"Jack ... ini kau, 'kan?" Sekali lagi Naira bertanya pada sosok pria yang terus bergerilya atas tubuhnya. Perlahan melepas pakaiannya meski gadis itu mulai berusaha berontak.
"Heum ... ini aku ...," bisik pria itu lembut. Suaranya terdengar sedikit serak, tetapi rungu Naira dapat menangkap tipe suaranya. Merasa yakin dengan apa yang didengarnya, Naira pun berusaha menikmati apa yang dilakukan Jack padanya. Sampai beberapa kali klimaks menghampiri dan keduanya kelelahan barulah percintaan panas itu terhenti.
Puas merasakan kenikmatan yang direngkuh bersama, Jack pun meleas ikatan tangan wanitanya. Namun, membiarkan kain yang menutupi mata gadis itu, ia pun memilih pergi meninggalkannya.
Mendengar suara derap langkah yang menjauh, Naira segera melepas penutup matanya. Masih bisa ditangkap netranya siluet pria yang baru saja bergumul dengannya di tengah jeritan kenikmatan yang menghujam intinya. "Jack ...," lirih Naira memanggil sang suami yang menghilang, menutup pintu tanpa menoleh. Pria itu berlalu begitu saja.
"Dia benar-benar Jack, 'kan?" gumam Naira ragu. Namun, melihat siluetnya barusan, sedikit keyakinan terbit di hatinya.
Tangan Naira terulur menyalakan lampu hias di sisi ranjang. Mengabaikan rasa lelah dan sedikit nyeri di bagian bawah perut, ia pun beringsut turun dari ranjang. Jam dinding menunjuk pukul 03.06.
Rupanya mereka melewati pergulatan panas itu hingga dini hari. Seulas senyum simpul terbit di bibirnya saat mengingat betapa hebatnya Jack di atas ranjang. Jika saja nafsu dan birahi bisa menjadi inti utama dari sebuah pernikahan, mungkin Naira tak akan menyesal menikah dengan Jack Venien.
Dipungutnya semua pakaian yang tercecer, Naira pun melangkah pelan menuju kamar mandi. Membersihkan sesuatu yang serasa lengket di bagian inti serta bercak darah yang sedikit tertinggal.
Bayangan ketika sesuatu menembus intinya tanpa sadar berputar ulang. Terasa sakit dan nikmat dalam waktu yang bersamaan. Apa yang terjadi barusan seakan menjadi candu yang terus menghantar geleyar aneh menggelitik impuls sarafnya.
"Aish, aku bisa gila jika terus memikirkan apa yang terjadi," gumamnya. Lalu berderap keluar. Mengambil pakaian yang berbeda di dalam lemari, serta mengganti seprei yang ternoda ia pun merebahkan tubuh lelahnya kembali di atas ranjang.
Aroma maskulin Jack masih tercium di ruangan itu membuatnya merasa semakin yakin jika yang berhubungan dengannya tadi pasti suaminya.
Tak ingin meracuni pikirannya dengan hal-hal yang meresahkan jiwa, Naira pun memilih terlelap bersama sisa kebahagiaan yang baru saja dirasakannya.
***
Jimin terjaga dari tidur. Bergegas lari menuju kamar mandi ia pun melupakan sarapannya. Seperti apa yang terjadwal dalam agenda, hari ini ia ada meeting kembali dengan para mahasiswa hebat yang menarik minatnya.
Beberapa waktu lalu mahasiswa itu memperkenalkan karyanya pada J-Company. Menilik dari hasil ciptaannya, menurut Jimin produksi lokal itu mungkin akan mampu bersaing di pangsa pasar Asia. Walau mungkin tak bisa menyentuh semua negara di Asia, tetapi kemungkinan bisa masih bisa menembus pasar Thailand, Malaysia, Filipina, India, bahkan mungkin juga Singapura.
Mobil ET-67, diciptakan oleh sekelompok mahasiswa tekhnik mesin di salah satu univeristas ternama di Indonseia. Mobil listrik itu cukup menarik minat beberapa investor, tetapi mereka tertarik menjalin kerjasama dengan J-Company yang memiliki kredibilitas hampir tanpa cela.
Seakan bertemu jodoh, pertemuan Jimin dengan anak-anak muda berbakat itu langsung menghasilkan sebuah kesepakatan bisnis. Setelah menentukan harga jual juga perjanjian p********n royalti, mobil itu pun akan diproduksi masal dan diperkenalkan sebagai produk baru perusahaan.
Mengsampingkan beberapa kelemahan dari mobil listrik, seperti batrai yang harus diganti periodik atau jarak tempuh yang hanya bisa ditempuh 120km, Jimin yakin segala keunggulan dari mobil itu akan mampu merebut pasar mobil minyak.
Biar bagaimanapun hal baru memang harus dicoba, apalagi mobil listrik memang diharapkan menjadi mobil masa depan menggantikan mobil minyak yang beremisi tinggi.
Sampai di kantornya, Jimin bergegas turun dari mobil. "Pak Rahmat, bisakah saya minta tolong untuk dipesankan sarapan?"
Lelaki itu mengangguk mengiyakan.
"Terima kasih, minta saja Vira mengantarnya ke ruanganku. Setelah itu Bapak bisa pulang. Bukankah hari ini Bapak ada rencana untuk mengantar Bi Inah menjenguk keponakannya yang baru saja melahirkan." Jimin menyerahkan tas kerja pada seorang pria yang kini berdiri di belakangnya. Dia ajudan pribadinya.
"Baik, Den. Lalu jam berapa saya harus menjemput kemari?"
Sekilas Jimin melirik jam tangan, memperhitungkan waktu yang dibutuhkannya untuk menyelesaikan agenda hari ini. "Jam 3 sore, aku akan pulang lebih awal."
"Baik, Den."
"Apa Selina sudah menyiapkan notulen untuk hari ini?" Jimin melangkah penuh wibawa memasuki kantornya. Membalas sapaan karyawan yang sengaja berpapasan hanya dengan senyum manis dan sedikit anggukan kepala.
"Sudah, Pak. Saya sudah memeriksanya semalam."
"Oh, jadi dia sudah mengerjakannya dari kemarin, ya. Bagus sekali, Rendy. Aku benar-benar suka cara kerja kalian."
Jimin dan Rendy memasuki lift. Sama-sama terdiam di dalam ruang kecil itu sejenak Jimin teringat apa yang terjadi semalam. Senyum simpul terbit di wajah tampannya. Tanpa sadar tangannya menyentuh bibir di mana sisa kenikmatan masih membekas di sana.
Ting!
Suara lift membuyarkan lamunannya. Rendy sudah lebih dulu membuka pintu untuk Jimin. Mereka berdua pun melangkah menuju ruangannya. Pria perja keras itu langsung menyibukkan diri dengan tumpukan berkas di atas meja. Sepertinya Selina yang menaruh berkas-berkas itu.
"Aku tak melihat Selina di mejanya. Apa dia belum datang?" Jimin membaca laporan keuangan minggu ini. Sementara Rendy berdiri di sebelahnya dengan memegang tablet yang berisi agenda kerja.
"Vira bilang Selina sudah datang jam enam pagi tadi. Apa saya harus memanggilnya? Mungkin dia tengah membuat kopi."
"Oh," sahut Jimin. "Bisa kau mintakan aku secangkir kopi juga?"
"Baik, Pak." Rendy segera berlalu dari sana. Meninggalkan Jimin yang masih berkutat dengan beberapa laporan.
Sudah beberapa minggu Jimin ada di Indonesia. Niat awalnya datang memang hanya untuk mencari seorang istri. Namun, sifat workaholicnya selalu membuatnya terjebak di J-Company cabang Indonesia.
Ia baru saja meletakkan berkas ketiga yang diperiksa hari ini ketika sebuah dering ponsel menyapa rungunya. Senyum pun mengembang di wajahnya.
"Matsuya, idemu briliant," cerocosnya tanpa mengucap salam pada sahabatnya lebih dulu.
Matsuya pun terkekeh di ujung sana. "Jadi bagaimana rasanya? Apa itu bisa menyadarkanmu tentang nikmat dunia yang kau tinggalkan."
"Lupakan itu. Kau sudah lihat foto yang kukirimkan? Bukankah dia sangat cantik?"
Sekali lagi Matsuya tersenyum disertai kekehan kecil. "Iya, dia memang cantik. Oh, ya, namanya Naira Amadia, 'kan?"
"Hmm ...," sahut Jimin. "Aku benar-benar dibuat terpesona pada kecantikannya. Suaranya dan sifatnya. Perlakuan manisnya pada Jack hampir membuatku gila."
"Aha, jadi setelah lepas kontrak dengan Jack, kau akan menikahinya?" goda Matsuya. "Bagaimana kalau Jack merasa dipecundang?"
"Diamlah!" hardik Jimin, sambil mengulum senyum. Tepat pada saat itu terdengar derit pintu ruanganya yang terbuka.
Selina memasuki ruangan itu dengan nampan berisi secangkir kopi yang masih mengepulkan asap. Tubuh rampingnya melenggok menggoda iman.
"Bos, ini kopinya." Selina mengumbar senyum genit membuat Jimin mencibir dalam hati. Perempuan itu memang cantik. Kerap berpakaian seksi membuat lekuk tubuhnya yang indah terlihat sempurna.
Hampir semua orang kantor memujanya. Tak hanya para pria, bahkan para wanita juga mengagumi paras ayu dan kecerdasan pikirannya. Sebelum kedatangan Jimin, Selina dikabarkan dekat dengan Dion Sastra pimpinan perusahaan cabang Indonesia.
Namun, setelah Jimin ada di sana, kabar kedekatannya dengan Dion mendadak menghilang begitu saja. Kini Jimin merasa wanita itu tengah mencoba menggodanya. Itu malah membuatnya jijik.
"Terima kasih kopinya, Selina. Kau pergilah ke ruang rapat, buat persiapannya," ucap Jimin tanpa menoleh wanita itu.
Selina pun mencebik kesal, ia pergi dari sana begitu saja. Setelah kepergian wanita itu Jimin, menghela napas. Menyandarkan diri di sandaran kursi. Pikirannya menerawang kembali pada sosok Naira. "Apa yang sedang dilakukannya sekarang?" gumam Jimin menatap layar ponsel yang menampilkan sosok cantik Naira mengenakan pakaian casual.
***
Akibat kelelahan, hari ini Naira terbangun kesiangan. Seseorang mengetuk pintu dengan pelan membuatnya mengerjapkan mata.
"Sebentar," ucap Naira mengambil kunci di atas lampu meja hias. Lalu berderap mendekati pintu dengan keadaan yang belum rapi. Ia memutar kunci pintu. Sesaat dirinya mematung, teringat semalam juga ia sudah mengunci pintu itu. Lalu bagaimana Jack bisa masuk ke kamarnya?
"Selamat pagi, Nyonya," sapa Michael yang berdiri dengan lengkung senyum di bibir.
"Ah, pagi, Michael." Karena masih mengantuk Naira tanpa sadar menguap di depan pria itu.
"Sepertinya kau lelah sekali. Apa semalam terjadi sesuatu?"
"Ha? Ap-apa maksudmu? Terjadi a-pa?"
Michael terkekeh mendengar suara sang majikan yang begitu gugup. "Suami-istri tentu harus melakukan hal itu, jadi kenapa harus malu."
"Bu-bukan, i-itu hanya ...."
"Karena kau sudah bangun, mandilah. Setelah itu sarapan di bawah." Michael hendak meninggalkan Naira ketika kemudian kembali memutar badan. "Atau apa perlu kubawakan kemari karena kau tak bisa berjalan?"
"Michael, apaan, sih." Naira semakin tersipu malu, ia pun menutup pintu guna menybunyikan rona yang tercipta di wajahnya.
"Kau tak perlu membawa apa-apa kemari, Michael, aku akan turun segera," ucapnya sebelum pintu benar-benar tertutup sempurna.
Selang tiga puluh menit, Naira terduduk di kursi ruang makan berdua dengan Michael. Ia mengedarkan pandangan mencari sosok Jack yang belum dilihatnya.
"Mmm ... Michael, Jack di mana?"
"Tuan Jack sudah ada di ruang kerjanya.
"Ruang kerja?" tanya Naira bingung.
"Oh, ya, aku belum mengatakan padamu kalau Tuan Jack sangat suka bermain bursa saham. Jika sudah ada di ruangannya maka tak ada siapa pun yang boleh masuk, sampai dia keluar sendiri."
"Apa itu termasuk kau?"
"Iya, termasuk, saya. Jadi dari pada mengganggunya, bagaimana kalau kita jalan-jalan." Michael memerhatikan respons Naira yang berubah sendu. Ada keraguan yang terpancar jelas di sana.
"Bagaimana dengan makannya, Michael?"
"Ah, kau mengkhawatirkan itu rupanya. Tenang saja, Tuan Jack sangat disiplin dengan jam makan. Dia bisa mengabaikan apa pun, tapi tidak dengan jam makannya. Jadi kau tak usah khawatir. Bi Darsi sudah tahu apa yang harus dilakukan."
Akhirnya mereka berdua pun menyelesaikan sarapannya dalam diam. Sesuai rencana, setelhanya Michcael mengajak Naira jalan-jalan keliling Jakarta.
"Mmm, Michael apa aku boleh bertanya sesuatu?" Naira menatap pria yang tengah menyetir mobil itu dengan sedikit ragu.
Sementara sang pria meliriknya sekilas, karena harus menjaga konsentrasinya dari jalanan. "Ada hal penting?" tanya Michael penasaran.
"Itu ... apa Jack punya pintu kamarku?"
"Tuan Jack? Kurasa tidak. Seluruh kunci serep rumah itu ada padaku. Jadi kalau Tuan Jack atau yang lain membutuhkannya mereka pasti mencariku. Kenapa, apa ada masalah?"
"Ah, bukan begitu." Mendengar jawaban Michael membuat hati Naira meluruh. Ditatapnya sosok Michael dengan saksama. Ada rasa tersayat merayap dalam hatinya. Nyatanya postur tubuh Michael tak jauh beda dengan Jack.
"Kau kelihatan sangat kebingungan? Kenapa memperhatikanku seperti itu, Nyonya?"
"Michael, apa semalam Jack meminta kunci serep kamarku padamu?" Rasa penasaran terus mendorong hati wanita itu untuk bertanya lebih banyak lagi.
"Tidak," sahut Michael tegas. "Kuncinya bahkan masih ada padaku. Sudahlah, Nyonya, kau tak usah berpikir yang macam-macam. Yang terjadi biarkan saja terjadi, jangan membebani pikiranmu sendiri."
Ucapan Michael seperti petir yang menyambar dirinya. Menghancurkan Naira hingga menjadi butiran debu. Tubuhnya gemetar. Bayangan persetubuhan semalam kembali melintas di pikirannya.
Mungkinkah yang semalam bercinta dengannya adalah Michael? Kenapa Michael mengatakan hal-hal seolah ia sangat tahu apa yang terjadi di kamar itu. Seolah-olah, di malam panas itu, ia-lah pemeran utama prianya.