Bab 8. Didesak Ian

1558 Words
Wina meneguk air minum dinginnya sambil berjalan menuju ruangan King. Ia bertanya-tanya dalam hati apa saja yang diobrolkan oleh King bersama Ian. Apakah Ian akan mencekoki banyak hal pada King? Tidak! Ia ingat, keluarga Ian bukanlah keluarga yang baik. Bahkan, ibu Ian sempat menghina dan memintanya menggugurkan kandungannya. Ia tak akan memaafkan wanita itu! Wina menghentikan langkahnya ketika ia mendengar tawa King dari dalam ruangan. Ia mengintip di kaca kecil yang ada di daun pintu. Ia jelas terkejut karena King tampak begitu akrab dengan Ian. Mungkin, ini bakat alami. Keduanya memiliki ikatan batin dan ikatan darah yang membuat mereka langsung dekat. Namun, Wina tak akan membiarkan itu terjadi. "King, kamu harus minum obat dan tidur," kata Wina mengingatkan putranya. Ia lalu menatap Ian. "Aku udah selesai membeli minuman. Pak Ian bisa pulang." Ian berdiri dari duduknya, tetapi ia tak lantas pergi. "Aku akan ke sini lagi besok." "Itu nggak perlu," sahut Wina cepat. Ian menggeleng pelan. "Kamu tahu, Win, aku juga punya hak untuk menemui King." Wina tersenyum miring. Ia tak tahan dengan semua ini. "King nggak butuh Pak Ian. Jangan bicara seolah-olah Pak Ian mengenal King. Aku minta Pak Ian pergi sekarang juga." Wina berkutat di depan nakas. Ia membuka obat King lalu menyiapkan air minum di gelas. Ia duduk di tepi ranjang King dan mulai menyodorkan obat itu ke mulut King satu per satu. Wina bisa merasakan tatapan Ian di belakang bahunya, tetapi ia memilih untuk berpura-pura tidak peduli. "Mama nggak perlu ngusir om Ian kayak gitu," ujar King setelah ia minum obat. "Aku seneng om Ian di sini. Kami ... kami kayak temen." Wina membuang napas panjang. "Anak kecil nggak seharusnya berteman sama orang dewasa." King mencebik. Ia menyembunyikan formulir sekolah itu di bawah bantalnya. Jadi, kini ia tak punya pilihan lain untuk tak banyak bergerak dan pura-pura menurut. Tentu saja, itu semua agar Wina tidak curiga. "Aku mau kita bicara sebentar," kata Ian kemudian. Ia menatap Wina yang tengah merapikan selimut King. "Aku tahu kita punya banyak hal yang perlu dibahas, Win. Aku tunggu kamu di luar." Ian menatap King penuh makna lalu tersenyum tipis. Ia sudah memiliki email Wina juga nomor teleponnya. Ia akan menghubungi King nanti. "Kamu istirahat, tidur yang cukup dan lekas sembuh, Jagoan." King mengangguk dengan senyum tipis di wajahnya. Ia menyadari Wina melotot tak suka padanya. Namun, ia tak bisa membohongi diri. Ia sangat menyukai Ian. Ia belum pernah menyukai seseorang seperti ia menyukai Ian. "Buruan kamu tidur, nanti sore kamu ada pemeriksaan fisik dengan dokter," ujar Wina. Ia menoleh dan menatap Ian melalui atas bahunya. Pria itu meninggalkan kamar King dan menunggunya di luar. Wina berdebar keras karena hal itu. "Aku mau tidur, Mama keluar aja kalau kau ngobrol sama om Ian," kata King seraya memeluk selimutnya dan berpura-pura memejamkan mata. Wina membuang napas panjang. Ia tatap duduk di sana selama beberapa menit. Ia berusaha menenangkan hatinya sendiri yang tak keruan. Ia yakin, Ian akan menuntut perihal King. Dan ia tak akan membuat ini menjadi mudah. Wina berdiri perlahan ketika ia mengira King telah tertidur. Ia membuka pintu kamar dan menemukan Ian baru saja berdiri dari duduknya. "Pak Ian mau ngomong apa?" tanya Wina. "Ikut aku!" ajak Ian. Ia mengedikkan dagunya. Wina mendesahkan napas panjang. Ia menatap ke mana dagu Ian mengedik. Tangga darurat, itu artinya Ian mencari tempat yang sepi untuk mereka bicara. Dan itu membuat ia semakin gugup saja. Ia hanya berharap Ian tak akan menangkap kegugupan dalam dirinya dan memanfaatkan semua itu. Ian menuruni anak tangga lalu berhenti di bordes. Ia menunggu Wina menyusulnya. Wanita itu tak turun mencapai bordes dan berhenti di anak tangga terakhir. Kedua lengannya terlipat di depan d**a dan dagunya sedikit terangkat hingga terkesan berani sekaligus pongah. "Kenapa kamu nggak kasih tahu aku sama sekali, Win?" tanya King. "Kasih tahu apa?" Wina membalas pertanyaan Ian. Ian melangkah maju ke arah Wina yang terlihat berjengit. "Tentang King. Jangan mengelak lagi, aku tahu dia anak aku." "Jangan bicara omong kosong, Pak Ian!" sentak Wina. Ia mundur, tetapi terlalu gugup untuk mengambil langkah naik. Punggungnya sontak menumbuk railing tangga dan Ian mengunci dengan kedua tangan di sisinya. Ia tak perlu mendongak kali ini, sebab ia berada satu anak tangga lebih tinggi dibandingkan dengan Ian yang berdiri di atas bordes. Namun, posisi itu membuat Wina berdebar tak masuk akal. Apalagi wajah Ian yang sedikit menunduk kini berada tepat di depan wajahnya. Ian terlihat marah sekaligus kecewa. Sesuatu yang tidak pernah Wina terka. "Gimana bisa kamu melakukan itu? Kamu menyembunyikan King selama ini! Dia darah daging aku, Win!" gertak Ian. Wina tertawa mencela. Tangannya mengepal di sisi tubuh ketika Ian semakin mengurangi jarak di antara mereka. "Bukankah malam itu ... hanya kesalahan bagi Pak Ian?" Wajah Ian kini terasa seperti tertampar. Ia tak melupakan kata-kata itu. Ia pernah meluncurkan ucapan itu pada Wina. Ia juga meminta maaf dan meminta Wina melupakan malam itu. Padahal, semua itu salahnya. "Aku bisa jaga King sendiri. Dia tumbuh dengan begitu baik hingga sekarang, jadi Pak Ian nggak perlu mencampuri kehidupan King. Dia nggak butuh ayah kandungnya untuk tumbuh dewasa," kata Wina setegar mungkin. Ian menggeleng pelan. "Seharusnya ... seharusnya kamu bilang sama aku. Malam itu, kamu datang. Kamu ke rumah mama! Kamu pasti mau bicara soal ... kamu mengandung King?" Kedua mata Wina memanas. Ia tak pernah bisa melupakan hari itu. Ia panik seorang diri, ia butuh Ian, tetapi apa yang ia temukan? Ian baru saja menikah, ia dihina dan diusir ibu Ian—juga ibunya sendiri. "Itu nggak penting. Pak Ian menikah hari itu. Aku nggak ingin merusak kebahagiaan pernikahan Pak Ian. Lagipula, apa yang kita lakukan bukanlah hal yang kita ingin lakukan. Kita mabuk, hanya karena itu," ujar Wina. Tangannya mengepal lebih keras hingga ia merasa kebas. Namun, hatinya tidak. Hatinya begitu sakit karena ia sadar ia tengah berbohong. Ia menyerahkan segalanya pada Ian malam itu karena ia mencintai Ian. "Itu ... pernikahan aku ...." Ian terbata. Ia ingin mengatakan bahwa itu bukanlah kehendaknya dan jika saja Wina mengatakan perihal kehamilannya, ia pasti akan memilih Wina. Namun, mengingat Resta yang sangat mencintainya hingga dia meregang nyawa membuat Ian tak bisa mengatakan itu. "Aku tahu siapa diri aku, Pak Ian. Aku sadar, aku nggak akan pantas berada di sisi Pak Ian, jadi malam itu aku nggak jadi bicara," ujar Wina lagi. "Win, dengar ... kita nggak perlu membahas masa lalu. Ayo kita bicara apa yang harus kita lakukan demi King," pinta Ian. Wina mengerutkan kening dan ia menggeleng pelan. "Aku tahu, masa lalu itu nggak penting buat Pak Ian. Semua itu hanya kesalahan belaka." "Bukan itu maksud aku!" sergah Ian. "Tentu aja itu maksud Pak Ian!" Wina tertawa lagi. "Pak Ian nggak pernah benar-benar pengen tidur sama aku, apalagi menghasilkan anak. Apa yang terjadi, hanya kesalahan bagi Pak Ian. Aku mengerti." "Win ... itu tidak seperti yang kamu bayangkan," ujar Ian. Ia menggeleng lagi pada Wina. "Pak Ian yang bilang sendiri sama aku bahwa malam itu hanya satu kesalahan dan kita harus melupakannya," protes Wina penuh amarah. "Aku bilang kayak gitu karena aku ... aku punya tunangan waktu itu." "Aku mengerti," sahut Wina. Air mata menderanya. Ia tahu itu, ia tahu Ian akan berkata seperti itu. "Aku yakin Pak Ian ingin melindungi perasaan wanita yang Pak Ian cintai." Ian menggeleng. Ia tidak benar-benar mencintai Resta. "Tapi, Pak Ian nggak perlu cemas. Kita sama-sama nggak punya perasaan apa pun, jadi ... ayo kita berhenti bicara. King udah hidup baik-baik aja selama ini tanpa Pak Ian. Dan aku nggak mau ada hal-hal yang berubah. Pak Ian nggak perlu bertingkah peduli dengan King lagi," kata Wina dengan nada memohon. Ian menatap Wina tak percaya. "Nggak, Win. Aku punya hak untuk dekat dengan anak kandung aku. Dan kamu bersalah karena kamu sudah menyembunyikan King dari aku selama ini! Selama tujuh tahun, Win!" "Aku punya hak untuk menyembunyikan King!" gertak Wina. "Ya. Tapi sekarang nggak lagi. Aku nggak akan berhenti untuk mendekati King. Aku mau kamu tahu itu, sebab aku tahu, King juga butuh ayahnya," ujar Ian. Wina mendorong d**a Ian sia-sia karena pria itu bergeming di depannya. Ia menggeleng keras. "Apa Pak Ian udah gila? Gimana dengan keluarga Pak Ian? Apa Pak Ian yakin bisa menjaga King setelah ini? Pak Ian mungkin bisa berkata semua ini mudah, tapi ... aku nggak mau King terluka. Pak Ian bukan orang sembarangan, apa yang akan dikatakan publik jika mereka tahu Pak Ian memiliki anak di luar nikah? "Dan aku tahu, siapa yang akan terluka di sini. King! King yang akan menjadi korban sekali lagi. Dan aku nggak mau itu terjadi!" kata Wina keras-keras. Ian merasa seperti tertampar untuk kedua kalinya. Ia menunduk sejenak lalu mengangkat dagunya di depan Wina. "Aku bisa mengambil risiko. Aku nggak mau dijauhkan lagi dari King." Wina menggeram. "Pak Ian egois!" "Kamu juga egois!" Wina kembali mendorong d**a Ian. Namun, Ian dengan cepat membuang semua jarak di antara mereka dan tiba-tiba Ian mengangkat rahang Wina lalu mendaratkan ciuman di sana. Wina terkesiap. Ia menampar pipi Ian kali ini. "Apa yang Pak Ian lakukan?" tanya Wina seraya menatap Ian yang sedang mengusap pipinya. "Apa Pak Ian tidak memikirkan perasaan istri Pak Ian di rumah? Apa Pak Ian mau membuat kesalahan sekali lagi?" Ian menatap Wina yang bernapas naik-turun di depannya. Ia menggeleng pelan. "Kamu nggak mengerti, Win. Tapi sekarang kamu harus tahu bahwa malam itu nggak terasa seperti kesalahan lagi bagi aku. Dan istri aku ... sudah lama meninggal dunia. Kamu nggak tahu?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD