theo pun segera kembali pada posisinya semula, menunduk. Alila kehilangan fokusnya. Tidak. Alila tidak boleh melakukan ini semua. Dengan segera, rasa bersalahnya muncul begitu besar. Apalagi ada Dio di sini. Meski pun anak itu tertidur, namun melakukan dosa di hadapan anaknya adalah sebuah kesalahan besar. Alila menatap putranya di pelukannya. Wajah polos Dio membuatnya semakin merasa buruk. Bayangan wajah suaminya ikut muncul memenuhi pikirannya. Apa yang sudah dijalaninya dengan Theo, apapun nama hubungan mereka, itu salah. Itu adalah sebuah pengkhianatan bagi rumah tangganya. "Theo ... maaf." Alila melepas sabuk pengamannya. "Nona!" Theo berusaha mencegahnya. Namun Alila sudah membuka pintu dan segera keluar. Alila berlari menjauh. Hari ini yang terakhir. Alila tidak boleh seperti ini lagi! Seberapa bahagianya ia bersama Theo, tapi ia tidak boleh melanjutkannya. Karena semuanya akan berujung pada pengkhiatan yang lebih besar. Alila semakin mengeratkan pelukannya pada Dio. Ia harus pergi dari sana secepat mungkin. ~~~~~ I Love You Tante - Sheilanda Khoirunnisa ~~~~~ Dalam salah satu rumah makan. Di salah satu meja, seorang lelaki tengah duduk asyik sendiri di tengah rapat. Ia mengirim SMS secara diam - diam di bawah meja. Takut ketahuan oleh teman - temannya yang sedang berdebat. Tak ada satupun dari mereka yang diizinkan mengaktifkan ponsel, apalagi mengirim SMS. Bukannya mau membangkang, niatnya hanya memberi tahu istrinya bahwa ia akan terlambat menjemput. Ia tak ingin istri dan anaknya menunggu tanpa kepastian. Itu saja. Perasaan Jo tidak enak sedari tadi. Beberapa kali ia melihat jalanan di luar, ingin rasanya segera pulang. Dan bertemu dengan istri dan anaknya. Ia merindukan mereka. Hingga mungkin saking rindunya, pandangannya kali ini menampakan bayangan istri dan anaknya di luar sana. Jo melihat seolah - olah ada Alila dan Dio sedang berlari di balik tembok kaca depan. Jo benar - benar merasa aneh. Apakah sebegitu besar rasa rindunya pada mereka sampai ia terbayang - bayang senyata ini? Dan Jo akhirnya menyadari bahwa hal yang dilihatnya, bukan hanya sekedar bayangan. Melainkan benar - benar mereka. Alila menggendong Dio di luar, dan tengah tergesa - gesa berlari. Seketika Jo beranjak. "Jo!" Beberapa rekan dokternya menegur. "Maaf, aku duluan." Sebelum sempat dicegah, Jo sudah berlalu dari sana. Ia melangkahkan kakinya secepat mungkin sebelum Alila berlari terlalu jauh. "Ali!" serunya. Ia mempercepat langkahnya, dan akhirnya berhasil meraih pergelangan tangan istrinya. Alila terlihat begitu gugup. Jo tahu kegugupan itu bukan karena Alila mendadak bertemu dengannya. Karena Jo sudah melihat ekspresi itu sejak tadi. "Jo!" Alila terlihat kebingungan. Jo memutuskan untuk mengambil alih Dio dalam dekapannya. Ia merangkul Alila dengan sebelah lengannya. Berusaha menenangkannya. "Kenapa, hm?" "Jo, maafin aku ... maafin aku." Alila melantunkan kata maaf berkali - kali. Pandangan Alila fokus ke satu arah. Jo mengikuti arah pandangannya. Dilihatnya sosok pemuda tinggi, berdiri tidak jauh dari mereka. Sedang menatap mereka dengan eskpresi yang sulit diartikan. "Aku pernah ngikutin kamu ke sebuah apartemen." Jo mulai bicara. Alila terlihat begitu terkejut dengan pernyataan suaminya. "Jo ...." "Apa dia orangnya?" "Jo aku ..." Alila hendak menjelaskan, namun Jo memotongnya. "Katakan apa dia pemilik apartemen itu?" Nada bicara Jo meninggi. Alila segera mengangguk. Jo berjalan mendekati Theo hingga mereka saling berhadapan. Jo menyamankan posisi Dio dalam gendongannya. Sebelum ia mengamati Theo dari ujung kepala hingga ujung kaki. Ia tersenyum miris setelahnya. "Siapapun kamu, sudahilah sampai di sini! Dia wanita yang sudah menikah. Kuharap kamu cukup dewasa untuk mengerti hal itu." Jo menepuk pundak Theo beberapa kali. Tepukan itu sedikit keras. Jo sedang menahan amarahnya sendiri untuk tidak memukul pemuda itu di tempat umum. Jo berbalik. Ia membawa istrinya menjauh dari sana. Jo tidak peduli dengan telepon dari rekan - rekan kerjanya yang bertubi - tubi. Ia hanya ingin membawa anak dan istrinya menjauh dari sana sesegera mungkin. Meninggalkan Theo yang masih mematung. ~~~~~ I Love You Tante - Sheilanda Khoirunnisa ~~~~~ -- T B C --
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD