Bastian Mahendra adalah nama lengkapnya. Ia biasa dipanggil Ibaz oleh keluarga dan teman-teman dekatnya. Kepribadiannya yang tampak pendiam tetapi setia kawan dan peduli terhadap orang-orang di sekitarnya membuat ia lebih nyaman bekerja di lapangan.
Oleh sebab itu, saat sang Papa mendaulatnya untuk meneruskan bisnis keluarga dalam bidang retail, ìa menolaknya mentah-mentah dan memilih mencari pekerjaan lain yang sesuai dengan bakat serta minatnya.
"Ayolah, Pa. Ibaz nggak tahan kalau harus berada di balik meja sepanjang hari. Ibaz ingin berkelana di luaran. Berkeliling ke semua lapisan masyarakat dan mencoba banyak hal baru yang tak mungkin ada dalam kantor," jawab Ibaz saat papanya merundingkan perihal keinginannya mengajari Ibaz berbisnis.
Sudah berkali sang Papa mencoba mengarahkan dan bahkan dengan paksaan, Ibaz tetap menyatakan penolakan dan malah mengajukan kakak perempuannya sebagai pengganti.
"Kak Bella, aja, tuh. Dia lebih banyak pengalaman, Pa. Kak Bella kan udah di perusahaan sejak lama. Dia pasti bisa menghandle semua tugas Papa. Kak Bella itu selalu kompeten di bidangnya," usul Ibaz kala itu.
Hal mana yang dibantah keras oleh sang Papa dengan alasan kuno khas orang-orang zaman dahulu,
"Kakakmu itu perempuan, Baz. Mana bisa dia memimpin perusahaan? Boleh lah kalau hanya manager pemasaran atau kepala divisi keuangan. Untuk menjadi seorang general manager, haruslah orang yang harus tahan banting dan teguh pendirian serta memiliki wibawa di mata klien serta pesaing bisnisnya. Semua itu hanya akan ada pada sosok pria. Kamu sudah cocok, Baz. Kamu memiliki aura pemimpin seperti Papa."
"Ish. Papa ini katanya udah modern. Kenapa masih memandang wanita dengan diskriminatif gitu? Kak Bella beda dengan kebanyakan wanita lain, Pa. Coba aja Papa lebih perhatikan lagi sepak terjangnya. Papa selama ini kayak kurang menyimak gimana kerja kerasnya Kak Bella untuk memajukan perusahaan, ya?" Ibaz spontan membela kakak kesayangannya itu.
Pak Adi Mahendra menggeleng-gelengkan kepala. Ia tetap tak dapat menerima kalau seorang wanita yang memimpin sebuah perusahaan besar. Baginya, itu fix adalah tugas seorang pria. Bahkan ketika sang istri–mama dari Ibaz dan Bella–juga mengungkapkan hal yang sama. Bu Rina tak ingin suaminya terlalu memaksa Ibaz untuk mengerjakan apa yang tak disukainya, juga meremehkan kemampuan sang putri sulung. Padahal tampak sekali Bella ini akan mampu menjadi pimpinan daripada Ibaz yang jelas-jelas tidak berminat di bidang itu.
Demi menghindar dari kejaran sang Papa, Ibaz memilih menyewa apartemennya sendiri dan jarang sekali pulang ke rumah kecuali mamanya sudah berteriak-teriak di telepon menyuruhnya pulang.
Ibaz menjalani kehidupan sehari-harinya dengan mencoba berbaur di segala lapisan masyarakat. Ia bekerja sebagai reporter freelance di sebuah surat kabar di pusat kota Bandung. Gaji kecil yang hanya akan diterimanya setiap ia menyetorkan berita baru yang didapat ke kantor surat kabar tersebut terkadang hanya cukup untuk membiayai hidupnya beberapa hari saja. Namun, ia masih ada pemasukan lain dari bisnis cafe yang dibukanya bersama Bella. Dari sana, Bella sering tak mengambil bagiannya hanya agar sang adik memiliki lebih banyak uang untuk dirinya sendiri.
Suatu sore saat dirinya tengah makan di cafe di bilangan Dago, tanpa sengaja ia mendengar seorang gadis yang tengah sesenggukan bercerita perihal kisah cinta tragisnya kepada sang sahabat. Pria berhidung bangir dengan kulit putih itu berada hanya semeja dari mereka meski terhalang oleh sekat kayu tipis sehingga semua perkataan si gadis terdengar begitu jelas.
Ibaz yang sudah sering mendengar kisah-kisah serupa dari banyak gadis di luar sana sebab ia berteman dengan banyak gadis semasa kuliahnya, merasa jengah tetapi kasihan kepadanya.
Saat tak sengaja berdiri untuk membetulkan letak sabuk celana jeansnya, matanya tak sengaja memandangi si gadis di seberang meja itu. Tampak seraut wajah yang sembab, dengan pipi chubby dan mata sendunya seolah tengah meratapi kehancuran hatinya hari itu.
Seketika Ibaz memutuskan ia ingin membantu si gadis keluar dari jerat kenaifannya sendiri yang kelak sangat mungkin akan membuatnya mengalami hal serupa lagi dan lagi.
Maka ia pun bertahan di mejanya, menunggu kesempatan datang untuk berbicara hanya berdua saja dengan gadis berambut hitam pendek yang tampaknya tak suka bermake-up itu. Terbukti saat wajahnya bersimbah air mata pun, tidak ada tinta kehitaman baik dari maskara atau eyeliner yang luntur. Wajah baby facenya justru semakin tampak imut dan sangat natural pasca menangis begitu, pikir Ibaz sedikit melantur.
Kenapa ada banyak gadis istimewa yang termakan rayuan pria yang bahkan tak benar-benar mencintainya adalah satu hal aneh yang sering melintas dalam pikiran Ibaz. Mereka itu seperti makhluk yang abai terhadap fakta logis. Hanya mementingkan perasaan dan pandangan mereka sendiri yang sudah terbukti ke-absurd-annya itu.
Akhirnya saat beberapa lama menunggu, teman si gadis itu pamit pergi duluan sehingga membuat Ibaz berkesempatan menghampirinya. Dengan mengumpulkan semua niat, Ibaz menuju ke arah meja si gadis dan meminta izin duduk di hadapannya.
Beruntung gadis itu tidak begitu rewel. Yah, mungkin dia sedang terlalu lelah menangis hingga tak punya lagi tenaga untuk sekedar menolak kehadiran Ibaz di sana.
Niat tulus Ibaz untuk menyadarkan gadis manis bernama Citra tadi rupanya tidak semulus dugaannya. Citra masih memiliki bantahan-bantahan terhadap teori faktual yang diungkapkan olehnya mengenai sikap pria yang mencintai wanita. Ah, ternyata kaum wanita bisa sampai seaneh itu keajaiban pikirannya. Ibaz sampai heran setengah mati dibuatnya.
"Jadi mulai sekarang, cintailah pria yang mencintaimu juga. Jangan habiskan waktumu dengan mereka yang hanya menganggapmu teman. Lalu, demi kenyamanan hatimu sendiri kau menipu diri dengan menciptakan alasan-alasan tak logis sebagai pembelaan atas ketidakjelasan sikap mereka." Ibaz menegaskan untuk entah keberapa kalinya hari itu. Ia sempat memberikan kartu namanya pada Citra sebelum berpisah. Dan Ibaz sungguh tak menyangka kalau gadis itu langsung meneleponnya begitu ia sampai di rumah. Astaga!
"Iya," jawab Citra pendek.
Nada pasrah yang sama sekali tak terdengar serius itu diterima saja oleh Ibaz sebab ia rasa semua itu urusan Citra. Yang penting ia sudah membantu gadis itu dengan memberikannya pencerahan tentang sikap lelaki pada umumnya. Bila dia memang berniat untuk tertipu kedua kalinya, itu sudah di luar kuasanya.
Akan tetapi, semakin hari, Ibaz malah semakin sering berkontak dengan Citra. Citra mulai menganggap Ibaz seperti seorang psikolog amatir yang mampu menangani segala masalah dalam hidupnya. Apa-apaan gadis itu!
Ibaz sudah mulai jengah, tetapi sungguh tak tega menolak permintaan gadis itu bila ia ingin bertemu sekedar untuk curhat atau membicarakan sesuatu. Entah, gadis itu memiliki semacam pesona dalam ketidakberdayaannya. Ibaz merasa ia jadi ikut bertanggungjawab atas kebahagiaannya. Perasaan yang cukup aneh, bukan?